Mendengar kata “Festival” orang akan membayangkan keramaian, sukaria, musik atau makanan. Tapi bagaimana dengan Cerita Rasa Festival yang dilaksanakan di desa? Desa yang jauhnya 100 km dari ingar-bingar keramaian pulau Bali. Apakah orang akan tertarik untuk datang? Apakah masyarakat sekitar akan terinspirasi dengan program-program yang dilaksanakan?
Sabtu 30 Juli 2022, kami di Sanggar Bali Tersenyum mengadakan sebuah acara yang kami beri tajuk Cerita Rasa, di Banjar Berawantangi, Desa Tukadaya, Kecamatan Melaya, Kabupaten Jembrana. Program ini bermula dari rencana pemutaran film pendek karya Made Suarbawa yang diproduksi di bawah naungan sanggar. Film yang mendapat hibah pendanaan PEN Kementerian Pariwisata dan ekonomi kreatif Indonesia tersebut, diberi judul @ItsDekRaaa.
Dari diskusi-diskusi saat persiapan yang kami lakukan, muncul ide penambahan kegiatan selain program pemutaran film. Akhirnya kami sepakati beberapa kegiatan, yaitu presentasi kuliner, melukis bersama anak-anak, pelatihan fotografi dan pentas cerita, yang melibatkan teman-teman warga Desa Tukadaya. Kegiatan tersebut menjadi acara sehari yang kami jadikan tonggak rintisan festival pedesaan, yang kelak semoga akan dikenal sebagai Cerita Rasa Village Festival.
Pertanyaan dan kekhawatiran kami mengenai respon masyarakat sekitar mulai terjawab, ketika kami mulai “menggembar-gemborkan” ide yang belum kami sebut festival. Informasi yang telah disebar secara manual berupa pemberitahuan langsung kepada para tetangga dan juga promosi melalui media online, mendapat respon yang positif.
Pengisi acara yang kami hubungi sebagian besar menyatakan siap mendukung. Peserta pelatihan fotografi juga mulai mengisi formulir pendaftaran. Para orang tua yang memiliki anak usia TK dan SD mulai aktif bertanya, bagaimana anak mereka bisa ikut kegiatan melukis bersama?
Kami sangat takjub akan respon luar biasa tersebut. Bahkan ada orang tua yang datang mendaftarkan semua anak-anaknya untuk ikut program melukis bersama. Ada orang tua yang bertanya apakah sebagai warga luar Desa Tukadaya boleh ikut berpartisipasi? Ada pula remaja yang datang dengan wajah khawatir dan bertanya mengenai syarat-syarat mengikuti pelatihan fotografi, karena mereka tidak memiliki alat foto.
Hingga satu hari sebelum acara, ketika kami cukup sibuk bersiap-siap, tetangga yang ingin tahu ‘banget’, ada yang datang untuk sekedar bertanya dan melihat-lihat kesibukan persiapan kami. Informasi mengenai program yang akan kami laksanakan, cukup baik tersebar dari mulut ke mulut. Warung sebelah rumah kami juga menjadi hub tersebarnya informasi antara pemilik warung dan pembeli atau antar para pembeli sendiri.
Dan tibalah hari H! Mata acara pertama kami akan dimulai pukul dua belas siang. Ketika itu jam baru saja menunjukkan pukul sepuluh pagi, namun beberapa anak sudah muncul dengan penuh semangat. Mereka bilang ingin ikut program menggambar. Dengan wajah manis, kami mengatakan program menggambar akan dimulai pukul tiga sore. Mereka bilang bahwa mereka mau menunggu sambil melihat-lihat, membaca buku-buku dan bermain tingklik di teras Rumah Baca Bali Tersenyum. Tentu saja boleh. Tapi, setengah jam kemudian, ada yang mengusulkan agar acara menggambar segera dimulai. Mereka benar-benar antusias. Namun sayangnya, kami tetap bertahan sesuai jadwal, karena belasan anak yang telah mendaftar akan datang tepat waktu.
Diantara kepanikan di kepala kami, ada perasaan lega melihat tanggapan positif dari berbagai kalangan, baik di lingkungan desa kami Tukadaya, dan juga dari luar desa.
Cerita Rasa Festival 12:00 – 21:00
Saat tiba pukul dua belas siang tepat, kami sudah siap dengan acara pertama yaitu presentasi kuliner olahan kelapa. Alat dan bahan sudah disiapkan, kamera HP dipasang pada tripod, pengeras suara mulai dinyalakan. Hal itu membuat anak-anak yang sedang di perpustakaan kemudian mendekat dan bertanya-tanya.
“Kakak sedang apa?”
“Kita akan nandusin.”
“Nandusin? Ngae lengis?”
Nah, saat yang tepat untuk menunjukkan pada mereka proses nandusin atau membuat minyak goreng dari bahan kelapa. Mereka dengan antusias membantu proses memarut dan memeras kelapa. Proses mengolah kelapa ini lumayan panjang. Sejak memarut, memeras kelapa hingga mendidihkan santan supaya keluar minyak membutuhkan waktu sekitar tiga jam.
Proses nandusin ini umum dilakukan masyarakat di Desa Tukadaya, memanfaatkan buah kelapa yang ditanam di kebun mereka. Nyaris semua penduduk Tukadaya yang memiliki tegalan, menanam kelapa. Entah itu kelapa besar, atau jenis kelapa kecil yang umum digunakan dalam berbagai kegiatan upacara.
Begitu banyak hasil buah kelapa yang dihasilkan di desa Tukadaya, tapi sudah sangat jarang warga yang nandusin. Tentu bagi mereka lebih praktis untuk membeli dan menggunakan minyak kemasan yang tinggal beli di warung. Namun ketika harga minyak goreng melambung tinggi dan langka, terjadilah kepanikan. Padahal masih ada banyak buah kelapa yang bisa dimanfaatkan menjadi minyak goreng.
Saat proses presentasi kuliner masih berjalan, peserta pelatihan fotografi mulai ber datangan. Peserta pertama yang datang mengaku kuliah di Universitas Terbuka mengambil jurusan Manajemen, sambil bekerja di sebuah toko bangunan di kota Negara. Ia tertarik mengikuti pelatihan fotografi karena ingin menambah keahlian yang dimiliki. Ini sangat inspiratif.
Peserta yang mengikuti pelatihan fotografi di festival cerita rasa, datang dari rentang usia yang cukup lebar. Ada yang sudah menamatkan kuliah dan bekerja, ada yang sedang kuliah, ada yang baru lulus SMA dan ada juga yang masih di bangku SMP dan SD.
Dalam pelatihan fotografi ini, para peserta dihantarkan untuk mengetahui unsur-unsur yang membuat fotografi itu ada. Mereka diperkenalkan pada prinsip dasar fisika yang membentuk kamera hingga menghasilkan gambar dan sisi estetik yang menjadi sisi indah dari fotografi.
Selain itu, peserta juga mendapat cerita dari dua orang pengusaha foto dan video di Jembrana, yaitu Dwi Artawan pemilik Relief Studio dan Komang Triadi pemilik Candra Photografy studio. Mereka berdua memberi semangat pada peserta, bahwa segala sesuatu harus dimulai dari nol. Dan jika memiliki semangat, maka nol akan bergerak menjadi satu, dua, dan seterusnya, tergantung pada semangat belajar masing-masing.
Mendekati jam tiga sore anak-anak mulai berdatangan bersama para orang tua mereka. Festival semakin ramai. Program menggambar untuk anak-anak segera dimulai. Awalnya program menggambar bersama hanya menargetkan dua puluh anak saja. Namun pada kenyataannya, anak-anak yang turut menggambar mencapai lebih dari tiga puluh lima orang.
Panik, Panik, Panik! Kami hanya memiliki tiga puluh alas gambar, sehingga ada anak yang harus menggambar beralaskan lantai teras.
Dalam sesi menggambar ini, kami mengundang perupa muda asal desa Tukadaya, Wayan Wasudewa, yang banyak bermain-main di ranah mural dan tato. Kehadiran Wayan yang dikenal dengan sign WSDW menjadi sebuah gambaran tentang jalan berkesenian.
Secara tidak langsung, kehadiran orang dewasa yang melukis bersama anak-anak menjadi role model bagi mereka, yang selama ini hanya mengetahui menggambar adalah sempilan pelajaran di sekolahnya. Di sini mereka akan tau bahwa seni juga bisa menjadi profesi, dan ada sekolahnya hingga perguruan tinggi. Ada juga orang yang memilih berkesenian sebagai jalan hidupnya.
Gambar-gambar hasil karya anak-anak kemudian dipamerkan dengan menggantungnya di dinding rumah. Kemudian ada sesi memberi stiker pada gambar. Diberi stiker? Ya, setiap orang yang datang ke Cerita Rasa Festival harus menempel stiker untuk memilih gambar yang paling mereka sukai. Gambar yang paling banyak mendapatkan stiker menjadi gambar favorit. Siapa pun boleh menempelkan stiker, bahkan anak-anak yang ikut menggambar pun boleh. Ini menunjukkan supaya mereka tidak rendah diri dengan hasil karya mereka, namun juga bisa memberi apresiasi pada karya lain yang mereka anggap bagus atau sukai.
Jeng! Jeng! Tibalah acara yang paling disukai semua orang. Makan! Menu kali ini adalah hasil dari olahan kelapa pada seisi presentasi kuliner, yaitu lontong serapah. Lontong Serapah adalah makanan khas Bali Barat yang terdiri dari lontong, sayuran rebus dan kuah roroban berbumbu basa genep. Roroban adalah hasil sampingan proses membuat minyak kelapa. Saat santan direbus maka menghasilkan minyak kelapa yang mengambang dan roroban di bagian bawah. Hasil sampingan lain adalah telengis, yang didapat dengan cara menyaring roroban. Telengis teksturnya kental dan sering dipepes menjadi lauk yang sangat enak dan gurih.
Mendongeng dan Layar Tancap
Ketika malam tiba, acara kemudian dilanjutkan dengan sesi pentas cerita. Ada dua orang penampil, yaitu Ayu Nila dan Melany. Ayu Nila tampil dengan membacakan dongeng berjudul Padi dan Hama Wereng dari buku Kumpi Mangku Mendongeng karya Pak Made Taro. Sementara Melany mendongeng tentang balas budi semut pada burung merpati.
Setelah pentas cerita, maka tibalah pada acara yang ditunggu-tunggu yaitu pemutaran film pendek. Kenapa ditunggu? Karena salah satu film yang akan diputar adalah film pendek yang dibuat di desa kami Tukadaya. Film ini juga menampilkan para pemain lokal warga Tukadaya. Semua orang antusias untuk melihat wajah dirinya, anaknya, ayahnya, atau tetangganya di layar lebar.
Film pertama yang diputar yaitu Pekak Kukuruyuk, sebuah film dokumenter karya Agung Yudha berdurasi dua puluh menit, yang merupakan produksi program Eagle Award Metro TV. Dokumenter tersebut berkisah tentang kehidupan Pak Made Taro, seorang pelestari dongeng dan permainan tradisional. Karya Agung Yudha ini dipilih, karena berkaitan dengan program pentas cerita, yang mengangkat dongeng dan bercerita sebagai sebuah aktifitas yang perlu tetap dilakukan disetiap rumah orang tua bagi anak-anaknya.
Karya selanjutnya adalah film berjudu Besok Saya Tidak Masuk Sekolah karya Oka Sudarsana, yang berdurasi enam belas menit ini berkisah tentang Ginar, seorang anak SD di pelosok Kintamani yang berjuang menempuh pendidikan Sekolah Dasar. Fiksi pendek ini menggambarkan sisi lain dari keindahan dan kemegaha pulau Bali di mata dunia, sekaligus juga menyentil dunia pendidikan di negeri kita tercinta.
Film terakhir adalah @ItsDekRaaa, film ini bercerita tentang kehidupan remaja di pedesaan yang terpapar oleh smartphone dan media sosial. Dekra, tokoh utama dalam film ini ingin sekali menjadi selebriti Tiktok, namun grup Tiktoknya terancam bubar karena salah satu temannya menghilang secara misterius.
Cerita Rasa menjadi ajang pemutaran pertama @ItsDekRaaa di Indonesia, setelah pada 23 Juli diputar di Planet 23 Studios, Wheeling, West Virginia, dalam rangka The Fifteen Minute Film Festival. Film ini sedang berkeliling masuk berbagai festival film di berbagai negara. Selain The Fifteen Minute, festival yang telah memilih dan akan memutar film @ItsDekRaaa diantaranya, MiCe Festival di Valencia – Spanyol, Cinemaking International Film Festival – Banglades, DYTIATKO International Children’s Media Festival – Ukraina, dan semoga banyak lagi yang tertarik memutar hingga dua tahun mendatang.
Sekitar seratus orang memadati halaman Rumah Baca Bali Tersenyum malam itu. Beberapa orang yang sempat bertegur sapa memberi apresiasi baik. “Ini acara bagus sekali, perlu dilanjutkan.” begitu rata-rata kata mereka. Terdengar seperti retorika para politisi. Tapi kami tidak peduli. Entah mereka yang datang menyadari acara tersebut kami beri judul Cerita Rasa. Apakah mereka menganggap itu sebuah festival atau tidak. Tidak penting. Yang kami hargai adalah dukungan mereka dengan telah datang, meramaikan dan mendukung Cerita Rasa. Yang terpenting adalah sekarang kami lebih bahagia.
Terima kasih untuk masyarakat Desa Tukadaya dan sekitarnya yang telah mendukung acara ini. Para tetangga, saudara, pemerintah Desa Tukadaya, BUMDes, LPD, UMKM dan pengusaha di Desa Tukadaya yang telah memberi perhatian dan semangat. Sampai jumpa di Festival Cerita Rasa 2023. Astungkara!