Oleh Wayan Sunarta
Foto merupakan sebuah citra dari realitas yang dikekalkan dengan kamera. Dalam “On Photography” (1978), Susan Sontag menegaskan bahwa citra fotografis sungguh-sungguh dapat menggusur realitas, justru karena foto bukan hanya gambar. Foto adalah suatu jejak, yang langsung “dicetak” dari suatu yang nyata.
Karena foto adalah suatu jejak dari realitas, orang bisa bernapak tilas, merunut kembali kenangan demi kenangan sekaligus menikmati keindahan yang sempat diabadikan dengan lensa kamera. Dalam menikmati lembar demi lembar foto bisa muncul berbagai perasaan. Itulah salah satu kekuatan citra fotografis yang seringkali mempengaruhi emosi manusia.
Dalam pameran foto “Bali in the Eye of the Beholder” yang digelar di Griya Santrian Gallery, Sanur, orang bisa melihat jejak-jejak kehidupan masyarakat Bali sejak tahun 1930-an sampai 2007. Pameran yang berlangsung dari 14 Maret sampai 27 April 2008 itu menampilkan tiga fotografer dari tiga generasi berbeda, yakni Auw Kok Heng (1913-1976), Karyadinata Sujana (1941) dan Ida Bagus Putra Adnyana (1958). Ketiga fotografer ini banyak memotret kehidupan masyarakat Bali dari segi kehidupan keseharian, upacara adat atau keagamaan, keindahan alam dan modernisasi yang melanda Bali.
Karya-karya Auw Kok Heng nampak sangat eksotis karena menampilkan kehidupan masyarakat Bali tahun 1930-an, terutama perempuan-perempuan Bali yang telanjang dada. Pada foto-foto Auw Kok Heng, orang bisa menyaksikan Bali yang masih sangat polos yang seakan-akan belum tersentuh modernisasi. Dan inilah suatu jaman ketika Bali begitu menggiurkan di mata dunia Barat berkat penguasa kolonial Belanda yang mempropagandakan Bali sebagai “Surga Terakhir”.
Kemolekan tubuh perempuan Bali, kecantikan dengan kulit sawo matang, kemeriahan upacara keagamaan, keindahan alamnya, sungguh sangat memesona dunia luar. Hal ini pula yang membuat Auw Kok Heng memilih Bali sebagai tempat tinggalnya yang terakhir setelah lelah merantau ke berbagai daerah di Indonesia. Ia membantu pamannya yang bekerja sebagai fotografer di Jalan Gajah Mada Denpasar sekitar tahun 1927. Lalu ia berkeliling Bali membuat foto tentang keindahan alam Bali, terutama gadis-gadis Bali dalam berbagai kegiatan.
Perhatikan foto “Market Badung” (1930) yang menggambarkan keriuhan suasana pasar Badung di mana perempuan-perempuan telanjang dada melakukan tawar menawar. Foto ini merupakan jejak sejarah yang sangat tak ternilai harganya kalau merunut perkembangan pasar Badung dari dulu hingga sekarang. Atau lihatlah foto berjudul “Sanur Beach” (1937) yang menampilkan dua perempuan telanjang dada sedang menjunjung tumpukan sabut kelapa dengan latar suasana pantai dan jukung. Keindahan perempuan Bali begitu ditonjolkan dalam kaitannya dengan etos kerja.
Pada foto-foto Karyadinata Sujana orang bisa melihat kehidupan masyarakat Bali pada tahun 1980-an. Karyadinata merupakan anak dari Auw Kok Heng yang seringkali menjuarai lomba fotografi tingkat nasional dan internasional. Foto-foto Karyadinata sangat sarat dengan sentuhan humanis dan bersifat universal. Foto-foto pemandangan alamnya juga sangat menyentuh dan menunjukkan kepiawaiannya sebagai fotografer.
Perhatikan misalnya foto “Ulundanu Temple, Bedugul, Tabanan” (1986) yang menggambarkan keindahan Pura Ulandanu yang disaputi kabut tipis. Atau perhatikan foto “Tanah Lot” (1985) tentang suasana piodalan (upacara) di Pura Tanah Lot. Kemeriahan upacara dan keindahan alam menyatu dalam suasana mistis. Pada foto berjudul “Ni Ketut Reneng” (1983), Karyadinata mampu menampilkan sisi-sisi “inner beauty” seorang penari yang uzur usianya. Sementara itu suasana kebersamaan yang penuh dengan nuansa humanis bisa dilihat pada foto “Grilling Sate, Tengenan, Karangasem” (1984).
Tidak jauh berbeda dengan foto-foto Karyadinata, foto-foto Ida Bagus Putra Adnyana (Gustra) juga banyak mengangkat tema seputar upacara keagamaan, kelincahan dan kejelitaan penari Bali, keindahan alam dan suasana kehidupan keseharian masyarakat Bali. Namun foto-foto yang ditampilkan adalah foto-foto hasil jepretan tahun 2000-an. Fotografer yang juga sering menjuarai lomba dan aktif pameran fotografi di tingkat nasional dan internasional ini, cenderung membidik objek dalam kaitannya dengan modernisasi.
Hal tersebut misalnya dapat dilihat pada foto Gustra yang berjudul “Young Dancers with Cellular Phone” (2007) yang menampilkan dua penari Manukrawa sedang memotret diri mereka dengan HP kamera. Pada beberapa foto yang berobjek penari, kepiawaian Gustra juga tampak dari cara dia memainkan cahaya sehingga terfokus pada objek dengan komposisi yang pas.
Keindahan komposisi juga tampak pada karya Gustra yang berjudul “Afternoon Activity, Sanur” (2007) yang menampilkan seorang pemangku dan seorang gadis menyapu halaman depan sebuah pura di Sanur. Atau pada foto “Procession, Tabanan” (2005) yang memperlihatkan barisan perempuan menjunjung sesajen (gebogan) menuju tempat upacara. Bayang-bayang perempuan yang membias pada sisa-sisa canang di halaman berumput mampu menciptakan suasana dan kesan yang sublim.
Dalam hal objek foto, ketiga fotografer ini sebenarnya memiliki benang merah dalam membidik masyarakat Bali dalam berbagai bentuk keindahannya. Namun masing-masing memiliki kekhasan dan cara tersendiri dalam cara pengungkapannya. Dan yang terpenting lagi Bali akan selalu dikenang dari jaman ke jaman, salah satunya adalah berkat seni fotografi.
yeah…. kurang ngena. gada analisis foto2 itu… harapannya foto2 itu ga sekedar dijelaskan sapa2 aj yang motret dan apa hasil potretannya. tapi yang terpenting analisisnya. di muka tadi udah disinggung sedikit mengenai teori susan sontag. tapi cuma buat pembuakaan doang…. jadi malah kayak pelengkap doang biar terkesan ilmiah
Tuuuluuung tampilkan duuung karya gustra dan auw kok heng pada tahun lalu….