Candu Bali pulau surga memang dahsyat.
Tak hanya turis yang dibuat mabuk kepayang, tapi juga manusia Bali sendiri. Di saat alam Bali semakin rusak parah dan mulai muncul perlawanan masif generasi muda terhadap para perusak, pada saat yang sama muncul jargon kalimat “jaen idup di Bali”.
Kalimat ini kalau dalam bahasa Indonesia berarti “enak hidup di Bali”. Karena itu manusia Bali penggusung kata ini mirip orang mabuk.
Jargon “jaen idup di Bali ini ” muncul dalam foto-foto anak muda bergaya bak turis di tanah airnya sendiri. Sambil selfie mereka mengambil pose di belakang pantai, sungai dan sawah. Mereka seolah-olah menghadirkan tandingan terhadap anak muda Bali yang sedang bangkit melawan para rakus.
Seperti yang kita tahu genarasi muda Bali kritis penggusung kata “tolak” menampilkan ke hadapan publik fakta tentang kerusakan lingkungan di Bali. Sedangkan mereka penggusung jargon “jaen idup di Bali” menghadirkan Bali sebenarnya masih dalam keadaaan baik-baik saja. Sawahnya seolah masih asri, sungainya tak tercemar, dan lautnya tampak elok.
Kalau ditafsirkan secara oposisional maka jargon “jaen idup di Bali” memandang generasi muda penggusung kata “tolak” sebagai generasi muda yang tak tahu bersyukur hidup di Bali, merusak citra Bali atau mengganggu kedamaian Bali. Cara pandang ini mirip gaya pejabat dan investor.
Kemunculan kalimat “jaen idup di Bali” adalah cara pandang yang berusaha dilestarikan semenjak Bali didaulat sebagai pusat pariwisata entah oleh penguasa kolonial maupun negara Indonesia. Pariwisata di Bali menyediakan ruang secara masif bagi “bisnis penyangkalan”.
Logika bisnis penyangkalan adalah menyangkal hal-hal buruk tentang Bali dengan menghadirkan kisah-kisah indah semata agar tourist pada senang. Hal-hal buruk seperti sejarah pembantaian masif orang-orang dicap komunis, fakta kerusakan lingkungan akibat pembangunan, dan habisnya tanah dan sawah disangkalnya. Hal-hal buruk itu tak pernah dihadirkan ke hadapan publik, agar Bali tampak indah terus selamanya.
Politik pariwisata yang mengutamakan penyangkalan ini bersetubuh dengan politik represif negara yang selalu berharap redamnya kritik dari masyrakat. Kondisi ini kemudan menguntungkan penguasa-pengusaha rakus, citra surga Bali terjaga dan kritik juga redam.
Logika penyangkalan semakin merasuk ke di dalam tubuh manusia Bali lewat pujian-pujian yang memabukan seperti Bali pulau surga, Bali Pulau Dewata, atau manusia Bali ramah-ramah dan cinta damai.
Kondisi ini kemudian melihat demonstrasi, atau protes ke jalan bukan karakter orang Bali, bahkan dengan cepat mencap ulah provokator. Pokoknya Bali itu pulau surga titik!!!! Mereka yang bikin kisruh Bali adalah orang-orang yang demo bikin jalan macet itu, bukan penguasa-pengusaha rakus yang ingin melahap tanah air Bali.
Ketika muncul teknologi ponsel canggih berkamera, kemudian mereka yang termakan candu berubah menjadi “turis” di tanah airnya sendiri. Mereka gemar mencari pemandangan asri, gunung-gunung yang mirip di postcard, atau sawah yang masih tersisa, kemudian mereka mengambil gambar selfie. Tentu saja dengan senyum semringah di hadapan kemara.
Setelah itu mereka mencantumkan kalimat “jaen idup di Bali”, sebagai pertanda Bali masihlah surga, bukan surga dalam keadaan krisis seperti yang diteriakan para pengusung kata “tolak”.
Ada yang sama antara generasi muda penggusung kata “tolak” dengan generasi muda penggusung kalimat “jaen idup di Bali”, yaitu sama-sama merindukan keasrian alam Bali.
Pembedanya adalah, penggusung kalimat “jaen idup di Bali” berburu tempat yang masih asri ke pelosok desa ketika mereka jenuh dengan sumpeknya suasana kota. Karena terbiasa dididik menyangkal, mereka merespon hidup dengan melarikan diri dari bobroknya kenyataan hidup dengan mencari wilayah-wilayah asri yang tersisa. Kemudian mereka abadikan di dalam foto.
Sedangkan generasi muda penggusung kata “tolak” merespon hidup dengan melawan sumber persoalan penyebab rusaknya keasrian Bali. Mereka menghadapi para rakus itu, dan menolak beramah tamah serta bersopan-sopan kepada para perusak. Kamera di ponsel mereka gunakan untuk menangkap hal-hal timpang tentang Bali.
Gaya “selfie” mereka bersetting aksi demo di jalanan, atau menunjukan muka mereka dengan rasa percaya diri ke hadapan publik lewat baliho-baliho atau foto-foto di sosmed bahwa proyek merusak harus dilawan.
Bagi yang sinis dan suka nyinyir bisa saja mencap pemuda-pemuda yang gemar memasang foto saat demo hanyalah gagah-gagahan semata, atau mengalami narsis akut. Namun jika kita menempatkan “selfie” muda-mudi saat aksi itu pada konteks politik pariwisata yang selalu menuntut rakyat menyangkal kejujuran dan meredam kepercayaan diri menyuarakan hal-hal bobrok, maka selfie itu bermakna gugatan.
“Selfie kritis” itu bukanlah remeh temeh.
Munculnya “selfie” bernuansai kritik terhadap kebijakan negara bisa jadi pertanda bangkitnya rasa percaya diri sosial masyarakat Bali menyuarakan kejujuran tentang ketidakadilan yang dialami pulau mereka.
Bagi saya, kemunculan rasa percaya diri menunjukan muka menggugat penguasa patut dirayakan. Sudah terbukti muda-mudi selfie penggusung kata “tolak” membuat para rakus resah bukan main karena rakyat berani menunjukan dirinya menolak. Foto-foto selfie di sosial media saat aksi juga berkontribuasi menyebarkan kisah perjuangan rakyat Bali melawan kerakusan ke penjuru dunia.
Tak sedikit khalayak dunia tertarik untuk bersolidaritas karenanya.
Bagi saya, daripada berburu wilayah asri yang masih tersisa karena sumpek dengan kesemrawutan kota, lebih baik mengikuti jalan muda-mudi gemar selfie menunjukan dirinya berani menghadapi para rakus perusak alam Bali. Bagi saya mereka lebih masuk akal, sebab bagi penyunjung kata “tolak” itu, “jaen idup di Bali” hanya bisa terwujud jika manusia Bali berani menunjukan dirinya menolak kehadiran para rakus yang ingin mengobrak-abrik Bali.
Ups saya sudah ada janji. Sekian dulu tulisannya. Saya diajak selfie… [b]
Suksma atas ulasanya yg cerdas.. Tyang jg sngt khwatir akan perkembangan Bali yg kini dijual sangat murah. Izin hotel diobral,padahal lagi moratorium pembangunan hotel. Ketika orang Bali tdk bisa menjaga taksu Bali. Kita tinggal menyiapkan cerita untuk anak cuu kelak,bahwa ada pulau yg namanya Bali, yg dulu sangat indah.. KONON pulau itu,kental budayanya,menakjubkan alamnya dan ramah tamah orangnya. Konon…..