Belakangan ini hati dan perasaan Men Coblong terasa “rusuh”.
Sepertinya hari-hari yang dijalani terasa berat dan “wagu”. Seolah ada sesuatu yang mengganjal. Sesuatu yang sangat mengganggu tetapi sulit diurai. Sesuatu yang mengusik tetapi tidak bisa diusik.
Setiap membaca berita-berita daring Men coblong tercekat. Peristiwa teror di Surabaya, kota yang sangat dikenal Men Coblong. Seluruh liuk dan liku jalannya, juga harum pohon-pohon yang disebar Tri Rismaharini, wali kota yang membuat wajah Surabaya kering dan gersang berubah lebih “manusiawi” dan memikat. Taman-taman ditata, beragam masalah-masalah “kebangsawanan” yang selama ini dikuasai para pejabat tumbang di tangan seorang perempuan bernama Tri Rismaharini.
Namun, di suatu pagi yang redup, kota itu berubah jadi kota “teror”. Begitu mengejutkan dan melukai perasaan siapa saja, terutama perasaan seorang ibu. Bagaimana mungkin ibu itu tega menggiring anak-anak mereka menuju jalan kematian yang belum tentu menjadi pilihan si anak.
Bagaimana kita bisa tahu kalau anak-anak itu ikhlas menuju “jalan surga” ala pemikiran orang tuanya?
Sebagai seorang anak, Men Coblong juga merasakannya sulitnya menebang dan memangkas beragam argumen kebenaran yang disodorkan orang tua jika kita berdebat dengan mereka. Budaya Timur memang mendidik anak sejak Balita bahwa hormat pada orang tua berarti jalan menuju surga. Juga bisa meramu hidup lebih gemilang. Membangkang orang tua berarti jalan menuju neraka. Juga mitos nasib buruk terbentang luas di depan mata.
Men Coblong paham, menjadi anak itu sulit. Men Coblong juga paham, menjadi orang tua di saat ini juga tidak mudah. Jika Men Coblong disodorkan pilihan, lebih baik menulis novel, terasa mudah dibanding menjadi orang tua, apalagi anak-anak saat ini terasa sulit diatur.
Mungkin “rasa hormat” yang tinggi pada orang tua itulah yang membuat anak-anak pelaku bom itu tidak memiliki pilihan jalan sendiri. Bahkan cara berpikir pun sudah ditata. Konsep mati yang benar pun sudah dirumuskan, tanpa memberi kesempatan untuk mempertimbangkan kembali. Surga apa sesungguhnya yang diciptakan para orang tua yang tega menyematkan bom di tubuh anak-anak mereka?
Kasus Surabaya benar-benar membuat Men Coblong terkapar dan luka parah. Terutama pikiran, rasa dan hati. Apalagi menyaksikan peristiwa ini: prosesi Misa Penutupan Peti dua anak korban peledakan bom di Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela, Surabaya, yang dilakukan di rumah duka Adi Jasa yang dipimpin langsung oleh sejumlah Pastor, Rabu sore (16/5).
Perasaan duka mendalam dari keluarga dan sahabat, tidak dapat disembunyikan selama berlangsungnya misa tersebut. Ratusan orang melantunkan doa-doa dipandu sejumlah pastor yang memimpin jalannya Misa Penutupan Peti jenazah Nathan dan Evan, dua anak korban peledakan bom di Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela, Surabaya, Minggu lalu (13/5).
Tidak sedikit para jemaat yang hadir tidak kuasa menahan kesedihan dan duka mendalam atas tragedi kemanusiaan ini. Terutama ketika Weni, ibu kedua anak yang meninggal itu, hadir untuk melihat wajah kedua buah hatinya untuk terakhir kali. Weni, yang juga menjadi korban luka-luka dalam serangan bom bunuh diri itu, memaksakan diri datang ke rumah persemayaman jenazah Adi Jasa dengan menggunakan kursi roda dan selang infus di tangan.
Sehari sebelumnya (15/5) Weni, yang masih menggunakan tempat tidur darurat, juga datang melihat jenazah kedua anaknya, membelai wajah mereka dan membisikkan kata-kata ke telinga mereka. Apakah yang dibisikkan perempuan itu kepada dua orang anaknnya? Mampukah perempuan itu memilih huruf-huruf yang dironce jadi kalung-kalung indah untuk dibisikkan ke telinga dua orang anaknya?
Men Coblong tersekat, membayangkan pikiran perempuan yang tubuhnya juga terluka berat. Tubuh yang masih bisa dilihat beragam goresan dan luka-luka yang akan abadi dibawanya sepanjang hidupnya. Lalu siapa yang bisa mengeja dan merangkai luka hatinya? Kehilangan dua orang anak lelaki yang dikandung dan dibesarkannya dengan susah payah.
Dua orang anak lelaki yang diajarkannya untuk mengenal Tuhan lebih dekat. Diajarkannya tata krama beragama ala konsepnya sebagai ibu. Agar kelak dua orang anak lelakinya memahami bahwa jika hidup makin sulit, datanglah ke rumah Tuhan. Di rumah Tuhan juga dua orang anak lelakinya direngggut oleh sebuah keluarga yang sama persis dengan tujuan Weni, mencari Tuhan. Mencari surga.
Men Coblong menatik napas. Bagai mana mungkin sebuah keluarga di negeri ini menggiring anak-anaknya menuju kematian dengan cara meledakkan diri? Dengan cari merakit benda-benda yang membahayakan di rumah sendiri.
Hidup saat ini terasa sangat tidak masuk akal. Rumah sebagai tempat berteduh berubah jadi tempat merakit bom. Bagai mana mungkin keluarga dibentuk untuk melahirkan serdadu? Perang apakah sesungguhnya yang sedang dihadapi keluarga-keluarga pengebom itu? Perang kehidupan mereka sendiri? Atau perang yang lain. Perang yang tidak diketahui dan tidak terdeteksi pemikiran Men Coblong.
Langit terasa selalu gelap dan muram di bulan Mei ini. Semoga di bulan Juni, matahari dan hujan mungkin bisa menghapus beragam gundah yang menyebar di dalam pikiran Men Coblong. [b]