Teks Ketut Sutawijaya, Foto Ilustrasi Anton Muhajir
Kali ini saya melihat Pulau Bali jauh berbeda dari apa yang telah saya jalani selama ini. Saya orang yang tumbuh besar di Bali, sampai akhirnya saya memilih hijrah ke kota gudeg, Yogyakarta. Bali adalah rumah utama bagi saya. Namun saya pikir hal ini telah kandas karena kunjungan terakhir saya ke Bali.
Kali ini saya datang ke Bali bukan sebagai orang bali yang pulang kampung, melainkan sebagai turis domestik. Iya, saya benar-benar menjadi turis. Saya lebih sering mengaku dari Jogja, dan saya tidak mengaku dari Bali. Alasannya karena memang benar-benar ingin menikamti sebagai turis seutuhnya, walaupun dengan kegiatan wisata yang sama sewaktu saya masih di Bali dulu. Ketika saya berkunjung ke sebuah tempat maka saya memperkenalkan diri sebagai orang Jogja, dan semua orang di Bali memercayai itu.
Logat Bali saya sudah hampir punah, setidaknya orang-orang bilang begitu. Saya lebih sering menggunakan bahasa jawa, dan kata sebagaian orang juga logat saya sudah medok Jogja banget. Selan itu, saat ini saya sering sulit membedakan bahasa halus bali dengan bahasa halus jawa, sehingga saya sering belepotan kalo ngomong bahasa bali halus. Alhasil semua orang percaya kalo saya adalah wisatawan dari Jogja.
Hari pertama keliling di Bali Selatan, dari Sanur, Kuta, Garuda Wisnu Kencana (GWK), sampai ke Uluwatu. Dari satu lokasi ke lokasi lainnya selalu saja soal uang. Emh.. saya agak kaget, karena seingat saya dulu, kemana-mana tidak pernah membutuhkan uang selain untuk bensin dan makan. Emh… kesan pertama jadi wisatawan di Bali.
Hari kedua, mencari penginapan murah di sekitar kuta. Maka menurut banyak orang ada di Popies Lane, Kuta. Bujur buneng!! Untuk pertama kalinya saya masuk daerah ini setelah belasan tahun hidup di Bali. Bagi saya daerah ini mengerikan. Ini bukan Bali!!! Tapi ini adalah daerah antah berantah. Isinya bule thok dengan berbagai aktivitas wisata yang mereka lakukan.
Saat itu saya berpikir bahwa Bali juga menjajakan wisata minuman dan wisata seks. Hehehehehe.. Saya tidak tahu yang sebenarnya sih, ini cuma pendapat dari pengamatan mata saja. Mudah-mudahan saya salah.
Hari ketiga saya dan teman saya meluncur ke arah Bali Timur dengan harapan tidak bertemu hiruk pikuk seperti daerah Bali selatan lagi. Iya benar, saya lebih senang di Bali timur karena saya merasa seperti rumah di Tabanan. Sepi dan tertata. Tapi bujur buneng lagi. Sepanjang jalan kami hanya mendapati orang yang mengenakan baju adat dan sajian-sajian untuk yadnya pada Tuhan. Sampai-sampai terlontar pertanyaan dari kami, “Orang Bali gak punya kerjaan lain ya selain ke pura dan ke pura?” Benar. Pendapat ini muncul karena sepanjang jalan, ingat: sepanjang jalan, penuh dengan upacara agama.
Saya merasa aneh dengan hal ini, walapun mungkin saya dulu pernah melakukan hal serupa. Tapi dengan peran saya sebagai orang luar, saya merasa kegiatan ini pasti menyibukan atau menyesakkan sekali, karena yang saya liat hanya upacara agama saja. Sampai-sampai terlontar pertanyaan, “Orang Bali ini kerjanya apa ya kalau setiap saat harus ada upacara agama?”.
Kami kemudian main-main ke beberapa pura. Saat itu saya baru sadar bahwa wisata di Bali adalah wisata pura. Hahaha..
Seketika itu saya merasa aneh. Bayangan saya adalah wisata ke Bali akan menemukan sesuatu yang eksotik. Iya benar, eksotik dengan budaya dan agamanya. Wisata ke pura-pura! Tidak terbayangkan bagi saya sebelumnya. Sontak saja kata eksotik di dalam pikiran saya langsung hilang. Pergi entah ke mana. Bagi saya ini kan tidak eksotik. Ini tempat sembahyang. Weleh…
Dalam perjalanan kami dari Pura Besakih ke Danau Batur, mobil kami dicegat oleh ibu-ibu yang menggunakan pakaian adat Bali genap dengan sesajen yang dibawa. Ibu itu bertanya-tanya soal dari mana asal kami. Dan tanpa basa-basi, ibu itu menaruh banten di dalam mobil dan langsung berdoa meminta izin pada Bhatara yang ada di situ untuk memohon keselamatan. Hah… saya kaget saja. Setelah itu, ibu itu menaruh dua banten dalam mobil.
Dan saya sadar, ini bagian dari wisata, bung! Jadi saya harus bertanya, “Berapa semuanya, Bu?”.
“Seikhlasnya saja,” kata ibu itu.
Saya ambil uang Rp 10 ribu di laci mobil. Sudah. Saya tidak peduli itu cukup atau tidak. Tapi saya pikir itu cukup. Tiga canang kan paling mahal harganya Rp 3 ribu. “Itu cara nodong yang halus ya?” tanya Listya, teman saya. Hehehehe… Susah untuk dijawab. Nodong beneran atau emang ikhlas untuk berdoa.
Menuju ke Danau Batur tujuan utama kami adalah Desa Trunyan untuk melihat kuburannya. Ketika mobil parkir ada yang menanyakan mau ke mana dan langsung menawarkan harga. “Lima ratus ribu, Pak!” katanya.
Hah!! 500 ribu?? Buanyak banget itu. Terus kami tawar menjadi Rp 300 ribu. Melalui negosiasi yang alot, akhirnya Rp 300 ribu tercapai dengan syarat kami harus menunggu barengan dengan tamu yang lain.
Menaiki kapal memotong danau batur selama 15 menit dan sampailah di tujuan. Di situ sudah bersiap-siap bapak-bapak yang menggunakan pakaian adat Bali. Hahahaha.. Saya harus sadar. Ini pasti soal uang lagi. Dengan ramah mereka mengantarkan kami. Tidak ada alasan untuk menolak, karena mereka juga tidak menawarkan diri. Diantar begitu saja.
Dengan alasan untuk sumbangan ke desa, di sebelah mayat-mayat itu disiapkan besek yang sudah berisi Rp 100 ribuan 3 lembar. Dan mereka bilang silakan nyumbang. Saya taruh Rp 50 ribu saja karena saya pikir itu strategi mereka agar wisatawan yang berkunjung juga menaruh selembar 100 ribu juga. Eh.. setelah saya menaruh uang itu, Listya dimintain juga. Loh.. nyumbang kok dipaksa. Kemudian, si guide meminta secara tidak langsung honornya ke saya. Ya saya kasi Rp 50 ribu lagi.
Kami lalu menuju perahu. Di perahu sudah ada bapak-bapak yang menyiapkan bangku agar kami mudah naik ke atas perahu dan dia minta tips juga. Untungnya ada selembar Rp 20 ribu.
Sesampainya kami di dermaga awal, si co-pilot perahu juga minta tips. Hahahaha… Oya, sebelum naik perahu kami dipepet terus oleh pedagang asongan yang secara terang-terangan memaksa kami membeli barangnya. Tidak ada yang bagus dan harganya mahal, tapi kami dipaksa membeli. Akhirnya Listya meminta agar rambutnya dipilin kecil-kecil seperti yang banyak ada di Kuta. Hasilnya, jelek banget!! 😀 .
Terus, ada pedagang asongan lagi yang memaksa untuk membeli. Kami sudah ngotot tidak, tapi dia tetap memaksa. Karena saya jengkel saya bilang gini, “Saya akan berikan ibu 5 ribu, tapi ibu pergi dari sini dan saya tidak beli apapun!!”.
Saya berikan Rp 10 ribu. Eh, ibu itu tidak bilang terimakasih malah bilang tidak usah dikembalikan sisanya. Oh… kurang ajar benar! Tapi saya bilang tidak mau. Ini bukan soal uang, tapi soal ketegasan. Akhirnya dia memberikan segepok uang seribuan, dan saya yakin itu tidak berjumlah Rp 5 ribu. Saya ambil tanpa harus menoleh ke wajahnya. Dia pergi tanpa dosa.
Oya, ada pengalaman lain pula. Sebelumnya saat di Pura Besakih Karangasem setelah membeli tiket masuk, kami harus melapor ke bagian “receptionist”. Dia membriefing kami seperti ini sambil menunjukan peta Pura Besakih. “Kalo mau masuk ke Besakih harus menggunakan jasa dari guide kami. Kalau tidak menggunakan guide kami maka tidak boleh masuk ke dalam. Hanya sampai halaman depan pura saja. Harga guide biasaya seratus ribu!” katanya. Sambil senyum aku bilang, “Asuuu” dalam hati.
Kami bilang ke orang itu bahwa kami tidak masalah jika hanya sampai depan pura. Dan kami jalan kaki ke arah pura. Tapi langsung saja sekelompok orang mengeroyok kami dan sedikit memaksa untuk menggunakan jasa motor mereka. Saya tidak mau karena saya lebih suka jalan kaki. Tapi mereka tetap memaksa dan membuntuti kami. Saya tetap mengatakan tidak mau. Saya tidak suka dipaksa. Jika mereka tidak memaksa, mungkin saya akan menggunakan jasa mereka.
Ternyata di belakang kami ada yang membuntuti. Bukan tukang ojek kali ini, tapi guide. Dengan tersenyum dia mengatakan “Tiga puluh ribu saja, Mas. Nanti saya antar keliling pura.”. Saya pikir ini lebih manusiawi dibanding harga tadi, Rp 100 ribu. Saya mengiyakan, karena kalo saya tidak ambil dia maka di pura nanti pasti saya dikeroyok lagi dengan guide-guide lainnya. Dan ini luar biasa menyebalkan.
Setelah berkeliling, tugas guide itu selesai. Yang ada di dompet hanya lembaran 50 ribu. Maka saya berikan selembar, dan guide itu bilang makasi dan pergi. Eh.. bukannya tadi 30 ribu. Hehe. Yo wis! 🙂
Kami sempat tenang dengan urusan pungli-pungli itu di Candidasa, Karangasem. Sempat rileks, dan saya tidak bermasalah membayar lebih mahal untuk hotel dan lainnya asal tidak ada yang menguntit-nguntit yang membuat risih. Langsung saja kami putuskan untuk berlibur di Tabanan saja. Karena saya yakin di Tabanan tidak seperti wilayah yang kami kunjungi sebelumnya. Lebih nyaman dan tenang.
Ingat, yang ditakutkan wisatawan adalah bukan harga yang mahal tapi penipuan! Wisatawan butuh ketenangan dan tidak diusik oleh hal-hal seperti di atas. Harga yang mahal tetapi nyaman dan aman tentu akan dipilih oleh para wisatawan. [b]
Tulisan dimuat di Blog Ketut Sutawijaya.
Aih…, mafia pariwisata ada di mana-mana, tidak hanya di Bali. Di Jogja pun ada, ketika saya mengantar temen dari pertukaran pelajaran dengan sekolah-sekolah di Eropa, waduh, pokoknya mengerikan mafia pariwisata itu. Saya sampai malas kalau mau berwisata di negeri sendiri 🙁
dsieng… banyak kali punglinya…
jero wacik pasti blum pernah kena pungli ye. Mestinya dia nyamar juga jadi wisdom
kalo dituruti ya gitu. tapi kalo di beri ‘lambaian tangan barangkali masih bisa ditolerir…
Mungkin untuk liburan lain kali, jangan ke Bali lagi deh… pake bantuan mesin waktu, jalan2 ke Bali tahun 1945… dijamin ndak ada pungli…
Please deh jangan lebay….
Pungli terjadi karena Anda memberi peluang terjadinya pungli.
Pungli bisa dihindarkan dengan cara adu argument dengan mereka…
Gak separah itu, saya yang menjadi guide, dlm arti guide yg bukan guide matre…Memang di sana-sini terjadi, banyak orang lomba2 mendapatkan uang dari wisatwan, tp kalo wisatawan tidak memberi peluang untuk itu, mereka gak akan macem2 koq. Dengan catatan anda sopan, tp argumen Anda kuat……
Mau coba…???
maaf, sebelumnya jika ada yang kurang berkenan dengan tulisan ini. Ini murni apa yang saya rasakan.
Kalo soal argumen dan sikap tegas untuk menghindari pungli, kawan-kawan tidak perlu ragukan saya. Terlebih penolakan halus disertai dengan argumen kuat. Tapi jika setiap saat, dijejali dengan “kroyokan” dari para teman-teman yang bekerja di sektor pariwisata ini, saya merasa risih juga (baca: muntab).
Tapi perlu diingat, tidak semua tempat di Bali demikian. Makanya saya cenderung mencari tempat yang sepi dan tidak terlalu sensasional sehingga kesan balinya terasa (bagian ini memang saya tidak tulis dengan alasan persoalan fokus tulisan, dan sudah banyak yang menulis indahnya bali)
Saya tidak bisa menangkap isi blog ini. Bukankah sebuah tulisan jelas ada gunanya entah itu menginformasi, menghibur, atau mempersuasi?
Di sini, semuanya blur. Saya jadi membayangkan orang-orang atheis yang tidak mengerti adat dan tidak memiliki kebudayaan untuk mereka percayai. Lebih kasihan lagi.
tulisan ini tiang jadiin bahan diskusi,,, coba aja cek hasilnya:
http://www.facebook.com/note.php?created&&suggest¬e_id=185383781011
hmm., saia nda pernah jalan2 sih, jd nda tau yang begitu2..
yang saia tau waktu di bedugul [di danaunya] dan di tanah lot memang sama2 ada retribusinya, mobil beserta penumpangnya.. wajar, untuk pemeliharaan..
kalo soal sembahyang, sangat nda etis anda mengatakan hal seperti di atas. kita, orang Bali yang BERAGAMA HINDU tahu betul bagaimana harus menghargai leluhur kita, tau betul masalah hubungan tri hita karana. mungkin anda berlibur pas lagi ada rainan gede [misal galungan] yang memang dirayakan seluruh umat Hindu jadi yang anda temukan ya orang2 bersembahyang. Bukankah harusnya hati anda tentram melihat pemandangan seperti itu???
Di luar dari yang di atas, ini cerminan buat kita semua, buat yang merasa mungkin berkecimpung di bidang itu [pariwisata]. Menjaga image Bali adalah tanggung jawab kita semua orang Bali atau orang2 yang merasa cinta akan Bali. tidak ada yang salah dengan artikel ini, tapi bisa jadi salah bila nantinya justru menjatuhkan pariwisata Bali..
salam kenal buat author..
Kalau menurut pendapat saya, tulisan2 di blog bale bengong ini (ga minat baca semuanya sih, beberapa aja cukup, contohnya yg ini) yg sempat saya baca cukup berguna untuk melatih saya sebagai orang bali tentang semakin sabar menghadapi macam2 karakter orang yg kayaknya memang suka nyari gara2, menggiring dengan opini negatif, dsb, he he he. Makasi banyak ya 🙂 I LOVE BALI !!!
Yaa kalau orang2 itu nggak minta uang, yang dapet uang cuma yang punya hotel berbintang dan restoran dong. Padahal yang ngempon pura dan sarana usaha kan belum tentu yg punya hotel dan restoran itu
“Sepanjang jalan kami hanya mendapati orang yang mengenakan baju adat dan sajian-sajian untuk yadnya pada Tuhan” –> orang yang bertani dan nelayan/pekerjaan lain kan memang nggak keliatan dari jalan … jadi memang sample size-nya kurang
Berbicara dengan topik yg diatas disetai dengan adanya Pungli.
sekarang tergantung kita yg sebagai wisatawan bagai mana bisa menanggapi hal tersebut, jika berpikir baik untuk orang knp tidak, tapi jika merugian bagi kita, harap dengan bijaksana di memberi saran yg bisa diterima dengan nalar yg baik.
bagi saya tidak hanya di pariwisata semata yang ada punglinya… sebagai contoh di jalan2 pun masih ada jga pungli dan itu pun yg berperan bukan rakyat biasa namun aparat hukum yg tugasnya menertibkan jalan, tapi berbeda dengan apa yg kita liat, saksikan dan dengar.
Indonesia dan negara mana pun tidak lekang dengan adanya premanisme , pungli dan sejenisnya.
seharusnya berpikir apa baik dan buruknya aja deh… wat kalian yg nulis artikel… LANJUTKAN.