Oleh Anton Muhajir
Perkiraan saya ada benarnya. Bedah buku di Program Magister dan Doktor Kajian Budaya Universitas Udayana Jumat (17/4) itu jadi semacam pengadilan pada I Gede Jayakumara, penulis resensi buku yang sedang dibahas, Bali dalam Kuasa Politik.
Bali dalam Kuasa Politik ditulis I Nyoman Darma Putra, wartawan dan dosen Fakultas Sastra Unud. Darma Putra, panggilan akrabnya, saat ini sedang mengikuti program Postdoctoral Research Fellowship di School of Language and Comparative Cultural Studies di University of Queensland Australia. Selain mengajar di almamaternya dan bekerja untuk ABC, kantor berita Australia, Darma Putra juga rajin menulis buku, meniliti budaya Bali, serta berbicara di berbagai forum terutama terkait dengan budaya Bali kontemporer.
Nah, kumpulan materi di berbagai diskusi tersebut kemudian dirangkum dalam sebuah buku yang diterbitkan Arti Foundation Agustus tahun lalu ini.
Bahasan buku ini beragam. Antara lain lagu pop Bali, perselisihan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang berafiliasi pada Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) Partai Nasionalis Indonesia (PNI) di Bali, cerpen romantika Bali–Bule, daya kritis masyarakat Bali menonton TV, sampai politik identitas pasca bom Bali. Semua tema itu dijahit oleh benang merah: bagaimana politik mempengaruhi kebudayaan, kesenian, identitas, dan pariwisata di Bali.
Sebagai catatan, Darma Putra sudah menegaskan di bagian awal buku bahwa kebudayaan itu sendiri bukanlah sebuah titik. Dia adalah koma. Sesuatu yang masih terus berlanjut. Karena itu kebudayaan ini juga termasuk pada hal-hal yang tidak masuk dalam kategori adiluhung. Budaya kontemporer seperti lagu pop Bali, respon terhadap acara TV, cerpen tentang Bali, dan hal-hal lain bagi sebagian orang mungkin persoalan remeh temeh. Namun mereka toh tetap harus diberi tempat sebagai bagian dari kebudayaan itu sendiri.
Saya sudah selesai baca buku ini sekitar Agustus lalu. Saya menilai buku ini menjadi salah satu referensi penting untuk orang yang ingin mengenal budaya Bali kontemporer. Bagaimana hal-hal yang bagi sebagian orang dianggap remeh temeh –seperti persoalan lirik lagu atau respon pada tayangan TV- ternyata mempengaruhi (atau sebaliknya dipengaruhi) persoalan politik juga. Darma Putra memberi tempat pada hal-hal yang selama ini terlupakan dalam wacana kebudayaan Bali yang sudah kadung dicitrakan hanya sebagai sesuatu yang adiluhung.
Misalnya tentang bagaimana ternyata persoalan tontonan TV bisa dilihat dari kacamata mistis dan politis. Darma Putra memberi contoh pada sosok Soekarno, yang pada saat masih hidup dikenal oleh orang Bali secara umum, sebagai sesuatu yang tak terlihat (niskala). Karena itu ada “ketertundukan” pada sesuatu yang tak terlihat dan tak tersentuh ini. Namun ketika saat ini semua tokoh dengan mudah dilihat di TV, maka tokoh itu sudah jadi sesuatu yang skala (nyata).
“Televisi telah membuat masyarakat menjadi kurang percaya kepada pejabat yang sering terlihat “nyata” di televisi,” tulis Darma Putra. Ini hal menarik bagi saya. Bagaimana soal sepele –menonton TV- ternyata berdampak pada kepercayaan pada pejabat.
Setahu saya setidaknya ada dua orang yang menulis resensi buku ini. Pertama I Dewa Gede Windhu Sancaya, saya mengenalnya sebagai mantan Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Bali, yang menulis di Bali Post (31/8/08). Kedua Jayakumara, menyebut diri sebagai Kepala Perpustakaan Pasca Sarjana Universitas Hindu Indonesia (Unhi), di majalah SARAD edisi Maret 2009.
Begitu selesai membaca resensi tersebut, hal pertama yang saya lakukan saat itu adalah mencari informasi tentang siapa Jayakumara. Saya penasaran. Siapa sih dia? Jayakumara mengkritik buku Darma Putra sangat keras. Kesan yang saya tangkap dari tulisan tersebut, orang ini pinter, percaya diri, dan arogan. Karena saya tidak tahu siapa dia, maka saya bertanya pada Google.
Tidak banyak yang saya dapat. Kurang dari 10 website yang memuat nama orang ini. Dari situ saya tahu bahwa pemilik nama lengkap I Gede Jayakumara ini alumni Filsafat Universitas Gajah Mada (UGM) Jogjakarta. Tak hanya sarjana, dia juga lulus Pasca Sarjana. Pernah jadi wartawan Warta Bali, saat ini dia jadi anggota redaksi majalah SARAD.
Dalam lead resensinya, Jayakumara menyebut buku Darma Putra sebagai buku yang berhasil mengungkap data-data detail dalam sejarah politik-kebudayaan Bali tapi gagal membawa pembaca untuk masuk dalam perenungan. Seperti koran, tulis Jayakumara, buku ini cocok dibaca untuk dilupakan..
Di luar pujiannya untuk buku ini, antara lain bahwa buku ini memberikan data yang detail itu dan konsistensi Darma Putra untuk menggunakan politik sebagai pisau analisis, Jayakumara juga mengkritik Darma sebagai orang yang sing pati rungu terhadap masalah berita bintang di salah satu harian lokal. Darma Putra, tulisnya, juga terjebak pada kesadaran palsu.
Namun hal paling kasar dalam tulisan Jayakumara di majalah SARAD tersebut adalah ketika dia juga menyebut akademisi tua di Kajian Budaya Unud mulai pikun-pikunan. Menurutnya para akademisi itu selalu mengigau hanya melihat persoalan dari sisi bentuk, fungsi, dan makna. Bagi Jayakumara ini lucu sekaligus menyedihkan..
Karena saya tidak mengerti filsafat, meski sesekali baca buku filsafat, saya tidak terlalu bisa menangkap apa makna tulisan Jayakumara yang kemudian diakuinya dalam diskusi Jumat kemarin menggunakan perspektif Sartre. Aduh, makhluk apa ya ini? Hehe..
Saya merasa bahwa tulisan itu memang terlalu keras. Saya setuju dia mengkritik buku Darma Putra, sekeras apa pun. Cuma saya kurang nyaman dengan bahasanya yang terlalu kasar dan arogan itu. Karena itulah sejak dari awal akan ikut diskusi, saya sudah menduga bahwa salah satu bahan perdebatan nanti adalah soal tulisan Jayakumara tersebut.
Dan ternyata ada benarnya. Sebatas yang saya ikuti, bukannya membahas materi buku, para peserta diskusi justru lebih banyak yang meminta pertanggungjawaban Jayakumara terkait dengan tulisannya tentang akademisi tua yang sudah pikun dan mengigau.
Dari empat penanya pada sesi pertama, tiga di antara bertanya pada Jayakumara tentang masalah ini. Salah satu di antaranya bahkan secara tegas mengatakan, “Saya sangat tersinggung berat kalau lembaga ini (Kajian Budaya Unud) disebut pikun.”
“Karena saya tidak mungkin menyebut dosen di sini sebagai orang bodoh. Masak orang bodoh jadi dosen,” jawab Jayakumara. Saya masih menangkap sikap yang arogan.
Dia pun mengkritik dosen Kajian Budaya Unud yang dianggap selalu melihat persoalan hanya dari sisi bentuk, fungsi dan makna. “Saya menolak menggunakannya untuk melawan penyeragaman pemikiran,” alasannya.
“Tapi di Unhi juga ada yang membuat tesis dengan menggunakan pendekatan bentuk, fungsi, dan makna,” sahut Emelia Maria, Ketua Program Magister Kajian Budaya.
“Ya. Tapi saya menyortir laporan itu. Saya tidak memasukkannya di perpustakaan Unhi. Saya membuangnya ke tempat sampah,” jawab Jayakumara.
Saya kok merasa orang itu terlalu arogan. Memang sih dia sangat percaya diri dengan semua pengetahuannya soal filsafat, tapi masak harus segitunya menghina orang. Beberapa peserta pun bergumam. “Ah, dia kan modernis ortodoks,” kata peserta di depan saya. Teman lain hanya menggeleng-gelengkan kepala mendengar pernyataan Jayakumara.
Bagi saya diskusi yang agak berlama-lama mempersoalkan sindiran Jayakumara pada dosen Kajian Budaya justru membuat bedah buku kemarin agak kabur tujuannya. Buku ini justru tidak terlalu dibahas. Padahal buku ini jauh lebih penting dibanding resensi Jayakumara yang penuh syak wasangka itu. [b]