Menulis tentang COVID-19, agaknya ditemani sedikit kekhawatiran.
Jangan-jangan tulisan ini akan menambah koleksi rasa cemas di tengah pandemi berkepanjangan. Namun, ada begitu banyak pertanyaan singgah di halaman sosial media kawan-kawan tentang COVID-19. Apalagi semakin banyak orang yang kita kenal terinfeksi. Salah satu pertanyaan yang cukup umum dikomentari ialah apakah benar orang gendut lebih mudah terinfeksi COVID-19?
Beberapa teman saling menautkan kegemukan dan rekan yang terinfeksi. Sebagian lain menjadi gemar berolahraga. Ada pula yang semakin menakar apa yang mereka makan dan minum. Namun, ada pula yang mencoba acuh sambil berjaga-jaga mungkin.
Sebenarnya, ini menjadi sebuah fenomena menarik. Dan, jika kita telisik, fenomena ini membawa kita pada sebuah epidemik lain yang lebih dulu eksis yakni epidemik obesitas. Hal ini karena salah satu kebiasaan manusia memang cenderung menjadi lebih peduli dan mencari tahu jika dampak terasa nyata dan di depan mata. Meskipun data dan fakta telah tersimpul dengan kokoh jauh sebelum realita menampar.
Nah, sebelum kita berbicara mengenai benar atau tidaknya. Kita akan memulai dari sebuah pengertian umum. Apa sih obesitas itu?
Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) obesitas adalah akumulasi lemak berlebih yang berpengaruh buruk terhadap kesehatan. Kata kunci di sini adalah akumulasi lemak dan pengaruh buruk terhadap kesehatan. Masyarakat pada umumnya akan berpikir jika obesitas itu adalah orang yang gemuk merata dari ujung kaki hingga ujung kepala. Padahal, sebenarnya hal tersebut kurang tepat.
Jika seseorang mengalami akumulasi lemak berlebihan di bagian viseral perut, orang tersebut juga dinamai obesitas sentral. Dan, kata kunci kedua adalah dampak buruk terhadap kesehatan. Obesitas adalah faktor risiko utama untuk berbagai penyakit kronis, antara lain diabetes melitus, penyakit jantung dan pembuluh darah, dan juga kanker.
Identifikasi Sederhana
Pertanyaan selanjutnya, bagaimana kita mengukur apakah seseorang tersebut mengalami obesitas atau tidak? Nah, pertanyaan mendasar dengan berbagai jawaban.
Secara sederhana, WHO merekomendasikan pengukuran berdasarkan indeks massa tubuh, membagi berat badan (kg) per tinggi badan kuadrat (meter2). Angka yang keluar adalah indeks massa tubuh Anda. Meskipun, sebenarnya ada alat lain yang dengan lebih spesifik dapat melihat sebaran akumulasi lemak individu misalnya BIA dan DEXA. Namun, kedua alat tersebut cukup mahal dan sulit untuk dipakai pada populasi masyarakat umum. Untuk itu WHO menganjurkan pemakaian rumus indeks massa tubuh tersebut untuk identifikasi awal yang sederhana.
Juga perlu diingat bahwa angka indeks massa tubuh untuk ras Asia pastilah berbeda dengan penduduk Eropa, Amerika, Afrika, dan Australia. Angka-angka tersebut, akan menjadi sebuah alarm dini yang bertujuan untuk membangun sebuah kesadaran pun upaya menjaga kesehatan tubuh.
Klasifikasi | IMT (kg/m2) |
Berat badan kurang | <18.5 |
Berat badan normal | 18.5–22.9 |
Berat badan berlebih (overweight) | 23-24.9 |
Obesitas derajat I | 25-29.9 |
Obesitas derajat II | 30 |
Selain indeks massa tubuh, kita pun perlu memperhatikan lingkar perut. Lingkar perut yang normal untuk laki-laki adalah <90cm sedangkan perempuan <80cm. Memahami definisi dan klasifikasi, akan membuat perjalanan kita untuk mengarungi fenomena obesitas dan bahaya yang menghantui menjadi lebih terang benderang. Meski, tentu saja ada pengecualian. Misalnya seorang olahragawan yang memiliki otot berlimpah, tentu saja berat badannya juga tinggi namun itu bukan massa lemak melainkan otot, sehingga kita harus kembali lagi mengingat definisi awal yakni akumulasi lemak.
Epidemik obesitas, apakah benar ada epidemik obesitas? Realitanya sekarang lebih banyak orang mengalami obesitas dibandingkan kelaparan. Meskipun begitu, secara paradoks, obesitas adalah masalah kesehatan yang nyata, tetapi diabaikan. Obesitas, sungguhlah sebuah kondisi yang kompleks. Kita tidak bisa melihat obesitas hanya sebagai sebuah kondisi dimana seorang individu adalah seorang yang hanya gemuk dan kemudian sakit. Obesitas merupakan sebuah kondisi yang melibatkan sosial-ekonomi dan dimensi psikologi.
Pada sebuh era, di mana modernitas baru bergerak, obesitas adalah penyakit yang hinggap pada kaum borjuis sebagai lambang limpahan pundi-pundi. Namun, faktanya saat ini, orang-orang borjuis semakin langsing dan saling memperlihatkan otot yang terbentuk.
Penyebab Obesitas
Saya akan menyajikan sebuah santapan data, tentang betapa banyaknya masyarakat yang mengalami obesitas. Menurut data WHO, pada tahun 1995 ada 200 juta penduduk dewasa global yang mengalami obesitas, dan, 18 juta balita yang mengalami obesitas. Pada tahun 2000, terdapat 300 juta orang dewasa yang mengalami obesitas. Pada tahun 2016, ada 1,9 miliar orang mengalami berat badan berlebih, dan 650 juta mengalami obesitas. Sebuah lonjakan angka yang tak terkendali.
Obesitas merupakan sebuah masalah yang amat kompleks. Melibatkan sosial-ekonomi dan psikologi. Ketidaksetaraan ekonomi jelas memiliki peranan yang besar pada peningkatan obesitas. Mengapa?
Peningkatan populasi obesitas terjadi karena beberapa alasan. Pertama, peningkatan komsumsi makanan tinggi kalori dari makanan kaya lemak dan tinggi gula. Kedua, penurunan aktivitas fisik. Ketiga, perubahan gaya hidup. Manusia saat ini lebih banyak duduk. Sebut saja duduk di kantor delapan jam, bepergian jarak dekat dengan kendaraan, dan peningkatan urbanisas).
Perubahan pola makan dan aktivitas fisik ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah dan ekonomi. Atas nama pembangunan ekonomi, lahan-lahan pertanian harus dikorbankan. Upaya meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi diikuti kebijakan pembangunan gedung, pabrik dan fasilitas beton. Lahan pertanian makin hilang. Akibatnya, pangan pun berganti dengan makanan instan, tinggi gula dan lemak. Kenapa? karena lahan sudah habis dibabat. Tidak ada lagi tempat menanam palawija.
Akhirnya, masyarakat juga mengalami penurunan aktivitas fisik. Makin jarang orang ke sawah atau kebun. Plus, mudahnya akses terhadap jajanan instan dan peralihan profesi manusia yang dilanda urbanisasi akan semakin meningkatkan kesempatan untuk memperoleh obesitas.
Tentu, ketidaksetaraan pendapatan juga berpengaruh pada akses terhadap fasilitas kesehatan dan olahraga. Seorang yang berpendapatan tinggi akan mudah saja mendatangi seorang dokter untuk berkeluh kesah tentang perutnya yang buncit. Lalu, dia juga akan membayar jutaan rupiah untuk paket premium olahraga juga diet sehat.
Di sisi lain, kaum berpendapatan kurang tidak merasa perut buncit menjadi sebuah masalah primer. Hingga akhirnya, stroke dan serangan jantung tiba. Belum lagi, bagaimana televisi dan media menyajikan promosi makanan cepat saji, makanan ringan tinggi kalori, minuman gula yang memang mengeluarkan air liur dan menguras kantong. Hal ini akhirnya mempengaruhi psikologi masyarakat untuk berbelanja.
Di sinilah kita melihat bahwa kebijakan pemerintah memiliki peranan vital bahwa kesehatan. Bukan hanya anggaran dan iuran BPJS, melainkan sebuah masalah yang melibatkan kebijakan-kebijakan industri, ekonomi dan pembangunan.
Pengantar singkat tentang obesitas ini semoga mampu membawa kita pada sebuah titik kesadaran. Bahwa untuk menjadi sehat, kita perlu sadar pada apa saja yang kita komsumsi. Pun, apa yang kita makan juga dipengaruhi oleh sistem ekonomi dan psikologi masyarakat.
COVID-19 dan Obesitas
Lalu, bagaimana persahabatan COVID-19 dan obesitas?
Sebenarnya, ketika pandemi H1N1 terjadi pada tahun 2009 lalu, terdapat sebuah temuan oleh Louie J.K dkk. Temuan itu menyebut obesitas adalah faktor risiko yang berhubungan dengan derajat keparahan dan peningkatan angka kematian pada individu terinfeksi. Seperti yang telah dijelaskan di atas, obesitas adalah akumulasi lemak yang berlebihan. Jaringan lemak terdiri dari jaringan adiposa (jaringan lemak tubuh).
Ternyata, jaringan lemak ini mengandung sejumlah makrofag. Salah satu jenis sel darah putih ini bertugas mendeteksi, memakan dan menghancurkan mikro organisme asing seperti bakteri dan virus. Makrofag juga berperan untuk memulai respon peradangan dengan melepaskan agen peradangan yakni sitokin.
Baiklah. Tarik napas lalu minum segelas air putih dan putarlah lagu kesukaan kalian.
Begini, secara sederhana, jika di dalam tubuh ada sitokin maka tubuh menganggap ada sebuah peradangan karena sitokin tersebut merupakan agen pro radang. Radang tidak melulu infeksi, yah. Segala sesuatu yang menghasilkan respon radang disebut peradangan.
Dengan makrofag pada jaringan lemak berlebihan tersebut, maka makrofag dapat menginsiasi sebuah respon radang dengan mengeluarkan agen-agen pro radang. Sebut saja TNF-alfa & Interleukin-8. Dan, cadangan jaringan adiposa tersebut juga bisa berperan sebagai kelenjar endokrin yang menghasilkan leptin. Nah, leptin ini juga nantinya akan menginsiasi munculnya agen pro radang lainnya (IL-6 dan IL-12) dan juga mempengaruhi metabolisme sel imun T.
Hihihi. Tarik napas lagi.
Jadi tanpa ada infeksi pun, seorang yang memiliki kelebihan jaringan lemak sudah ada dalam keadaan radang tanpa gejala. Dan, sebagaimana sebuah peradangan maka itu akan memanggil sistem imun tubuh untuk mencoba melawan proses peradangan tadi. Sehingga tentunya ini akan berpengaruh pada aktivitas sistem imun kita.
Aktivitas imun berlebihan pada pasien COVID-19 ini justru menyebabkan kerusakan dan kehancuran pada paru. Dia lalu meningkatkan derajat keparahan. Dan, tanpa infeksi COVID-19 pun, penderita obesitas sudah mengalami penurunan otot pernapasan dan volume paru. Kondisi ini tentunya akan semakin menambah beban paru jika terdapat infeksi COVID-19.
Tentu, selain obesitas, ada banyak faktor risiko lain. Misalnya penyakit diabetes, kanker, gangguan jantung, penyakit auto imun, usia, dan masih banyak faktor lainnya yang dapat meningkatkan risiko terpapar virus SARS-COV-2.
Dengan mencoba memahami perjalanan ini, kita mencoba membuka benang kusut. Juga mencoba memahami bahwa sebuah badai bencana selalu datang dengan alarm. Jika kita melihat banyaknya kerugian yang disebabkan pandemi ini pada ekonomi dan pembangunan, bukankah ini menjadi semacam tamparan bahwa sebuah laju ekonomi tidak dapat berjalan tanpa keseimbangan dengan alam dan sains?
Jika kita hanya berfokus pada penyembuhan, atau pada hilir sebuah sungai, maka kita tidak akan pernah mampu membendung apa yang akan dibawa oleh hulu sungai. Kesehatan adalah suatu yang ada di hulu. Serupa dengan pendidikan. Mereka jauh lebih vital dibanding dengan bandara, hotel dan resort di pulau Komodo.
Dan, sistem kesehatan juga bukan hanya sebatas iuran BPJS. Kesehatan yang baik, meliputi anggaran pada sistem pendidikan, anggaran riset dan pencegahan, dan kuratif. Laju ekonomi saja tak pernah cukup untuk meningkatkan kesejahteraan sebuah bangsa.
Jika ada hal yang kurang dipahami, silahkan tulis komentar di kolom komentar. Komentar tersebut akan terkoneksi ke alamat elektronik saya. Saya akan mencoba menjawab, meski seringnya agak sedikit lama. [b]