Oleh Anton Muhajir
Selain perlu terus didorong di Indonesia, Corporate Social Responsibility (CSR) juga perlu melibatkan staf internal perusahaan tersebut. Dengan demikian program kepedulian sosial tersebut akan berkelanjutan. Hal ini muncul dalam diskusi bertema Corporate Social Responsibility: A Public Relation Gimmick or Strategy Giving di Denpasar, Senin (30/3) kemarin.
Diskusi yang diadakan Bali Creative Community (BCC) dan Bali Fokus ini dihadiri sekitar 20 praktisi industri kreatif di Bali. Pembicara di diskusi setengah hari ini adalah Gunawan Alif, Country Representative of New York Festival, serta Yuyun Ismawati, Direktur Bali Fokus.
Menurut Gunawan yang juga Dosen Senior di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, staf perusahaan merupakan salah satu dari lima pelaku penting dalam CSR selain komunitas, mitra bisnis, media dan pressure group, serta pemerintah. Dari lima pelaku tersebut, staf perusahaan berada di bagian pertama. “CSR akan berhasil dan berdampak baik kalau dimulai dari perusahaan itu sendiri,” katanya.
Mantan editor-in-chief Majalah kehumasan dan periklanan “Cakram” ini mengatakan dua contoh yang bisa dilakukan adalah dengan melibatkan karyawan adalah kerja sosial serta membantu korban bencana alam.
CSR merupakan program sosial yang biasa dilakukan oleh perusahaan-perusahaan. Tujuannya selain sebagai bentuk tanggung jawab sosial adalah promosi. Namun menurut Gunawan program ini sering kali justru hanya menjadi alat promosi perusahaan tersebut, bukannya untuk program kepedulian sosial.
Hal ini bisa dilihat dari banyaknya program CSR oleh perusahaan-perusahaan besar di Indonesia yang semata memberikan bantuan pada komunitas tertentu seperti warga miskin atau pelajar dan mahasiswa. Padahal, lanjutnya, CSR bukanlah hanya soal memberi tapi juga melibatkan komunitas.
Di Indonesia, lanjutnya, CSR juga sangat sesuai dengan prinsip dasar untuk bertetangga dengan baik. “CSR bisa menjadi pagar yang sangat baik untuk menjaga perusahaan kita,” tambahnya.
“Bantuan sosial pada tetangga merupakan sesuatu yang umum dan tradisi lama yang masih sangat relevan saat ini,” kata Gunawan.
Pembicara lain, Yuyun Ismawati, mengatakan CSR merupakan upaya untuk menyelesaikan pekerjaan bersama-sama antara pemerintah, swasta, dan publik. Sebab, lanjut Direktur LSM Bali Fokus ini, selama ini cenderung ada pengkotak-kotakan antara ketiga stakeholder ini.
Secara global, CSR juga sudah mendapat legitimasi dari PBB melalui apa yang disebut sebagai UN Global Compact dengan turunannya seperti Agenda 21, Millenium Developtment Goals (MDGs), dan lain-lain. Dalam program-program tersebut PBB menekankan pada perlunya kepedulian pada masalah-masalah seperti penghapusan kemiskinan, pelestarian lingkungan, dan kepedulian sosial.
Meski demikian, menurut Yuyun, masih banyak perusahaan yang berdalih melakukan CSR namun pada praktiknya justru membebani konsumen dengan cara menambah harga produk. “Jadi bukan perusahaan yang melakukan CSR tapi konsumen,” katanya.
Pendekatan untuk melakukan CSR itu bisa melalui community based developtment project dan charity. Dua pendekatan ini lebih banyak dilakukan oleh perusahaan di komunitas tertentu. Namun di sisi lain perusahaan tersebut juga masih melakukan pelanggaran lain misalnya memproduksi barang yang merusak lingkungan. “Karena itu perlu ada extended producer responsibility (EPR), tidak semata corporate social responsiblity (CSR),” ujar Yuyun.
EPR tersebut bisa dilakukan misalnya dengan melakukan daur ulang botol oleh perusahaan air mineral atau soft drink. Dengan cara itu maka kepedulian perusahaan akan lebih berkelanjutan. [b]
makasih..sangat bergunaa..