Dua belas tahun lalu Komang Januarini memulai hidup sebagai petani garam.
Akhir Juli 2016 lalu Komang dan petani garam anggota kelompok Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis (MPIG) garam Amed Bali lainnya mengikuti workshop Seni untuk Keberlanjutan Lingkungan.
Program dalam wadah Mabesikan Project itu diadakan di wantilan kawasan wisata Jemeluk, Amed, Kecamatan Abang, Karangasem.
Komang Januarini salah satu dari dua orang perempuan petani garam yang aktif mengerjakan pertanian garam tradisional Amed. Dia meneruskan kemampuan mengolah garam tradisional keluarga suaminya bersama kakak iparnya yang tidak menikah.
Sementara itu, suaminya merantau ke Tabanan bekerja di pabrik penggilingan beras.
Januarini merupakan satu dari lima anggota keluarga suaminya yang memproduksi garam di Amed. Hampir semuanya menyewa lahan untuk membuat garam. “Hanya satu orang yang punya tanah sendiri,” ujarnya.
Saat ini di Amed hanya tinggal 20-an petani garam yang tersisa. Rata-rata petani garam di Amed mengelola tanah seluas tiga are untuk memproduksi garam. Dua are untuk petak penggaraman, satu are untuk penjemuran.
Bermodal tanah seluas tiga are yang disewanya dari warga lokal Amed, petani garam perempuan ini mantap mengelola pertanian garamnya. “Modal alat-alat penggaraman sudah disediakan pemilik tanah saat awal dulu,” katanya. Sementara itu Januarini hanya tinggal menyediakan tenaga dan waktu.
Modal awal produksi garam ini cukup besar, menurutnya menghabiskan kurang lebih Rp 5 juta. Kemudian tiap musim produksi juga perlu mengganti bambu untuk penyangga alas penjemuran. Garam tradisional Amed tidak dijemur di tanah, melainkan pada alat yang disebut Palungan. Hasil dari pertanian garam tersebut kemudian akan dibagi dua sama rata dengan pemilik tanah.
Daerah asal ibu dua anak ini adalah daerah pertanian padi. Tetapi, Januarini mengaku tidak mengalami kesulitan ketika awal menjadi petani garam. “Tidak ada cara khusus,” katanya. Dia belajar sedikit demi sedikit dari kakak iparnya yang lebih dahulu belajar teknik membuat garam dikeluarganya.
Keseharian Petani Garam
Pada musim-musim produksi garam, sehari-harinya Komang berada di lahan garamnya. Berbeda dengan bercocok tanam, memproduksi garam memerlukan aktivitas sepanjang musim produksi. Sementara hari-hari lain diluar musim garam, dia ataupun petani lainnya mengerjakan ladang, menanam palawija.
Mula-mula pada pagi hari dia dan petani lainnya akan menurunkan tanah dari alat penyaring air laut yang disebut Tinjungan. Tinjungan ini di dalamnya diisi batu, pasir dan tanah sebagai penyaring alami mineral-mineral yang terkandung dalam air laut. Kemudian dia akan menyiram petak tanah yang sudah dirapikan dengan air laut. Petak-petak disiram menggunakan mesin diesel.
Januarini mengatakan baru mulai empat tahun lalu menggunakan diesel tersebut, sebelumnya mereka hanya menggunakan ember untuk mengambil air laut. Setelah itu dia akan menjemur air tuah, air hasil penyaringan di Tinjungan ke Palungan. Palungan ini dibuat dari bilah-bilah kelapa untuk mengeringkan mineral air laut menjadi Kristal-kristal garam. Aktivitas ini dilakukan sejak pagi hari hingga matahari belum meninggi.
Siang harinya dia akan mengisi Tinjungan dengan tanah lagi dan membalik tanah di petak lahan dengan alat yang disebut bangkrak. Hal ini dilakukan berulang kali hingga masa panen garam pada hari keempat, jika cuaca mendukung. Hal-hal yang dilakukannya terdengar sederhana, meskipun begitu Januarini mengaku tidak mampu apabila mengerjakan lahan garam sendiri. Oleh karena itu dia mengerjakannya berdua.
Meskipun dia dan kakak iparnya seorang perempuan, mereka tidak merasakan kerumitan tertentu dalam mengerjakan lahan garam. Hanya saja menurutnya menjadi petani garam sangat bergantung pada cuaca, hal ini yang membuat persiapan produksi kadang harus berulang-ulang.
Menurut Januarini ini bagian tersusah menjadi petani garam, pengerjaan persiapan hingga proses produksi harus terurut, mulai dari pembersihan lahan, menyiapkan tempat penjemuran, menyaring di Tinjungan, mengisi petak dengan air, air laut yang bercampur tanah kemudian diratakan hingga panen. “Kalau pas musim penggaraman kemudian hujan, sudah dibersihkan tapi harus kembali dari awal,” ujar perempuan tiga puluh tahunan ini.
Suka duka menjadi petani garam sudah pernah dilalui oleh ibu yang memiliki anak pertama sudah menginjak sekolah menengah pertama ini. Tahun 2015 lalu garam panenan lahannya mencapai 2.5 ton, menurutnya ini merupakan panenan terbanyak. Sementara tahun 2012 lalu dia dan petani lainnya tidak dapat memproduksi garam karena musim tidak menentu.
Pada hari panen dia akan melakukan pengerikan dan memasukkan garam kedalam bakul. Bakul-bakul ini maksimum berisi lima kilogram. Sementara tiap panen, rata-rata petani dapat menghasilkan 12 bakul per panen. Menurutnya penghasilan satu lahan dengan lahan yang lain bisa berbeda. “Tergantung jumlah palungan atau kualitas tanah sarinya,” ujar Januarini. Garam-garam tersebut akan ditiriskan selama 8 hari baru dibawa ke gudang.
Harga Garam Amed
Komang Januarini menceritakan harga garam sebelum 2014 yaitu hanya Rp 2.500 per kilogram. “Baru tahun lalu mahal,” ujarnya. Para petani akan menjual garam mereka di warung-warung, kemudian warung akan mengemas kembali untuk dijual kepada wisatawan. “Dulu jual di warung, harga ditentukan mereka,” ujarnya.
Saat ini harga penjualan garam mencapai Rp 6.000 per kilogram. Sementara tiap panen hasil produksi garamnya mencapai enam puluh kilogram. Menurut Januarini jumlah tersebut cukup untuk membantu kebutuhan sehari-hari keluarganya.
Harga garam yang meningkat ini dikarenakan garam Amed telah didaftarkan dalam MPIG pada tahun 2014. Banyak keuntungan kelompok petani garam setelah garam Amed terdaftar dalam MPIG. “Selain harganya bisa menentukan, jualnya juga gampang,” kata perempuan asal Negara ini.
Komang Januarini tidak paham benar ke daerah mana saja garam tradisional tersebut, hanya menyebutkan beberapa tempat distribusi diantaranya beberapa tempat di Denpasar, dikirim hingga ke Jepara dan hotel-hotel di Amed.
Setelah garam mendapatkan sertifikat MPIG ini, para kelompok petani juga semakin serius mengelola distribusi garamnya. Selain melakukan aktivitas produksi pada musim penggaraman, beberapa petani juga turut serta dalam proses pra distribusi, termasuk Komang Januarini. Bersama seorang petani lainnya Wayan Juni, dia melakukan pembersihan garam.
Bagian pengemasan ada seorang petani lain yang mengerjakannya, yaitu Wayan Slonok. Menurut ibu dua anak ini, sehari-harinya mereka mampu membersihkan kurang lebih 10 kilogram garam. Pekerjaan ini dilakukan diluar musim pembuatan garam dengan upah Rp 2.500 setiap kilonya. Garam-garam tersebut nantinya dikemas dalam ukuran 100 gr, 200 gr, 500 kilogram dan kemasan 1 Kg.
Keseriusan kelompok petani mengelola garam tradisional ini menjadi harapan masa depan garam Amed. Selain harga yang membuat petani menjadi berdaya, juga ada kebanggaan pada diri petani. “Bangga karena ada yang memperhatikan, dulu tidak ada yang memperhatikan,” ujarnya.
Tapi di samping rasa bangga itu ada hal lain yang menjadi kekhawatiran, jumlah lahan garam semakin lama semakin berkurang. Katanya, baru-baru ini sudah ada empat lahan yang disewa petani kemudian digunakan sebagai penginapan oleh pemiliknya.
Mengenai generasi penerus Komang Januarini juga masih ragu. Dia sendiri tidak dapat memprediksikan apakah anak-anaknya akan meneruskan keterampilan keluarganya dalam membuat garam tradisional tersebut. “Tergantung kemauannya,” ujarnya.
Tetapi Komang Januarini optimis jika harga garamnya semakin bagus dan distribusinya lancar akan banyak yang mau menjadi penerus mereka. “Harapannya bisa lebih luas distribusinya, dan banyak lagi yang menjadi petani garam,” ujar perempuan petani garam ini. [b]