Teknologi secara perlahan telah “membunuh” sebagian budaya Bali.
“Meong meong alih je bikule bikul gede gede buin mokoh mokoh kereng pesan ngerusuhin juk meng juk kul mate nengeng caplok bikul…” Demikian petikan gending rare Bali berjudul meong-meong. Lagu ini ibarat mengingatkan masa anak-anak yang begitu menyenangkan. Terlebih lagi, begitu banyaknya gending rare yang ada maupun ragam peplaian (permainan) yang ada di Bali.
Bermain! Kata-kata tersebut cukup akrab di telinga anak-anak. Hampir semua anak memiliki masa bermain, sebagai bentuk perkembangan psikologis kejiwaan mereka.
Dahulu, anak-anak dikatakan bermain jika mereka sudah berkumpul dengan teman sebaya dan melakukan kegiatan bersama-sama. Penuh canda dan suka cita, serta yang paling penting adalah tumbuhnya rasa saling menghargai, menyayangi, dan membutuhkan dalam diri sang anak terhadap lawan bermainnya.
Tapi kini, hal tersebut nyaris tenggelam. Anak-anak bisa bermain tanpa melibatkan teman sebayanya. Contoh nyata adalah keberadaan game online. Perkembangan teknologi yang begitu pesat mendorong terciptanya beragam permaian baru.
Celakanya, hal tersebut memicu tumbuhnya sikap individualistis pada diri anak. Bisa dibayangkan, dengan koneksi internet dan layanan komputer, seorang anak bisa bermain sendiri, tanpa harus berinteraksi dengan anak yang lain.
Dengan demikian, rasa saling menghormati, menyayangi dan saling membutuhkan pada diri anak lambat laun kian memudar. Padahal, sebagai mahkluk sosial, manusia tidak bisa melepaskan diri dari keberadaan orang lain.
Hal itu merupakan contoh kecil dari dampak negatif game online, yang merupakan salah satu bentuk kemajuan teknologi. Perkembangan teknologi jelas bukan hal yang salah. Apalagi di era globalisasi saat ini, teknologi sangat dipelukan oleh umat manusia, agar mampu bertahan hidup.
Namun, disadari atau tidak, teknologi secara perlahan telah “membunuh” sebagian budaya bangsa.
Contoh sederhana adalah punahnya permainan tradisional yang merupakan bagian dari budaya bangsa. Saat ini, nyaris tak pernah terlihat lagi anak-anak yang bermain metajok. Termasuk pula keengganan untuk bermain megoakan yang merupakan bagian dari cerita budaya masyarakat Buleleng. Entah berapa banyak lagi budaya Bali yang tenggelam dan nyaris tidak diketahui oleh anak-anak zaman sekarang.
Jika dibandingkan dengan game online ataupun permainan modern masa kini, permainan tradisional jelas kalah mengasyikkan. Ditambah lagi dengan minimnya prasarana seperti tanah lapang yang kian menciut. Hal tersebut jelas membuat anak-anak kian tidak mengenal budaya mereka sendiri.
Game online tidak memerlukan tempat yang luas. Cukup satu kursi dan meja, anak-anak dapat puas bermain. Apalagi sejumlah pakar mengatakan, bahwa permainan modern yang dikembangkan saat ini, ikut mengasah daya kreativitas anak usia dini.
Lantas, akankan budaya tradisional tergerus oleh permainan masa kini?
Jika dicermati secara mendalam, banyak permainan modern yang justru mengandung sisi negatif. Salah satunya adalah game online. Selain “mencetak” anak menjadi seorang individualistis, game online juga berdampak buruk pada kesehatan. Umumnya, ketika bermain game online, anak-anak sampai lupa waktu, lupa makan, dan terus-terusan berada di depan layar monitor. Hal tersebut jelas berdampak kurang bagus pada kesehatan mata.
Belum lagi dari sisi finansial, keberadaan game online jelas menambah banyak jumlah pengeluaran belanja orang tua. Tidak hanya itu saja, permaian modern juga mencetak anak malas untuk belajar. Banyak kasus menyebutkan, prestasi anak didik merosot ketika mereka mengenal game online dan mulai melupakan waktu untuk belajar.
Lantas, apakah salah jika teknologi berkembang? Jelas tidak, perkembangan teknologi sangat diperlukan di era kekinian. Namun, tetap perlu adanya kontrol sosial untuk menyaring dampak negatif dari perkembangan teknologi.
Peran orang tua sangat diperlukan pada diri anak untuk mencegah pengaruh negatif teknologi. Sedangkan dari sisi budaya, juga diperlukan perlindungan khusus, agar tidak mengalami kepunahan. Pelestarian budaya tradisional tetap diperlukan, untuk mengenalkan anak cucu kita kelak pada kebudayaan warisan leluhur, termasuk permainan tradisional. [b]