Oleh Alim Mahdi
Fantastik… Angka kemiskinan menurun menjadi 15,42 persen. Kita perlu memberikan apresiasi kepada pemerintah atas hal ini. Sebagaimana pada Selasa (1/7/08), Badan Pusat Statistik (BPS) melansir angka kemiskinan per Maret 2008 mencapai 34,96 juta jiwa atau 15,42 persen dari total penduduk. Sementara pada Maret 2007, angka kemiskinan 37,17 juta jiwa (16,58 persen).
Dengan demikian, terjadi penurunan sebanyak 2,21 juta jiwa. Luar biasanya penurunan ini terjadi saat baru saja pemerintah mengumumkan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) sebesar 28,7 persen pada 24 Mei lalu.
Sayangnya, angka BPS ini menjadi kontradiktif. Terjadinya penurunan kemiskinan di kala masyarakat terjepit akibat dampak kenaikan BBM bertolak belakang dengan angka hasil BPS yang barusan diumumkan tersebut. Para pengamat ekonomi mempridiksi akibat kenaikan BBM yang diikuti kenaikan bahan-bahan pokok lainnya tersebut justru akan menambah kemiskinan masyarakat Indonesia. Lihat saja, pada bulan 28 Mei 2008, Pusat Penelitian Ekonomi (P2E) menyebutkan, dampak kenaikan harga BBM membuat jumlah penduduk miskin menjadi 41,7 juta jiwa atau 21,9 persen dari penduduk Indonesia.
Terpaksa, logika orang awam yang menyatakan bahwa setiap adanya kenaikan kebutuhan pokok akibat kenaikan BBM akan diiringi dengan penurunan daya beli masyarakat menjadi tidak terbukti jika angka BPS tersebut benar.
Mari kita buka Fakta
Ternyata angka BPS itu adalah hasil per Maret 2008. Artinya penurunan jumlah penduduk miskin tersebut sebelum terjadinya kenaikan BBM. Lah ini jadi aneh. Kenapa baru diumumkan sekarang? Kenapa bukan survey bulan Juni setelah BBM naik?
Tentu tidak salah bila, banyak orang yang mangatakan bahwa hasil survey BPS yang diumumkan tersebut tidak lebih dari sekadar Iklan Politik untuk menaikkan citra pemerintah. Iklan politik sah-sah saja. Tapi bukankah lebih patut dan lebih elegan data yang disampaikan adalah data yang lebih uptodate sehingga tidak ada kesan memanipulasi data atau menyamarkan persoalan subtantial tentang kemiskinan di Indonesia.
Menurut peneliti dari Pusat Penelitian Ekonomi (P2E) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Marxensius Tri Sambodo, metode yang digunakan BPS untuk mengukur angka kemiskinan sangat lemah, khususnya menyangkut waktu penelitian. Pemerintah, melalui BPS meneliti pada bulan Maret yaitu ketika masa panen raya di sektor pertanian, serta pada saat harga BBM belum baik. Tentu saja hasil yang didapat menunjukan angka kemiskinan menurun. (http://www.suarapembaruan.com)
Itulah susahnya jika penanggulangan kemiskinan menggunakan indikator kuantitatif dalam elaborasi tujuan dan targetnya. Dan analisis statistik kuantitatif akan mudah dipermainkan hanya dengan mengubah angka indikatornya.
Menurut BPS, orang disebut miskin apabila pendapatannya kurang 1 dolar amerika. Sedangkan menurut Bank Dunia adalah orang yang berpendapatan kurang dari 2 dolar amerika. Jika angka 1 dolar dirubah menjadi 2 dolar,maka berapa juta lagi orang menjadi miskin? Atau sebaliknya angka 2 dirubah menjadi angka 1 dolar sebagai indikator kemiskinan maka berapa juta keluarga yang tiba-tiba berada di atas garis kemiskinan atau menjadi sejahtera? Betapa mudahnya menentukan seorang yang dianggap miskin atau tidak dengan hanya mengklik angka tertentu!!
Pendekatan analisis statistik kuantitatif dalam data kemiskinan cenderung tidak memanusiakan manusia. Apabila sejahtera dan tidak sejahtera hanya dinilai dengan angka, tabel atau grafik statistik.
Kebijakan Yang Tidak Manusiawi
Jika kemiskinan rakyat kita hanya diberdebatkan dalam angka, tabel atau grafik statistik. Maka akan menghadirkan kebijakan tanpa perasaan dan tidak ada penghayatan.
Orang miskin dianggap kriminal, mereka diteror, diburu, dan ditangkap bak pencuri ayam. Sering kita perhatikan penyangkalan data oleh otoritas penguasa. Ketika media atau lembaga swadaya masyarakat (LSM) melansir berita kematian akibat kelaparan atau gizi buruk, pemerintah berkilah dengan alasan masih kecil persentasenya. Bentuk lain adalah pengabaian data, bahwa yang mengalami kematian akibat kelaparan dan gizi buruk adalah bukan orang yang ber-KTP di wilayahnya (kaum pendatang). Bahkan penerima BLT pun harus ber KTP. Padahal, sejatinya orang miskin banyak yang tidak ber-KTP.
Jika baru-baru ini di media ada ribut-ribut sekolah menolak menerima pendaftaran anak sekolah yang tidak mempunyai Akte kelahiran. Akankah manusiawi apabila yang tidak ber-KTP tidak diijinkan mencari makan dalam wilayah republik tercinta ini.
Pernahkah kita merasakan kepedihan dan penderitaan saudara-saudara kita? yang mengadu nasib menjadi TKI di luar negeri. Mereka dikejar, diburu, ditendang dan ditangkap karena tidak mempunyai “KTP”.
Ternyata di negeri sendiri diperlakukan tidak jauh berbeda dengan di negeri orang. Nasib orang miskin. Di mana lagi mereka harus mencari makan!!?
Alim Mahdi , Direktur Dompet Sosial Madani (DSM) Bali.
Lagi marak iklan politik nih!… BTW pengalaman ke BPS cari data terbaru ttg jumlah penduduk Bali gak ada tu.. Bisa Bantu..
aneh . perhelatan pesta akbar masyarakat berdasi yang berlangsung setiap 5 tahun sekali sungguh memperihatinkan, apapun di lakukan agar mampu mendompleng popularitas, knp baru menjelang pemilu mereka tersadar akan jerit tangis kita yang di bawah??.