Kini, petani tak lagi terjebak jeratan tengkulak.
Selain dengan cara menjual langsung ke toko dan organik, pengolahan pascapanen produk pertanian di lokasi petani juga membantu meringankan beban petani, karena mereka tidak perlu repot-repot menjual ke tengkulak. Bahkan, hal ini juga meningkatkan kapasitas petani. Inilah yang terjadi di Cocoa Prosessing Unit (CPU) di Tabanan.
CPU di Desa Lalanglinggah, Kecamatan Selemadeg Barat, Kabupaten Tabanan tersebut merupakan hasil kerjasama PT Big Tree Farm, perusahaan pemasaran hasil pertanian, dengan Amarta, projek agrobisnis milik USAID, lembaga donor dari Amerika Serikat. Amarta membangun fasilitas pengolahan sedangkan Big Tree Farm mengelola usaha ini.
Kepala Prosessing Unit Gede Sukadana mengatakan CPU dibentuk untuk membantu petani di Selemadeg Barat yang terkenal sebagai produsen coklat. “Usaha ini untuk bisnis sekaligus sosial,” katanya.
Menurut Gede, sebelum ada CPU tersebut, petani menjual buah coklat itu ke tengkulak. Petani terlebih dahulu mengumpulkan coklat itu di tingkat subak abian (kelompok petani berbasis sistem irigasi) masing-masing lalu menjualnya ke tengkulak dalam jumlah lebih banyak.
Kalau tidak menjual ke tengkulak, petani mengolah sendiri biji kakao itu tersebut dengan cara tradisional. Setelah matang dan dipanen, kakao itu dijemur menggunakan terpal atau tikar. Kakao itu baru dijual kalau sudah kering.
Namun, dengan pengolahan pascapanen masih tradisional ini, menurut Gede, kualitas kakao petani tidak terlalu bagus. “Cita rasa dan warnanya tidak memenuhi standar untuk ekspor. Sortasinya juga sembarangan,” kata Gede.
Melihat persoalan rendahnya kualitas pengolahan pascapanen kakao di petani Selemadeg, Oktober tahun lalu, PT Big Tree Farm dan Amarta mendirikan CPU ini. Bahan bakunya diperoleh dari sekitar 4000 hektar areal di daerah perbatasan antara Kabupaten Tabanan dan Kabupaten Jembrana ini.
Pengelola CPU bekerja sama dengan 40 kelompok abian subak, yang memiliki anggota sekitar 4000 petani. Sebagai bagian dari upaya membantu petani, Amarta juga melatih petani tentang sistem peningkatan mutu hasil pertanian. Setelah mutunya bagus, buah kakao itu dibawa ke CPU.
Pengolahan di tempat ini terdiri dari fermentasi, pengeringan, hingga pengemasan. Ketika kakao petani baru sampai dalam kondisi basah, kakao dimasukkan ke dalam bagian pertama untuk fermentasi. Bagian fermentasi berupa kotak dengan kapasitas hingga 1 ton. Kotak-kotak di sini tersusun tiga tingkat. Pada hari pertama, kakao berlendir yang baru diperoleh dari petani diletakkan di kotak paling tinggi dan ditutup karung goni.
Setelah 24 jam fermentasi, tutup di bagian bawah di buka sehingga biji kakao itu akan turun ke kotak lebih rendah. Di kotak lebih rendah ini, biji kakao yang awalnya ada di bagian paling bawah akan berada di bagian paling atas. Demikian seterusnya sampai pada hari ketiga, kakao itu selesai difermentasi di bagian ini.
Dari bagian fermentasi ini, kakao kemudian dibawa ke bagian pengeringan yang berupa rumah panggung dengan atap plastik. Kalau sebelumnya, oleh petani kakao itu dijemur di plastik, maka di tempat ini kakao dijemur di atas lantai kayu. Sedangkan, “Plastiknya untuk mencegah agar kakao tidak basah kalau terjadi hujan,” kata Made Dwi Merta, karyawan di unit pengolahan.
Pengeringan kakao dilakukan selama dua hari pada musim panas. Tapi pada musim hujan, penjemuran bisa sampai lima hari. Kakao ini dijemur sampai kadar airnya tinggal 7,5 persen.
Setelah dikeringkan, proses selanjutnya adalah sortasi untuk memilih tingkat mutu kakao di sini. Proses terakhir adalah pengemasan produk yang sudah mengalami semua proses sebelumnya yaitu fermentasi, pengeringan, dan sortasi. Dari sini produk yang ini dikirim ke pasar luar negeri termasuk Amerika Serikat dan Belgia atau di dalam negeri seperti Makassar.
Adanya CPU ini membuat petani bisa mendapatkan keuntungan lebih. Selain kapasitas untuk meningkatkan kualitas buah kakao, petani juga bisa menghindari jeratan tengkulak. Sebab, ketika masih menjual ke tengkulak, petani sering lama tidak dibayar. Kalau dijual ke CPU, hanya berjarak 10 hari setelah itu petani sudah mendapatkan pembayaran penuh dari CPU.
Petani menjual kakao kering Rp 22 ribu per kilogram. Kalau dalam kondisi basah, harganya sekitar Rp 7000. Namun, kakao basah jika dikeringkan akan menjadi hanya sepertiga dari jumlah sebelumnya.
Keuntungan lain, menurut Gede, petani juga bisa mendapat informasi harga yang layak dari CPU. Harga tersebut berdasarkan informasi dari pasar New York yang diperoleh dari internet. Oleh bagian hubungan masyarakat (humas) PT Big Tree Farm, informasi harga lalu disebar melalui SMS pada petani yang hendak menjual biji kakao tersebut.
“Dengan begitu petani akan tahu berapa harga yang layak untuk biji kakao mereka,” kata Gede.
Meski demikian, menurut Gede, petani juga masih menemukan sejumlah masalah terkait pengolahan kako tersebut. Misalnya mereka belum terbiasa menjual dalam bentuk basah karena sudah bertahun-tahun menjual kakao yang sudah dikeringkan sendiri.
Toh, Gede tetap optimis bahwa pengolahan pascapanen ini akan membuat petani lebih baik. “Lima tahun ke depan, petani harus bisa memproduksi sendiri kako yang sudah difermentasi,” katanya. [b]