Oleh Anton Muhajir
Sekitar sepuluh tahun lalu, telepon seluler (ponsel) masih jadi barang langka. Dia menjadi sesuatu yang identik sekali dengan kemewahan. Saat itu, melihat orang bawa ponsel seperti melihat orang dengan status sosial ekonomi yang sangat tinggi. Padahal sebenarnya juga belum tentu begitu.
Kini ponsel sudah serasa kacang. Nyaris tiada orang yang tak bisa membelinya. Pemulung, pedagang asongan, penjual bunga di pasar. Semuanya sudah bawa ponsel. Kadang memang berguna untuk pekerjaan. Namun tak sedikit pula yang membawanya hanya untuk sekadar bergaya.
Oh ya, ponsel memang masih jadi bagian dari gaya hidup. Makanya tak sedikit yang membeli ponsel sekadar gengsi, bukang fungsi. Ponsel yang semula hanya untuk berbicara dengan orang lain yang terpisah jarak, kini juga bisa dipakai untuk mendengarkan musik, mengakses internet, sampai nonton TV.
Saking banyaknya fungsi pada ponsel, kini lebih banyak orang bisa membeli daripada bisa menggunakannya dengan baik. Aneh..
Padahal banyak sekali fungsi pada ponsel yang bisa digunakan untuk pekerjaan. Misalnya pada pertanian. Ini berdasarkan pengalamanku sendiri di lapangan. Ternyata penggunaan teknologi informasi ini bisa sangat mendukung usaha pertanian, baik produksi maupun perdagangan komoditas pertanian.
Contoh pertama adalah Kelompok Tani Muda Mandiri di Desa Pancasari, Kabupaten Buleleng, Bali. Anak-anak muda di sini bisa sukses bertani ya karena internet. Mereka mendapat bantuan komputer dan internet dari Microsoft. Lalu, teknologi itu dipakai untuk mencari referensi tentang praktik pertanian organik. Mereka pun berubah dari semula praktik pertanian dengan asupan bahan kimia tinggi ke pertanian organik.
Hasilnya, produk pertanian mereka berlimpah dan lebih sehat. Karena organik, harganya pun lebih mahal. Produk mereka seperti tomat, paprika, dan sawi kini dijual ke perusahaan jasa catering untuk penerbangan di Bali. Berkat internet, omzet pendapatan mereka kini bisa sampai puluhan juta per bulan.
Ini bukan hal yang mustahil untuk diterapkan di tempat lain. Kalau komputer dan koneksi internet masih mahal, ponsel mungkin bisa jadi jawaban. Soalnya, ponsel toh sekarang bisa juga untuk mengakses internet. Harganya juga relatif terjangkau. Jadi, petani kok rasanya juga tidak terlalu susah menggunakan teknologi hasil perkawinan sah antara ponsel sama intenet ini. Dengan mengakses internet lewat ponsel, petani bisa belajar dari pengalaman petani di tempat lain untuk meningkatkan produksi pertanian.
Petani di Bedugul, misalnya, ternyata belajar tentang praktik pertanian organik dengan teknologi irigasi tetes tersebut dari petani di India.
Tak hanya untuk produksi. Ponsel, tanpa dukungan koneksi internet sekalipun, juga bisa digunakan untuk memudahkan petani memasarkan hasil pertanian. Ini pengalaman petani di
Desa Lalanglinggah, Kecamatan Selemadeg Barat, Kabupaten Tabanan. Sekitar 4000 petani kakao di kawasan ini kini lebih bisa menentukan harga pasar produknya karena mereka punya informasi harga di pasar New York.
Harga tersebut mereka dapatkan dari PT Big Tree Farm, perusahaan yang mengadvokasi pemasaran produk mereka, yang mendapatkan harga itu lewat internet. Oleh PT Big Tree Farm harga itu kemudian disebarkan ke kelian (ketua) kelompok petani melalui layanan short message service (SMS). Jadilah SMS ini berantai ke petani-petani lain.
Adanya harga dari pasar New York itu membuat petani setempat lebih mempunyai posisi tawar ketika mereka menjual produk pertaniannya.
Hal sama juga dilakukan petani di Sulawesi yang dibantu International Finance Corporation (IFC), divisi sektor swasta World Bank. Bedanya, kalau di Tabanan Bali SMS itu masih satu arah, maka di Sulawesi sudah dua arah. Petani di Sulawesi juga bisa bertanya berapa harga kakao di pasar dunia saat itu juga.
Cukup kirim SMS ke nomor tertentu, maka para petani akan segera mendapatkan informasi harga kakao di New York dan London yang kemudian dibandingkan dengan rupiah dan berapa harganya di pasar lokal.
Kesadaran petani untuk menggunakan teknologi informasi dalam bertani itu sendiri ternyata sudah jadi kesadaran global. Tak hanya di Indonesia. Laporan Informasi Ekonomi terbaru dari Konferensi PBB untuk Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD) menunjukkan dampak ekonomi positif bagi semua pihak yang terlibat dalam perdagangan, termasuk para petani kecil dari daerah terpencil.
Menurut laporan itu, penggunaan teknologi informasi dan komunikasi menyumbang sangat besar kepada pertumbuhan ekonomi karena teknologi informasi ini pun bisa mengubah pola perdagangan di pasar komoditas pertanian lokal. Penelitian oleh UNCTAD di berbagai daerah di Afrika menunjukkan bahwa petani memang bisa menjual komoditas dengan harga lebih tinggi karena mudahnya petani mendapatkan informasi harga lewat SMS ataupun internet.
Di sana sih memang lebih keren, karena didukung juga oleh portal yang menggabungkan berbagai layanan seperti internet, SMS, juga radio. Jadi dalam sau portal ada berbagai informasi dalam berbagai bentuk terkait komoditas terkait produk pertanian.
Salah satunya adalah TradeNet, yang beroperasi sejak tahun 2004. Portal ini menawarkan data online mengenai 600 pasar di 17 negara Afrika terkait komoditas pertanian. Semua informasi, termasuk penawaran dan pertanyaan, dapat dikirimkan melalui SMS pada telepon seluler, dan juga disimpan di situs ini. Jadi petani bisa mengetahui harga dunia maupun lokal dengan mudah.
Kini kembali ke Indonesia. Tak mustahil kok melakukan itu semua, di mana petani bisa mendapatkan manfaat langsung dalam praktik pertaniannya berkat teknologi informasi. Ada beberapa indikator. Antara lain terus bertambahnya jumlah pengguna ponsel, makin murahnya harga langganan layanan ponsel, makin canggihnya ponsel dengan teknologi konvergensi, dan semua kemudahan lain yang kini makin mudah ditemui. Semua itu adalah bukti bahwa kemudahan bertani di zaman teknologi informasi bukanlah mimpi. [b]