Demonstrasi Peringatan Darurat 22/08/2024. Sumber: Bisnis-Lukman Nur Hakim
Beberapa hari setelah hari kemerdekaan Indonesia di bulan Agustus 2024, terjadi demonstrasi oleh berbagai lapisan masyarakat. Hal ini dipicu oleh kebijakan dari pemerintah yang dinilai tidak selaras dengan keinginan masyarakat bahkan mengganggu konstitusi. Kondisi ini mencerminkan jarak lebar antara ruang aspirasi rakyat dan anggota DPR sebagai wakil mereka di pemerintahan secara eksplisit. Di satu sisi, unjuk rasa terjadi di ruang publik publik yang sangat terbuka sehingga terkespos dunia luar dan menyebabkan distrupsi. Di sisi lain, para wakil rakyat beroperasi di dalam gedung tertutup yang berada di tengah sebuah kawasan luas, dilindungi pagar tinggi, yang jaraknya seolah membuatnya ekslusif.
Pembacaan Teks Proklamasi ini terasa kontradiktif terhadap pada saat terbentuknya republik ini. Pembacaan teks proklamasi oleh presiden Soekarno dan Moh. Hatta dilakukan di ruang terbuka. Awalnya, pembacaan teks ini akan dilaksanakan di Lapangan IKADA, yang sekarang menjadi MONAS. Tujuannya agar semua lapisan masyarakat dapat melihat dan terlibat secara langsung dalam proses kemerdekaan indonesia melalui upacara. Selain itu, agar informasi tentang momen bersejarah ini dapat tersebar luas secara gamblang melalui media cetak dan radio saat itu. Karena alasan keamanan, pembacaan teks proklamasi berpindah ke halaman rumah pegangsaan timur no. 56. Saat itu, area ini bertransformasi menjadi sebuah ruang publik yang inklusif yang dihadiri berbagai lapisan masyarakat. Pekik kemerdekaan dari semua orang menjadi pertanda dimulainya gerakan revolusi bangsa Indonesia.
Sejarah Gedung DPR/MPR
Pendudukan Gedung DPR pada demonstrasi tahun 1998. Sumber: AFP/Kemal Jufri
Di Jakarta, terdapat Gedung Nusantara atau Gedung MPR/DPR yang berada di dalam kawasan Kompleks Parlemen Republik Indonesia. Pembangunan gedung ini dimulai pada era Presiden Soekarno pada tahun 1965. Awalnya, gedung tersebut dirancang sebagai Congress Hall untuk CONEFO (Conference of the New Emerging Forces), sebuah konferensi internasional yang digagas Soekarno untuk mengumpulkan negara-negara baru yang merdeka. Namun, setelah peristiwa G30S pada 1965 dan transisi kekuasaan ke era Orde Baru, proyek tersebut mengalami perubahan fungsi. Presiden Soeharto kemudian mengubah tujuan bangunan ini menjadi gedung legislatif bagi DPR dan MPR, dan pembangunan dilanjutkan pada tahun 1968. Desain gedung utama yang dikenal dengan Gedung Nusantara, lengkap dengan kubah hijaunya yang ikonik, dirancang oleh arsitek Indonesia, Soejoedi Wirjoatmodjo. Gedung Nusantara menjadi pusat kompleks DPR/MPR, di mana sidang-sidang kenegaraan besar, seperti Sidang Umum MPR, diadakan.
Bangunan ini dikelilingi oleh pagar tinggi yang mengelilinginya di kawasan Senayan, Jl. Jendral sudirman, Jl. Gatot Subroto dan Jl. Palmerah Timur. Di masa awal berdirinya gedung ini di era Orde Baru, terdapat pagar sederhana yang berfungsi untuk melindungi properti negara. Namun, selama masa pemerintahan Soeharto, terjadi peningkatan pembangunan pagar dan keamanan yang lebih ketat, karena terjadi berbagai aksi demonstrasi mahasiswa di akhir 1970-an dan 1980-an. Rezim sangat berhati hati terhadap gerakan protes sehingga pagar mulai dibangun untuk mengontrol akses dan melindungi kompleks dari potensi gangguan. Peristiwa besar pada 1998, saat demonstrasi mahasiswa menuntut mundurnya Presiden Soeharto, menandai titik penting dalam sejarah pagar di kompleks DPR/MPR. Pada periode ini, ribuan mahasiswa berhasil memasuki gedung DPR/MPR untuk menekan perubahan politik, dan ini mendorong penguatan keamanan di sekitar gedung setelah masa Reformasi.
Sejak saat itu, kompleks parlemen dilengkapi dengan pagar yang semakin tinggi dan kuat. Demonstrasi yang terus terjadi pasca-Reformasi, seperti di tahun 2019, terjadi demonstrasi besar #Reformasi Dikorupsi yang memprotes UU Cipta Kerja dan “Peringatan Darurat” yang memprotes RUU Pilkada 2024. Di demonstrasi yang terakhir, pagar tersebut berhasil dijebol oleh demostran sehingga mereka bisa memasuki area gedung DPR.
Hostile Architecture dan Kesetaraan dalam Ruang Publik
Posisi area demonstrasi di Jl. Gatot Subroto terhadap Gedung MPR/DPR. Sumber: Google Earth
Gedung MPR/DPR berada di tengah Kawasan Parlemen Republik Indonesia, berjarak sekitar ±70-200m ke perimeter bangunan jika dilihat dari google earth. Ketinggian pagarnya sendiri antara ±2,5-3m yang terbuat dari beton dan besi. Di pagar bagian Jl. Gatot Subroto, pagaranya juga dilengkapi kawat berduri dan CCTV. Area ini seringkali menjadi tempat terjadinya demonstrasi dan unjuk rasa. Ruang yang tersedia pun sangat kecil dibandingkan ruang terbuka yang berada di dalam kawasan tersebut.
Bentuk penataan ruang seperti ini juga diaplikasikan di berbagai kompleks pemerintahan kota lain, salah satunya di kawasan pemerintahan di Renon, Denpasar. Gedung DPRD Provinsi Bali berada berdekatan dengan gedung pemerintahan lain. Namun, jarak bagunan terhadap pagar jauh lebih pendek ± 70m dan ukuran pagar yang tidak tinggi. Meski jauh lebih terbuka, untuk memasuki kawasan ini perlu melalui protokol keamanan tertentu sehingga aksesnya masih dibatasi demi keamanan. Gedung-gedung parlemen di kota-kota Indonesia masih sangat eksklusif dan tidak transparan secara harfiah dan literal. Karakteristik bangunan megah, pagar tingg, dan jarak yang terisolir ini menjadi representasi kekuasaan dan otoritas legislatif. Carole Pateman, dalam Participation and Democratic Theory (1970) mengungkapkan “Demokrasi tidak dapat terwujud tanpa partisipasi aktif dan setara dari semua warga negara dalam proses politik.”
Sejak abad-21 muncul istilah Hostile Architecture, yaitu sebuah strategi desain yang bertujuan untuk mengontrol dan membatasi perilaku pengguna ruang publik. Istilah ini muncul dari para pakar perencana kota, jurnalis dan arsitek sebagai kritik dari bentuk arsitektur dan penggunaan ruang yang menghambat interaksi manusia yang tidak diinginkan oleh pemilik properti dan perencana kawasan. Penempatan bangunan dan berdirinya pagar tinggi yang membatasi interaksi antara rakyat dan anggota parlemen ini merupakan gambaran tepat tentang istilah ini.
Demonstrasi di depan gedung parlemen, Selandia baru. Sumber: REUTERS/Lucy Craymer
Di negara lain, terdapat gedung parlemen yang menyediakan ruang terbuka untuk berunjuk rasa, yang lokasinya sangat dekat dengan bangunannya. Seperti di Gedung Parlemen Wellington, di New Zealand yang berada di tengah taman terbuka dan Gedung Parlemen Australia di Canberra yang atapnya dipasang rumput agar masyarakat mudah mengaksesnya.Penempatan gedung parlemen di tengah ruang publik yang terbuka ini secara filosofis menunjukan agar suara rakyat dapat langsung di dengar oleh anggota parlemen sebagai wakil rakyat. Secara fisik pun, jika terjadi unjuk rasa, angguta parlemen bisa langsung mendengar dan meresopan para demonstran.
Ruang publik memainkan peran penting dalam kesetaraan dan dan partisipasi masyarakat dalam demokrasi. Menurut Peter Marcuse, dalam jurnal The Paradoxes of Public Space (2014), “Ruang publik juga harus berfungsi sebagai ruang demokratis di mana masyarakat dapat berkumpul dan menyuarakan aspirasi politik mereka secara bebas dan setara”. Ruang demokratis ini juga perlu menjadi inklusif, didukung dengan mudahnya aksesibilitas, secara nampak dan terdengar langsung oleh wakil rakyat. David Harvey dalam buku Rebel Cities: From the Right to the City to the Urban Revolution (2012) berpendapat “Ruang demokratis adalah ruang di mana individu dapat terlibat dalam dialog dan kolaborasi yang berarti untuk mengatasi ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang membentuk lingkungan urban mereka.”
Memecah Jarak dan Menghadirkan Keterbukaan di Ruang Parlemen
Keberadaan anggota parlemen di dalam ruang terisolir yang ekslusif ternyata memberikan pengaruh terhadap cara membuat kebijakannya. Dalam buku The Hidden Dimension (1996) oleh Edward T. Hall mengungkapkan “Pengaturan jarak fisik dapat mempengaruhi kenyamanan komunikasi dan kualitas hubungan sosial. Aksesibilitas ruang yang baik memungkinkan interaksi yang lebih lancar dan produktif, sementara keterbatasan dalam akses dapat menimbulkan perasaan terisolasi atau tidak diinginkan.” pernyataan ini menajdi referensi teori Proxemics. Keberadaan dalam ruang eklusif ini membuat tidak adanya pengawasan dan keterbukaan terhadap publik sehingga banyak muncul kebijakan-kebijakan yang tidak melibatkan partisipasi masyarakat. Mereka seperti memiliki dunianya sendiri, merasa aman dan bebas dalam melakukan apapun. Walaupun, ada upaya untuk menunjukkan keterbukaan melalui siaran-siaran sosial media dari divisi kerja parlemen, namun tetap saja, jarak fisik yang sangat jauh terhadap rakyat menimbulkan interaksi dan tidak lancar dan produktif.
Presiden ke-4 Indonesia, Abdurrahman Wahid, pernah mengkritik gedung DPR seperti taman kanak-kanak, yang memicu munculnya dekrit presiden untuk membubarkan lembaga ini. Namun upaya ini gagal dan berujung pemakzulan. Upaya ini juga pernah dilakukan Ir. Soekarno yang membubarkan konstituante pada tahun 1959. Sebetulnya DPR dan parlemen sebagai wakil rakyat tetap dibutuhkan, sebagai penyambung aspirasi dari rakyat ke tingkat eksekutif. Namun, keberadaannya harus berada di tengah ruang yang aksesibel terhadap masyarakat. Keberadaan ruang terbuka di dalam kawasan-kawasan gedung parlemen harus menjadi inklusif sehingga benar-benar menjadi ruang aspirasi dan interaktif terhadap suara rakyat. Eksistensi pagar tinggi dan berjarak di sekelilingnya mestinya dihilangkan. Terkait masalah keamanan, mudah sekali lembaga-lembaga pemerintahan menyediakan keamanan bagi anggotanya tanpa harus membuat bangunan baru. Lagipula, dengan adanya bangunan parlemen di tengah ruang publik, mestinya hal ini bisa membuat para wakil rakyat paham terhadap dinamika yang muncul di tengah masyarakat secara langsung, dan memicu munculnya kebijakan-kebijakan yang adil dan partisipatif.