Cerita petani cengkeh tentang tipu daya di zaman Orde Baru.
Tahun 1972 sampai 1980-an bisa disebut periode penanaman cengkeh paling marak di desa saya, Munduk, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng. Desa saya salah pusat komoditas cengkeh di Bali.
Saat itu, orang-orang tak perlu berpikir panjang untuk menyulap sawah atau kebun kopi mereka semata demi tiga nama paling menjanjikan saat itu: Zanzibar, Si Putih dan Sikotok.
Saking mahal, menggiurkan dan tingkat kesulitan mendapatkannya (karena harus didatangkan dari pusat pembibitan di Malang dan Jember), anakan-anakan cengkeh tersebut diperlakukan layaknya pusaka kesayangan.
Mirip bangsawan-bangsawan Jawa memperlakukan keris-keris keramat atau burung perkutut melik yang memiliki katuranggan cemerlang. Dielus. Disingkirkan semua gulma. Ditepiskan semua serangga pengganggu. Dibasahi hati-hati dengan percikan air yang paling lembut.
Cengkeh, masa-masa itu bahkan dipadankan dengan Laksmi, manifestasi Tuhan dalam kosmologi Hindu yang dipercaya sebagai pemilik otoritas tertinggi atas segala sesuatu yang berhubungan dengan kemakmuran.
Benar, semenjak itu pendapatan petani-petani di desa saya membaik, selain pengetahuan tentang metode-metode pertanian modern yang bertambah, tentunya. Istilah intensifikasi pertanian, misalnya, atau diversifikasi lahan – dua istilah yang sekian tahun kemudian baru saya pahami artinya melalui bangku sekolah – kala itu fasih dipaparkan, terutama oleh para penyuluh (PPL) dari dinas perkebunan.
Sampai di sini, segala sesuatunya berjalan baik, ‘toto tentrem landuhing ati’. Kalaupun ada catatan buruk yang bahkan sampai hari ini dilakoni sebagai ritus adalah, mulai periode itu petani-petani di desa saya banyak bersentuhan serta kian massif mempergunakan pupuk kimia pabrikan dari berbagai merk dan jenis di lapangan.
Untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak. Puncak kematian para petani cengkeh akhirnya tiba juga.
Itu terjadi pada 1990-an saat munculnya sosok drakula bernama BPPC alias Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (dikuatkan dengan Keppres Nomor 20/1992 jo Inpres Nomor 1/1992). Badan usaha bentukan Tommy Soeharto yang selama delapan tahun mengakali alur distribusi cengkeh dari petani ke industri rokok.
Harga cengkeh ambruk ke angka Rp 1.500/kg kering.
Selesai? Belum. Penjualan maksimum dibatasi hanya 25kg/petani/10 hari, itupun dimonopoli oleh “pembeli” satu-satunya: KUD.
Hari-hari ini Pak Tommy, pangeran tampan itu, kembali rajin menampakkan diri ke publik walau dalam misi dan jubah berbeda. Kemunculannya, betapapun saya abaikan, tak urung menghidupkan lagi ingatan saya tentang sosok drakula keji dan serangkaian tahun-tahun kelam mematikan itu. [b]