MEN COBLONG terdiam.
Setiap memasuki bulan Agustus selalu merasa ada hal-hal mistis berenang di palung hatinya. Sesuatu yang sulit diuraikan. Sudah otomatis, setiap tanggal 1 Agustus di perumahan miliknya yang diisi para pensiunan “TNI” dan “Polri” Men Coblong selalu memasang bendera merah-putih.
Sejak kecil Men Coblong dibesarkan di lingkungan “tentara” yang selalu memasang bendera setiap memasuki bulan Agustus. Sejak kecil pula Men Coblong sangat menikmati upacara bendera di sekolah, dan selalu ingin berada di depan. Menyaksikan beragam “ritual” peran yang dimainkan teman-temannya.
Ada penggerek bendera, pembaca teks, pemimpin upacara yang bersuara lantang, juga pembacaan doa untuk para pahlawan dan orang-orang yang berjasa membangun negeri ini.
Men Coblong paling menikmati sekuel menaikkan bendera merah-putih, biasanya dada Men Coblong juga ikut bergetar. Kadang-kadang Men Coblong juga berdoa, begini isi doanya: Hyang Jagat, semoga bendera tidak terpasang terbalik atau Hyang Jagat semoga bendera sampai di atas bersamaan dengan habisnya lagu “Indonesia Raya” yang dinyanyikan anak-anak paduan suara.
Doa sederhana, tetapi Men Coblong sangat menyukainya dan menikmati doa yang dibuatnya sendiri, doa yang tentunya tidak dibagikan untuk orang lain. Men Coblong terbiasa berdoa dengan kalimat-kalimat yang dibuatnya sendiri.
Makanya belakangan ini Men Coblong justru “bingung” dan sedikit “linglung” karena saat ini banyak sekali hafalan-hafalan doa yang justru harus dihafal dengan kalimat-kalimat yang dirasakan Men Coblong bukan miliknya. Doa yang diatur dan ditata, kata beberapa orang harus dihafal, karena itulah doa yang sesungguhnya, doa yang lebih dikenal olehNya.
Hyang Jagat? Men Coblong terdiam, 73 tahun sudah negeri ini, jika doa dan baju saja masih diatur, apakah kita masih bisa mengatakan diri kita merdeka?
“Kalau dibiarkan merdeka dengan cara berpikirmu, negeri ini tentu kacau. Harus ada aturan main juga,” sahut sahabatnya, ketika Men Coblong merasa beragam kehidupannya saat ini benar-benar terasa “absurd”. Di Twitter bahkan banyak orang-orang membahas Mr Toa yang seringkali membuat orang-orang merasa tidak “nyaman” dilarang salah, dibiarkan juga salah.
Suara-suara dari Mr Toa yang diributkan orang-orang memang harus dipertimbangkan, karena faktanya seringkali suara-suara yang dibagikan Mr Toa ke kuping warga memiliki interpretasi berbeda. Seorang Ibu yang anaknya baru belajar melafalkan doa tentu “girang” suara anaknya dibagikan ke seluruh kuping warga di lingkungannya, walapun suaranya cempreng dan menganggu.
Masalah-masalah kecil di usia Indonesia ini memang harus segera dituntaskan. Jika tidak? Hal-hal yang kecil inilah yang bisa membuat Indonesia makin terpuruk dengan hal-hal kecil yang tidak tundas. Bahkan salah seorang umat Twitter memposting kalimat seperti ini : agama justru jadi candu yang lebih berbahaya dari ciu.
Di tengah kegusaran yang mengalir deras, di tengah gaung nasionalisme yang masih tertinggal di ujung bibir, Men Coblong justru merasa terhibur dan terharu dengan ulah Yohanes Ande Kala alias Joni, siswa kelas kelas VII SMP 1 Silawan, Atambua, Flores, hadir di Stadion Utama Gelora Bung Karno untuk menyaksikan upacara pembukaan Asian Games 2018, Sabtu, 18 Agustus 2018.
Joni sempat mencuri perhatian lewat aksinya memanjat tiang bendera saat upacara peringatan HUT RI ke-73 di Desa Silawan, karena talinya tersangkut. Joni tiba di GBK pukul 17.13 WIB. Ia datang mengenakan jaket Asian Games berwarna merah pemberian Kementerian Pemuda dan Olahraga. Joni dan keluarga masuk ke GBK melalui Gate 2 atau pintu khusus tamu VIP.
Aksi Joni yang menjadi viral itu membuatnya menjadi terkenal. Sejumlah penonton pembukaan Asian Games 2018 yang ada di sekitar pintu masuk pun langsung memanggil namanya begitu melihat Joni melintas. “Joni… Joni…,” kata mereka. Joni membalas dengan melambaikan tangan sambil tersenyum.
Aksi heroiknya mendapat pujian dari berbagai kalangan termasuk Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi. Karena aksinya itu, Menpora mengundang Joni dan kedua orang tuanya menyaksikan pembukaan Asian Games 2018. Menurut Menpora, aksi Joni menunjukkan tekad siap berkorban demi Merah Putih.
Semoga para petinggi negeri juga belajar menghargai dan memaknai “nasionalisme” dengan tulus seperti Joni. Merdeka! [b]