Melalui ritual Matiti Suara, masyarakat Desa Batur menyebarkan konsep antikorupsi.
Sejumlah dosen Fakultas Sastra Universitas Udayana memaparkan hasil riset mengenai konsepsi nilai-nilai antikorupsi masyarakat Desa Batur. Nilai tersebut terkandung dalam sebuah ritual yang dihelat tiap tahun. Tradisi ini dinilai memberikan semangat anti korupsi dalam kegiatan warga.
Salah satu kearifan budaya tradisional Bali yang disebut sarat dengan nilai dan prinsip pendidikan anti korupsi adalah tradisi Matiti Suara. Tradisi ini telah belangsung sejak zaman lampau dalam kehidupan masyarakat Desa Pakraman Batur, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Tradisi ini dilaksanakan setiap setahun sekali pada Sasih Kedasa (sekitar bulan April) di Pura Batur.
“Prinsip yang disepakati dan dilaksanakan dalam tradisi Matiti Suara tersebut, seperti: prinsip transparansi, akuntabilitas, dan kontrol terhadap aturan main oleh masyarakat,” ujar Ida Bagus Rai Putra, salah satu peneliti.
Peneliti lainnya adalah Prof. Dr. Ida Bagus Gunadha, Prof. Dr. I wayan Ardika, Prof. Dr. I Putu Gelgel, I Wayan Rupa, I Wayan Sukadia, I Wayan Rudita, dan I Made Budiarta.
Selain itu aturan main yang yang terkait dengan kebijakan anti korupsi dalam tradisi Matiti Suara ini dituangkan dalam awig awig desa adat. “Agar aturan-aturan itu dapat lebih efektif dan lebih ditaati oleh anggota masyarakat,” kata Rai.
Tradisi Matiti Suara yang dipraktikkan masyarakat Batur ini dinilai cerminan sikap dan tanggung jawab dari prajuru desa dalam melaksanakan tugasnya, baik secara sekala (kasat mata) dan niskala (tak kasat mata). Prajuru Desa atau pejabat di Desa Pakraman Batur mempertanggungjawabkan segala tindakannya dalam sangkepan atau rapat anggota masyarakat secara sekala. Di pihak lain mereka juga mempertanggungjawabkannya kepada Tuhan atau secara niskala.
Sabda
Tradisi Matiti Suara adalah bagian dari upacara Bhakti Papranian yang merupakan rangkaian terakhir dari upacara Ngusaba Kadasa di Pura Ulun Danu Batur. Tradisi ini dilaksanakan atau diadakan setiap satu tahun sekali, yaitu pada saat akhir dari upacara Ngusaba Kadasa yang biasanya berlangsung selama 9-11 hari.
Tradisi ini dijalankan oleh seorang Jro Guru dari desa Batur di dalam pura Batur. Perlengkapannya berupa seperangkat sesajen. Pada saat Matiti Suara Jro Guru akan menyerukan sabda dari sesuhunan sebanyak tiga kali, warga desa Batur diminta untuk mesuryak (berteriak) sebagai tanda bahwa sabda telah diterima.
Bunyi dari titi suara yang diyakini sebagai sabda dari Ida Bhatara yang berstana di Pura Ulun Danu Batur antara lain “Jero krama desa Ian umat Hindu pirengang becik-becik nggih : “Mule keliki mula biyu, mula abedik mupu liu, balik sinuryak”. Artinya, “Apa yang kita tanam, walaupun sedikit akan menghasilkan sesuatu yang lebih.
Dalam Hindu, persoalan korupsi telah mendapat perhatian serius dalam berbagai sastranya. Arthasastra, referensi penting dalam sistem politik dan ketatanegaraan Hindu mengungkapkan bahwa penyelewenangan keuangan negara oleh pejabat merupakan suatu keniscayaan.
“Banyak pejabat Bali dan luar Bali datang ke Pura Batur untuk mendapatkan tirta dan menghaturkan sesajen, tidak tahu persis tujuannya apa,” kata Rai. Menurutnya lumrah jika memohon kemakmuran.
Namun, salah kaprah jika mengira usai korupsi bisa menghilangkan dampaknya dengan cara sembahyang.
Menurut lontar Purana Bangsul, danau pertama yang dibuat oleh Ida Sang Hyang Widhi adalah danau Batur, danau terbesar di pulau Bali. Dalam keyakinan Hindu, dan yang diyakini oleh masyarakat Batur, gunung Batur menjadi lingga Siwa dan Danau Batur adalah Yoni.
Pertemuan lingga gunung Batur dengan Yoni Segara Danu Batur diyakini menciptakan kesuburan yang luar biasa bagi Bali. [b]