Walau Jalan Gajah Mada Denpasar kumuh dan semrawut, gagasan mewujudkannya sebagai kawasan heritage (warisan alam/budaya?) jalan terus. Buktinya, awal Desember 2008, di ujung Barat Jalan Gajah Mada dipasang tanda yang bertuliskan ‘Kawasan Heritage Jalan Gajah Mada Denpasar’.
Tanda yang mirip dengan prasasti berukuran besar itu dipasang di pojok utara dan selatan ujung Barat jalan. Prasasti ini bisa terlihat jelas oleh masyarakat yang memasuki kota dari arah Barat (Jl Wahidin) dan Utara (Jl Sutomo) dan yang datang dari arah Selatan (Jl Thamrin). Sinar lampu disorotkan ke arah tanda itu sehingga terang terbaca malam hari.
Tanda serupa mungkin adakan dipasang di ujung timur Jalan Gajah Mada, sekitar Catur Muka.
Pertanyaan kemudian: kekhasan apakah yang ditawarkan kawasan Gajah Mada sehingga pantas disebut sebagai ‘heritage’? Apakah kawasan Gajah Mada dianggap warisan budaya? Warisan alam?
Pesona apakah yang diharapkan memikat hati masyarakat atau turis di kawasan tersebut? Adakah di kawasan itu sesuatu yang dibanggakan? Cukupkah hanya dengan memasang prasasti yang bertuliskan ‘kawasan heritage’?
Di kawasan Jl Gajah Mada memang ada Pura Desa dan dua pasar yaitu Kumbasari (barat sungai) dan pasar Badung (sebelah timur) yang semuanya bisa menunjukkan kehidupan tradisional. Namun, untuk mengangkat aktivitas pasar menjadi bagian dari ‘heritage’ yang membanggakan dan menyamankan mungkin banyak usaha penertiban dan kebersihan yang harus dilakukan.
Deretan toko-toko di Jl Gajah Mada, terutama di Barat jembatan Tukad Badung, sungguh kumuh. Sebagian besar toko tidak dirawat pemilik atau pemakainya dengan baik. Pilar bangunan kusam, pot bunga yang berubah menjadi tempat duduk compang-camping alias ‘kepèh-kepèh’. Trotoar tidak ada, emper toko tempat jalan menjadi arena parkir sepeda motor.
Toko-toko di Timur jembatan juga banyak yang sudah tua, tak terawat, berdebu, kecuali sedikit toko baru mentereng di bagian ujung Timur dekat Bank BNI.
Pemandangan yang semrawut kian pekat karena parkir. Tanda dilarang parkir sudah jelas, tetapi masyarakat melanggarnya. Polisi juga menoleransi, mungkin karena tidak ada pilihan, tidak ada solusi. Sepeda motor pun diparkir di depan poster yang bertuliskan ‘terima kasih untuk tidak parkir di sini’ .
Beberapa pedagang kain di sisi selatan jalan ada yang memajang dagangan di trotoar, pedestrian.
Usaha mempercantik paras Gajah Mada kelihatan jauh dari tanda-tanda sukses. Walau lampu-lampu gaya ‘klasik’ dipasang, pohon bunga ditanam, semua usaha ini tampak tidak akan berhasil memberikan perubahan menyeluruh.
Jalan di bagian Timur kawasan Gajah Mada, terutama yang dibuat dengan batu-sikat, compang camping. Ada yang mengkritik karena batu-sikat tidak cocok untuk jalan karena tidak tahan dilindas-lindas kendaraan. Yang lain mencela karena sistem pengerjaan proyek tidak profesional.
Kritik datang dari anggota DPR tetapi kita jadi bertanya, mengapa wakil rakyat dan pemerintah ini tidak mengontrol kinerja kontraktor sehingga hasil proyek baik? Sayang, media massa yang ada tidak total menurunkan jurnalisnya untuk menyoroti dan melakukan investigasi proyek ‘heritage Gajah Mada’.
Siapa pun yang memperhatikan pekerja menggarap proyek di kawasan Gajah Mada pantas prihatin. Sebab, alat yang mereka gunakan, tenaga yang mereka turunkan tidak mengesankan pekerja profesional untuk menangani proyek berbiaya banyak. Sepertinya mereka berbekal cetok dan ember kecil. Bagaimana membuat luluh sempurna kalau alat kerja ala kadarnya?
Pemasangan tiang lampu juga tampak sepintas tidak dilakukan dengan olahan luluh yang kuat. Semoga saja tiang lampu itu kuat sehingga tidak tumbang karena angin atau dorongan lain.
Kalau usaha melestarikan atau memperindah kawasan Gajah Mada terus seperti sekarang, maka bisa dipastikan Denpasar akan kehilangan pesona sebagai ibu kota Provinsi Bali. Kalau kumuh dan semrawut tak berhasil disulap menjadi keindahan yang mempesona di kota tujuan wisata internasional ini, orang akan mengeluh seperti Naga Bonar: apa kata duniaaaa?
Komentar sinis mungkin lebih sering terdengar daripada decak kagum. Orang akan jarang berkata “inilah Denpasar” tapi lebih kerap bertanya “inikah Denpasar?” [b]
trus biar bagus gimana? daripada ngeluh tapi ga bisa kritik membangun mendingan jangan berisik ah bli. malu :p
roh gajah mada sebagai pusat bisnis ekonomi masa lalu akan coba dibangkitkan kembali melalui event gajah mada town festival dirangkaikan dengan denpasar great sale, festival kuliner dll yg mengambil tempat di areal gajah mada….
pembangunan fisik yg selama ini anda lihat hanya bagian luar dari apa yg sedang disiapkan.
belum menunjukkan hasil….
jelas….!!!!
karena memang belum dimulai……
tujuannya adalah membangkitkan kembali citra areal gajah mada yg dulu sangat terkenal dikalangan orang-orang tua kita…
kalo sekarang kenalnya tiara dewata, robinson, matahari, akasaka, dll kan ???
tapi saya yakin seberapapun baiknya orang bekerja….
pasti tetap ada yg mencela…..
entah karena jalan dialihkan, ada keramaian yg tidak biasa dll….
tapi kesemuanya adalah masalah pembiasaan saja….
kalao kita tidak bisa menemukan yg baik dari sesuatu….
selamanya kita hanya akan bisa mengatakan jelek…
tanpa bisa membuat yg lebih baik…..
lets wait n see…..
ato lebih baik..
lets do n participate…..
kayak obama sering bilang….
si se puede
yes we can
anda mempertanyakan apakah gajah mada bisa disebut kawasan heritage.. .
saya mw bertanya arti dari kata “heritage” itu menurut anda memangna apa yaa??
Mari melakukan sesuatu untuk Denpasar, Kita sudah lama tertidur. Mengkritik boleh saja, tapi tetap diiringi dengan saran sebaiknya bagaimana.
GMTF adalah Event Akbar yang dilaksanakan pertama kalinya oleh Denpasar. Wajar ada kekurangan. Tetapi setidaknya kita sudah pernah mencoba. Dan mudah2an ini bisa dilaksanakan tahun berikutnya.
Saya sebaga warga kota sangat rindu dengan event2 seperti ini. Sudah tidak jamannya sekarang omdo (omong doang). Cayoo….
sebenarnya saya setuju dengan disebutnya ‘Kawasan Heritage Gajah Mada Denpasar’melihat dari peninggalan terdahulu, tetapi berjalannya waktu sedikit tidaknya kawasan itu pula akan berubah,terlihat dari perencanaan saat ini saja terlihat hanya mementingkan dana agar ada aja dana keluar tanpa memperhatikan apa yg dimaksud “Heritage” (terlihat apa guna selasaran yg terdahulu tetapi sekarang dibuatkan trotoar yang hanya digunakan parkir kendaraan apa itu pungsinya?, terlihatnya perubahan visual menurut saya kurang cocok disebut Heritage tapi lebih cendrung kawasan heritoge… klu memang mau mempertahankan wajah lama gajah mada tidak seharusnya dibuatkan pedestrian yg akan memerkecil jalan selain itu tanpa fungsi yg jelas untuk parkir atau jalan kaki, tetapi lebih cendrung memberikan dana untuk memperbaiki fasilitas yang sudah ada dimana sudah ada fungsi yg jelas (pedestrian yg ada di depan masing2 toko, dimana pemilik toko akan ikut menjaga fungsi dri pedestriannya masing2 karene mereka memiliki kepentingan sendiri yaitu memberikan akses seluas2nya untuk wisatawan(pembeli)) trus untuk bangunannya janyan hanya memberikan teguran kepada pemilik toko tetapi memberikan penghargaan bagi toko yg mau mempertahankan tampilan fisik bangunan maupun sudah memiliki fungsi yg berbeda di dalamnya. ah pokoknya hanya orang besar (mempunyai kedudukan) saja yang bisa semaunya terhadap apa yg akan selanjutnya untuk bumi kita ini. sudah rahasia umum itu bli/gex….
90%(berkedudukan) berbanding 10%(masyarakat jelata) lah
ya ga???????????????
Bli..
Coba lihat lagi tentang apa,dimana,dan bagaimana…
hehehe…
Napi sane dikomentari oleh Bli Darma patut adanya.. Biasalah politik jaman kini, sedikit polesan utk meningkatkan pencitraan.. Padahal roh dan keseriusan ke arah perbaikan tidak ada.. Perbaikan harus didahului oleh adanya kecintaan yang nantinya berujung pada marga-marga seperti bakti marga, kriya marga dll..
Terakhir pulang ke Bali, akhir Juli 2010 saya sempat melancong ke seputar Pasar Badung dan Pasar Kumbasari untuk hunting foto. Menurut saya konsep kota tua Denpasar dengan judul Gajah Mada Heritage ini bisa berakhir seperti Kawasan Kota Tua Jakarta jika tidak dilakukan penataan dan perawatan lebih lanjut. Semrawut dan sekadara tua karena bangunannya yang tidak terawat dan kotor.
Mungkin saja Pemkot bisa melakukan revitalisasi kawasan dengan pendirian area kuliner seperti di daerah Sabang Jakarta, tentu dgn kuliner bali sbg jualan utama. Lokalisasi pedagang makanan dan restoran di sebuah wilayah akan memudahkan wisatawan dan memudahkan pengendalian pedagang sehingga tidak muncul banyak pedagang kaki lima yang mengokupasi pedestrian area seenaknya.
Perbaikan gedung-gedung tua yang dikelola Pemkot juga harus diperhatikan, alokasi dana dekonsentrasi dari Kemenbudpar harus dipotimalkan.