WatchDoc meluncurkan video terbaru mereka, Kala Benoa.
Video dokumenter sepanjang 50 menit ini merekam suara-suara akar rumput yang menolak rencana reklamasi Teluk Benoa, Bali. Narasi perlawanan disajikan dengan menawan dan berimbang.
Dua minggu setelah diunggah di YouTube dari tempat kos para bidan di Kota Dompu, Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB), film dokumenter itu sudah dilihat hampir 30.000 kali.
Kala Benoa merupakan video dokumenter bagian dari Ekspedisi Indonesia Biru. Dua videografer dan fotografer, Dandhy Dwi Laksono dan Ucok Parta, melakukan perjalanan keliling Indonesia sejak Januari hingga Desember 2015 nanti. Selama perjalanan, mereka merekam beragam cerita tentang kearifan lokal dalam mengelola sumber daya alam.
Sejak memulai perjalanan dari Jakarta tepat pada perayaan tahun baru lalu hingga sekarang, mereka telah mengunggah 15 video ke YouTube, baik berupa trailer ataupun film lengkap. Kala Benoa merupakan video lengkap kedua dari Ekspedisi Indonesia Biru setelah Samin vs Semen, tentang perlawanan warga Jawa Tengah terhadap rencana pembangunan pabrik semen.
Serupa Samin vs Semen, Kala Benoa pun menceritakan tentang perlawanan terhadap pembangunan yang dianggap akan meminggirkan warga. Kali ini terjadi di Teluk Benoa, Bali. Warga setempat menolak rencana reklamasi oleh PT Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI). Perusahaan milik Tomy Winata, bos Artha Graha, ini akan mereklamasi hingga 700 hektar di kawasan teluk seluas 1.300 hektar tersebut.
Berbagai kelompok warga menolak rencana reklamasi sejak 2013 silam itu. Salah satu yang konsisten menolak rencana tersebut adalah Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi (ForBALI). Banyak kelompok bergabung di forum ini, seperti mahasiswa, musisi, pemuda banjar, aktivis lingkungan, warga adat, dan lain-lain.
Namun, video karya Dandhy dan Ucok, ini bukan tentang ingar bingar suara penolak yang didominasi kelas menengah itu. Dandhy, yang juga jurnalis televisi, memilih merekam dan mengabarkan suara-suara akar rumput di balik gegap gempita penolak reklamasi di Teluk Benoa.
Suara Tak Terdengar
Meskipun bercerita tentang penolakan terhadap rencana reklamasi di Teluk Benoa, Dandhy dan Ucok justru memulai film Kala Benoa dengan cerita dari pulau berjarak sekitar 300 km di timur Bali, Pulau Bungin. Pulau kecil di NTB ini salah satu pulau terpadat di dunia. Dengan luas hanya 12 hektar, jumlah penghuni pulau ini hingga 3.120 jiwa.
Selama 200 tahun, Suku Bajo yang tinggal di Pulau Bungin telah menguruk pulau dari hanya 3 hektar menjadi 12 hektar seperti sekarang.
Tidak ada investor properti yang sesabar orang Bajo. Terutama bila hendak mereklamasi 700 hektar dengan 23 juta kubik pasir. Kalimat pembuka itu menghubungkan Pulau Bungin dengan lokasi utama film Kala Benoa, Teluk Benoa.
Dari situlah, Kala Benoa mulai menarasikan suara-suara akar rumput yang menolak rencana reklamasi Teluk Benoa. Dandhy dan Ucok mewawancarai, Nyoman, nelayan paruh waktu yang masih mencari ikan di Teluk Benoa. Ada pula Ketut Karya, Ketut Linggih, dan Made Raram. Semuanya orang-orang “biasa” yang selama ini tak pernah mendapat suara di media terkait dengan kontroversi reklamasi Teluk Benoa.
Kala Benoa menggemakan suara-suara yang selama ini tak terdengar.
“Banjar saya semua tidak setuju. Satu desa tidak setuju. Alasannya? Kalau diuruk, bisa mati saya sebagai nelayan. Di mana saya naruh sampan dengan teman-teman saya,” kata Ketut Karya, salah satu nelayan. Dia diwawancarai ketika membersihkan sampannya.
Made Raram, nelayan lain, menolak karena khawatir sebagai warga lokal akan terusir setelah Teluk Benoa direklamasi. “Pulau Serangan kan dulu begitu. Pas diuruk langsung diusir orang-orangnya,” kata Raram. Dia mengutip cerita tentang warga Pulau Serangan yang terusir dari tanahnya sendiri ketika pulau itu direklamasi sejak 1994.
Dari Teluk Benoa, Kala Benoa juga menceritakan penolakan warga Lombok Timur. Pantai di sisi timur Lombok ini akan dikeruk untuk membangun pulau baru di Teluk Benoa, Bali.
Sekali lagi, pembuat film ini lebih banyak memberikan ruang untuk suara-suara orang “biasa”. Maka, yang berbicara menolak rencana pengerukan pantai di Lombok Timur bukanlah para pejabat. Kala Benoa menyuarakan sikap penolakan Badar dan Muhammad Tohri, dua nelayan di Labuhan Haji, Lombok Timur.
“Orang yang membangun, masak pantai kami yang dirusak. Kalau diperbaiki boleh. Kalau dikeruk jangan,” kata Muhammad Tohri.
Tetap Berimbang
Meskipun demikian, dokumenter ini tidak terjebak pada propaganda para penolak rencana reklamasi termasuk dari pengusaha pariwisata, pengurus desa, dan aktivis lingkungan. Kala Benoa tetap berimbang dengan memberi tempat pada investor. Hendi Lukman, Direktur Utama PT TWBI, berkali-kali dikutip pernyataannya dalam video ini.
“Kami tidak mungkin menghancurkan bumi pertiwi dan bangsa ini dengan apapun. Percayalah,” kata Hendi Lukman saat Konsultasi Publik PT TWBI terkait rencana reklamasi Maret lalu.
“Percayalah saya tidak akan merusak budaya Bali, Pak. Karena di sanalah keunikan Bali. Alangkah bodohnya jika kami menghancurkannya,” lanjut Hendi.
Kala Benoa juga tak terjebak pada suara perlawanan. Dia menyodorkan pula sebuah alternatif pariwisata di Bali, ekowisata. Dandhy dan Ucok merekam upaya Jaringan Ekowisata Desa (JED), usaha pariwisata yang dimiliki dan dikelola warga lima desa di Bali. Mereka menunjukkannya melalui Tenganan Pegeringsingan, Kecamatan Manggis, Karangasem.
Tenganan merupakan desa Bali Aga atau Bali Kuno di mana kepemilikan lahan masih bersifat komunal. Tidak ada kepemilikan pribadi. Tanah seluas 917 hektar di desa ini tak boleh dijual karena milik bersama.
Tiap tahun, 46.000 turis mengunjungi desa ini. Tapi penghasilan utama desa tetap dari pertanian dan perkebunan. Warga tidak silau terhadap gemerlap pariwisata yang kini terjadi di Bali.
“Pariwisata hanya bonus dari apa yang kami lakukan. JED mengenalkan kami terhadap potensi lokal yang kami miliki sendiri,” kata Putu Wiadnyana, Ketua Koperasi JED.
Bagi Dandhy dan Ucok, ekowisata adalah jawaban terhadap pariwisata massal yang kian mengancam masa depan alam maupun budaya Bali. Karena itu, mereka menyajikannya pula di Kala Benoa.
Kadang Menipu
Suara perlawanan dan jawaban terhadap pariwisata massal Bali itu disajikan lewat gambar-gambar indah Kala Benoa.
Dalam sebuah obrolan, Dandhy pernah mengatakan bahwa hal terpenting saat membuat film dokumenter adalah ceritanya. Bukan gambar-gambar indah yang kadang menipu.
Nyatanya, video dokumenter yang pengambilan gambarnya dua minggu di Bali serta seminggu di Lombok dan Bungin, ini tetap saja mempesona. Kala Benoa menunjukkan biru dan tenangnya laut di Teluk Benoa. Jalan tol dan gunung di ujung utara mempercantik suasana. Gambar-gambar cantik itu jauh dari citra teluk rusak yang jadi alasan investor untuk mereklamasi.
Tak hanya indahnya Teluk Benoa, video ini juga menunjukkan anggunnya Desa Tenganan, Pulau Bungin, dan Pantai Lombok Timur.
Untuk mendapatkan gambar-gambar cantik itu, Dandhy dan Ucok memang melakukan usaha ekstra. Mereka berangkat ketika pagi masih gelap demi mendapatkan golden time, nyebur ke laut untuk wawancara, dan memakai drone untuk mendapatkan gambar dengan angle berbeda, mata elang.
Kala Benoa mengajarkan bahwa video dokumenter perlawanan pun tetap bisa disajikan lewat gambar-gambar menawan. [b]