Ketika hujan deras turun tanpa henti di Bali pada 9–11 September 2025, masyarakat Denpasar dan Badung dikejutkan oleh banjir besar yang menenggelamkan pasar, rumah, bahkan jalan utama. Kerap sekali bencana yang berdampak luar biasa terjadi di malam atau dini hari ketika masyarakat sedang asik dan terlelap di dalam tidurnya.
Air datang begitu cepat, banyak warga tidak siap, dan kerugian pun meluas. Mungkinh al tersebut akan berbeda Ketika banjir datangnya di siang bolong, tapi itu tidak menjamin kemampuan Masyarakat dalam memahami risiko bencana. Peristiwa ini menyadarkan kita akan satu hal penting: Bali membutuhkan sistem peringatan dini banjir yang benar-benar berfungsi dan dipahami masyarakat.

Sebuah alat early warning system (EWS) pendeteksi banjir dipasang di Dam Selumbung Mojowarno. (Anggi Fridianto/Radar Jombang)
Apa itu sistem peringatan dini?
Sistem peringatan dini, atau early warning system (EWS), pada dasarnya adalah mekanisme untuk memberi tahu masyarakat sebelum bencana datang. Konsep ini tidak sekadar sirene atau pesan singkat di ponsel. Menurut badan internasional seperti WMO dan UNDRR, EWS terdiri dari empat komponen utama: pemantauan bahaya (misalnya hujan dan aliran sungai), analisis risiko, penyampaian informasi yang jelas, dan kesiapsiagaan masyarakat. Jika semua berjalan baik, EWS memberi waktu bagi warga untuk mengungsi atau melindungi harta bendanya, sehingga korban jiwa dan kerugian bisa ditekan.
Mengapa Bali perlu EWS banjir?
Secara geografis, Bali adalah pulau kecil dengan bentang alam vulkanik. Sungai-sungainya pendek dan curam, alirannya cepat, dan banyak bermuara di kawasan padat penduduk. Saat hujan ekstrem terjadi, air tidak sempat diserap tanah—apalagi dengan semakin banyaknya lahan resapan yang berubah menjadi beton. Inilah yang membuat banjir di Bali datang mendadak, bahkan menyerupai banjir bandang.
Tragedi banjir September 2025 menunjukkan betapa rapuhnya sistem perkotaan Bali menghadapi cuaca ekstrem. Pasar Badung dan Kumbasari terendam hingga dua meter, jalan utama menuju bandara terputus, dan rumah sakit sempat lumpuh. Semua itu terjadi tanpa ada peringatan jelas kepada warga. Dengan kondisi seperti ini, wajar jika sistem peringatan dini banjir bukan lagi opsi, tetapi sebuah keharusan. Mengingat beberapa sistem yang disediakan saat ini masih bukan system peringatan dini tapi lebih kepada peringatan bencana berupa sirine yang dibeberapa kasus sudah tidak terawat dan bahkan tidak berfungsi ketika terjadi banjir kemarin, ambil satu contoh sirine banjir di kawasan Ubung Kaja, perumahan Nuasan Kori.
Apa yang dibutuhkan untuk membuat EWS banjir?
Membangun sistem peringatan dini banjir (Early Warning System/EWS) tidak bisa dilakukan setengah hati. Sistem ini bukan hanya soal teknologi, tapi tentang bagaimana manusia dan alam bisa saling memberi sinyal sebelum bencana datang. Tahap pertama yang paling mendasar adalah membangun jaringan pemantauan serangkaian alat seperti pengukur curah hujan, sensor ketinggian air di sungai, hingga radar cuaca berukuran kecil yang bisa mendeteksi potensi hujan ekstrem sejak dini.
Dari data inilah kemudian dibuat model prakiraan, yang memproses informasi tersebut untuk memperkirakan bagaimana hujan akan memengaruhi aliran sungai dan kawasan permukiman di sekitarnya. Namun, semua data canggih ini akan sia-sia jika sistem komunikasinya tidak berjalan dengan cepat dan tepat. Informasi peringatan harus bisa menjangkau masyarakat secara luas, bukan hanya melalui aplikasi atau media sosial, tapi juga lewat sirene, pengeras suara di banjar, hingga siaran radio lokal yang akrab di telinga warga.
Terakhir dan paling penting adalah kesiapan masyarakat. Warga perlu tahu apa arti setiap peringatan yang mereka dengar, serta langkah apa yang harus dilakukan—ke mana harus mengungsi, di mana titik kumpul berada, dan siapa yang bertanggung jawab membantu kelompok rentan. Sebuah sistem peringatan dini yang efektif hanya akan bekerja jika semua komponen ini terhubung dan masyarakat menjadi bagian aktif di dalamnya.
Belajar dari Jakarta
Jakarta bisa dijadikan contoh oleh Bali. Sebelum memiliki sistem peringatan banjir, setiap musim hujan selalu memakan banyak korban. Namun setelah diterapkan sistem pemantauan sungai Ciliwung, SMS peringatan, hingga sistem pompa terintegrasi, jumlah korban jiwa berkurang meskipun banjir tetap terjadi. Memang, peringatan dini tidak menghentikan banjir, tetapi bisa mengurangi dampak terburuknya.
Di mana Bali harus memasang EWS banjir?
Jika melihat peta banjir September 2025, Tukad Badung jelas menjadi prioritas utama. Sungai ini mengalir melewati kawasan padat Denpasar dan sekitarnya yang mana merupakan Kawasan ekonomi aktif, dengan titik rawan seperti Pasar Badung, Pasar Kumbasari, dan Monang-Maning. Sensor ini nantinya dapat di taruh di badan Sungai untuk mengamati ketinggian air di hulu Tukad Badung sehingga dapat memberi “waktu tambahan” sesaat sebelum air meluap di pusat kota. Selain itu, Tukad Mati, Tukad Ayung, dan beberapa anak sungai lain juga sebaiknya dipantau, terutama yang sering beririsan dengan Kawasan pemukiman.
Tantangan penerapan di Bali
Meski terlihat sederhana, penerapan EWS di Bali penuh tantangan. Pertama, koordinasi antarinstansi masih lemah. BMKG, BPBD, dinas PU, BWS hingga pemerintah daerah harus berbagi data dan keputusan secara cepat dimana sesuatu yang belum sepenuhnya berjalan mulus. Kedua, infrastruktur pemantauan masih minim. Tidak semua hulu sungai punya alat pengukur otomatis, sementara biaya pemasangan dan perawatannya cukup tinggi.
Ketiga, masalah distribusi dan komunikasi informasi. Peringatan yang terlalu teknis bisa membingungkan warga. Peringatan juga harus disampaikan dalam bahasa lokal, dengan instruksi sederhana, misalnya: “Air Tukad Badung naik. Segera evakuasi ke Banjar X.” Atau “Air Tukad Badung Naik, Segara evakuasi menjauhi aliran sungai” Keempat, kepercayaan publik juga menjadi tantangan. Jika peringatan sering salah (false alarm), masyarakat bisa jadi mengabaikannya dan terakhir pemeliharaan alat sering menjadi permasalah kerap alat-alat ini tidak berkerja atau bahkan hilang saat dibutuhkan, maka pelibatan komunitas didalam merawat dan menjaga juga perlu di pertimbangkan. Bila perlu ajak masyarakat untuk membuat dan mengoperasikan alat tersebut, selain mereka belajar dan juga kekawatiran terhadap vandalisme akan berkurang.

Pemasangan EWS yang dikembangkan dari limbah elektronik (HP Bekas) di Jakarta oleh komunitas anak muda U-INSPIRE Indonesia bersama warga setempat (Antara News, 2025).
Pada Akhirnya…
Membangun sistem peringatan dini banjir di Bali adalah investasi yang menyelamatkan nyawa sekaligus meminimalisir keluarnya biaya besar akibat bencana dikemudian hari. Bayangkan, berapa miliar rupiah kerugian yang muncul setiap kali banjir besar terjadi? Jika sebagian kecil saja dialokasikan untuk EWS, dampaknya bisa jauh lebih besar. Namun, EWS hanya akan berhasil jika semua pihak terlibat: pemerintah, ilmuwan, lembaga adat, hingga masyarakat lokal. Pemasangan sensor di sungai harus dibarengi dengan latihan evakuasi di banjar. Pesan digital harus diikuti dengan edukasi langsung agar warga tahu apa yang harus dilakukan. Bali tidak bisa menunggu banjir besar berikutnya untuk sadar. Peringatan dini adalah hak masyarakat, dan penyediaannya adalah kewajiban penyelenggara negara baik di pusat maupun di daerah. Dengan EWS yang terencana baik, Bali bisa tetap indah dan aman, bukan hanya bagi wisatawan, tetapi juga bagi warganya sendiri. Tapi perlu di ingat bahwa sistem peringatan dini bukan solusi tunggal, tetapi bagian penting dari strategi adaptasi dan mitigasi yang lebih luas terkait tata ruang, pengelolaan drainase, reforestasi hulu, dan pengelolaan sampah. Mengingat rentetan peristiwa banjir September 2025, menghadirkan EWS yang handal di Bali bukan sekadar pilihan teknis: itu adalah kewajiban moral.
Referensi
- WMO. (2023). Early Warning Systems: Saving Lives and Livelihoods. World Meteorological Organization.
- UNDRR. (2023). Global Status of Multi-Hazard Early Warning Systems. United Nations Office for Disaster Risk Reduction.
- Hammood, W. A. (2021). A Systematic Review on Flood Early Warning and Response Systems. Sustainability, 13(4).
- Perera, D. (2020). Identifying societal challenges in flood early warning systems. Environmental Science & Policy, 104.
- Smartcity Jakarta. (2021). Flood Early Warning Technology in Jakarta. Jakarta Smart City Portal.
- Al Farabi, M. R. (2024). Flood early warning system at Jakarta dam using internet of things (IoT). JOSCEX Journal.
- IFRC. (2025). Indonesia: Bali Floods Emergency Update. International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies.
- https://www.antaranews.com/berita/5058225/hack4resilient-jakarta-solusi-inovatif-untuk-masa-depan-dki di akses 12 Oktober 2025
- https://radarjombang.jawapos.com/berita-daerah/663718789/deteksi-dini-banjir-dam-kuno-di-jombang-kini-dipasangi-ews di akses 12 Oktober 2025