Oleh Darma Putra
Jalan Gajah Mada tak lagi secemerlang dulu. Kini jalan utama ko Denpasar itu kerap macet, jalan kian sempit, mobil-motor berebut tempat parkir. Toko-toko yang berjejer dari Barat ke Timur kian sunyi dari pembeli. Wajahnya mengingatkan kita pepatah ‘kerakap tumbuh di batu’ alias ‘hidup segan mati tak mau’.
Panorama Gajah Mada yang kini tua dan keriput walau berusaha diisi gincu lewat aturan bangunan berarsitektur Bali atau pembuatan trotoar jalan, berbeda dengan empat atau tiga dekade lalu. Dulu, Gajah Mada merupakan pusat kota yang mewah, lambang kemajuan dan gengsi. Kepentingan hidup modern tersedia di toko-toko di Gajah Mada.
Malam hari Gajah Mada menawarkan suasana urban. Di sekitarnya, tepatnya di ruas Jalan Sulawesi sampai Jalan Kartini, digelar pasar senggol. Riuh-rendah suasananya. Teriakan pedagang baju, tukang gambar, mainan anak-anak, serta centang-centeng rombong pedagang nasi goreng. Siang-malam, Gajah Mada menawarkan keriangan pada warganya.
Yang menarik lagi, pertengahan tahun 1960-an, Gajah Mada menjadi pusat kegiatan seni budaya. Catatan yang ada menyebutkan bahwa tanggal 1-7 Juli 1964, di jalur jalan utama kota Denpasar itu digelar Festival Gajah Mada. Dalam kegiatan yang berlangsung seminggu itu digelar aneka pertunjukan, baik yang berasal dari Bali, dari daerah lain, maupun yang bersifat nasional.
Kelompok yang tampil beraneka, mulai dari pelajar, mahasiswa, kelompok profesi, seka seni dari desa, dan dari kepolisian.
Unsur seni budaya Bali yang meramaikan Festival Gajah Mada adalah lomba ‘banten tegeh’, pertunjukan seni-drama prembon berlakon Mpu Beradah, barong landung, kecak Bona, wayang kulit, tari topeng RRI Denpasar, janger TGA (Taman Guru Atas, Saraswati), janger SLUB (Sekolah lanjutan Umum Bawah, Saraswati), dan arja RRI Denpasar.
Kesenian nasional berupa band, seperti Orkes Dria Raba, Band Putra Dewata (pimpinan AA Made Tjakra), Band FKHP (Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan), Band Aneka Ria, Orkes Sinar Remaja, dan Band Bhineka Nada. Kelompok band Hawaiian dari kepolisian juga ambil bagian.
Ada juga tari-tarian nasional yang disampaikan oleh SMP Negeri Denpasar dan Fakultas Kedokteran Unud. Yang tidak ketinggalan dalam Festival Gajah Mada adalah pementasan sulap dan lawak. Acara umumnya berlangsung malam hari, dan meriah sekali.
Festival Gajah Mada menjadi aktivitas seni multikultur, dengan tampilnya ‘Seruling Pemuda Katolik’ dan Pencak Jawa Barat.
Pertunjukan yang begitu banyak dan serentak setiap malam disebar dalam beberapa panggung. Setidak-tidaknya ada tiga panggung, tempat pementasan digelar: Panggung Wisnu (di Timur), panggung di Pasar Senggol (tengah), dan Panggung Indra (di Barat). Bisa dibayangkan, betapa ramainya Jalan Gajah Mada saat pertunjukan berlangsung. Penonton yang datang dengan sepeda, angkutan umum, atau jalan kaki tentu tidak menimbulkan masalah kemacetan dalam situasi kota yang belum sesibuk sekarang.
Perlu dicek lebih jauh, siapa yang menjadi pelaksana Festival Gajah Mada. Apakah pemda Badung atau mahasiswa Unud atau organisasi pelajar atau lembaga-lembaga kebudayaan yang bernaung di bawah partai politik waktu itu, atau kerja sama semuanya. Yang jelas, waktu itu Festival Gajah Mada berlangsung meriah, sukses, dan mencerminkan Denpasar sebagai Kota Budaya.
Yang juga perlu dicek, apakah festival ini berlangsung rutin atau hanya sekali itu saja. Yang jelas, setahun kemudian, meletus peristiwa kudeta 1965. Walaupun kegiatan pementasan seni budaya berlanjut terus di Bali, terutama untuk mengisi hiburan dalam rangkaian upacara odalan dan sebagainya, kegiatan Festival Gajah Mada tidak terdengar lagi sesudahnya. Informasi lain menyebutkan bahwa festival serupa pernah digelar dalam rangka HUT Kodam Udayana.
Pasca-kudeta 1965, kegiatan seni budaya lain yang muncul adalah “Denpasar Ria”, dimulai akhir April 1966. Selain untuk mengembangkan kreativitas seniman, acara ini juga dimaksudkan sebagai hiburan untuk ‘operasi mental’. Mungkin maksudnya untuk melenyapkan rasa takut yang mungkin timbul sesudah pembunuhan besar-besaran.
Kegiatan pentas “Denpasar Ria” dipusatkan di Hotel Denpasar, Jalan Diponegoro. Hotel ini sudah tidak ada lagi, lokasinya kini berupa lahan kosong, terletak beberapa blok di utara Mall Ramayana. Acara “Denpasar Ria” digagas berlangsung setiap akhir bulan. Mata acaranya kebanyakan band dan tari-tarian nasional yang antara lain diisi oleh kelompok band dari Hotel Bali Beach.
Kegiatan Festival Gajah Mada atau “Denpasar Ria” perttengahan tahun 1960-an mungkin bisa memberikan inspirasi bagi Pemkot Denpasar untuk memantapkan gagasan menjadikan Denpasar Kota Budaya. Pentas Calon Arang dalam beberapa tahun terakhir di Jalan Gajah Mada dan pentas seni dalam kaitan HUT Kota Denpasar di Lapangan Puputan Badung bisa diformat lebih jelas dalam sebuah payung festival. Namanya mungkin Festival Denpasar.
Pelaksanaan Festival Denpasar bisa disebar di lapangan Puputan Badung dengan panggungnya di ujung Selatan, fasilitas Art Centre, panggung di sebelah Puri Satria, Bajra Sandhi, balai-balai banjar di sekitar kota. Banjar, desa adat, sekolah, kampus, dan kelompok profesional semua bisa dilibatkan.
Yang menarik dipetik dari Festival Gajah Mada adalah wataknya yang multikultur. Jika diadakan, Festival Denpasar bisa saja diisi dengan kesenian non-Bali atau bahkan mengundang seni dari mancanegara sehingga selain memberikan hiburan, Festival Denpasar juga nenanamkan perasaan persaudaraan dan kebersamaan yang global.
Jika festival membuat jalanan kian macet, tentu ini merupakan tanda bahwa pemerintah harus lebih gigih mencari solusi parkir dan lain-lain. Masyarakat tentu akan mendukung! [b]
Menarik menyimak tulisan Bli DP mengenai Gajah Mada ini. Semestinya sosialisasi Denpasar Kota Budaya gencar dilakukan Pemkot melibatkan warga dan banyak pihak. Telah jelas potensi masa silam dan jika dipetakan kembali akan sangat menarik apalagi jika digabungkan dengan kekinian yang ada di Denpasar. Yang tak kalah menarik sebetulnya adalah keberadaan Hotel Bali sebagaimana termuat dalam sejarah ia adalah Hotel pertama yang dibuat sebagai fasilitas KPM, maskapai pelayaran Belanda saat itu. Bangunan art deco nya sangat khas dan jika dioperasikan dengan sangat baik dengan merekonstruksi kepada wujudnya dulu besar kemungkinan menjadi legenda seperti Hotel Raffles di Singapura yang hingga saat ini menjadi hotel favorit yang berkelas (http://singapore-raffles.raffles.com/z912/photo_gallery.html).
Buat Bli DP, Jika tulisannya telah lebih dari cukup dan dilengkapi dokumentasi foto/gambar yang aduhai bisa menjadi coffee table book yang melengkapi pustaka Denpasar dan layak diminati siapa saja. Selamat dan salam
jadi teringat kenangan masa lalu..pertama kali ke Jl Gajah Mada taon 86 kelas 1 SD, wah atmosfirnya luar biasa sekali:)
biasa aja, nggak usah terfiksasi dengan waktu tertentu lah. sebagai pengungsi (meminjam istilah gde prama) dari masa lalu ke masa kini, dan tidak nyaman dengan suasana masa kini, tentu tidak bijaksana membanding2kan seperti ini. hmm..dinamislah.seseorang yang sanggup bertahan bukanlah orang yang pintar, bukan juga orang kuat, tetapi yang mampu mengikuti dinamika perubahan.
Wah, ini dia yang saya cari.sayang tidak ada fotonya ya. makasih atas infonya. Dalam buku ulang tahun denpasar yang ke 15, ada pernyataan bahwa gajahmada dulunya adalah kawasan pecinaan. Kalau ada informasi yang lebih lengkap, saya mohon bantuannya. Terimakasih
Jalanan Denpasar sudah terlalu sempit untuk bergerak, apalagi kalau mau ditambah dengan kegiatan macam-macam. Idenya bagus tapi infrastruktunya tidak mendukung; Jl Gajah Mada sekarang harusnya diperlebar bukan dipersempit seperti sekarang…membuat bernafas saja jadi sulit.
Sebenarnya di bawah pasar badung dibuat parkir terpadu. Parkir dibangun 2 lantai di bawah tanah, dengan sistem penghawaan yang bagus saya pikir bisa jadi solusi supaya tidak parkir sembarangan spt sekarang.
Jalan 1 arah mungkin solusi baik untuk jalan sempit seperti Jl. Gajah ada, Jl. Diponegoro, Jl. Hasanudin, dll, tapi untuk jangka panjang ini bukan jadi solusi tapi jadi sumber polusi dan pemborosan energi yang luar biasa. Untuk menempuh rute Gunung Agung ke Ramayana saja harus berputar 1-2 km…bisa dibayangkan polusi, energi, waktu yang terbuang dalam 1 hari..1 minggu..1 bulan..1 tahun…
Kasihan Denpasar…
Pak Darma Putra, di Brisbane tinggal dimana?
saya justru takut makin lama gajah mada menghilang. padahal kasihan jika kota tua seperti ini tidak dikenang sepanjang usia. sekarang saja saya merasa kehilangan sejarah kota tua gajah mada. bagaimana tahun2 berikutnya ya???????????
beruntung sekarang sekarang digelar lagi festival untuk mengenang kejayaan Gajah Mada.