Proyek pengamanan Pura Luhur Uluwatu. Foto oleh: Dewa Kresnanta
Coba Anda perhatikan Pura Geger, Pura Tanah Lot, dan Pura Uluwatu, apa persamaan ketiga pura tersebut? Ketiganya sama-sama berada di ketinggian dan di bawahnya terdapat lautan. Namun, dari ketiga pura tersebut, kawasan yang paling sering dikunjungi adalah Pura Uluwatu.
Pura Uluwatu berdiri di atas tebing curam dengan ketinggian sekitar 250 kaki di atas gelombang Samudera Hindia. Lokasinya berada di Pecatu, Kuta Selatan, Kabupaten Badung. Sebuah pendapat menyatakan bahwa Pura Uluwatu didirikan oleh Mpu Kuturan, tetapi ada juga pendapat lain yang menyebutkan pendirinya adalah Dang Hyang Nirartha.
Kawasan Uluwatu memiliki potensi alam dan keindahan yang luar biasa. Setiap tahun tebing Uluwatu mengalami keretakan dan dilansir dari DetikBali, Pemerintah Kabupaten Badung telah mengetahui retakan ini sejak 2017. Pada saat itu sudah terdapat rencana perbaikan tebing yang menelan anggaran miliaran rupiah.
Kekhawatiran masyarakat terhadap retakan di tebing Uluwatu muncul kembali pada September lalu ketika sebuah video yang menampilkan retakan di tebing Pura Uluwatu yang semakin lebar. Sementara itu, sejak 4 Agustus 2024, Pemkab Badung telah resmi memulai proses penanganan tebing retak di kawasan Pura Uluwatu dengan membangun seawall dan bangunan pengaman pantai lainnya.
Ilustrasi bangunan penguatan dinding Uluwatu yang diambil dari akun Instagram canggu.info
Gambar di atas merupakan ilustrasi penguatan dinding Uluwatu yang memakan biaya lebih dari Rp70 miliar. Proyek penguatan dinding tebing Uluwatu dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Badung melalui Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kabupaten Badung. Seawall merupakan struktur pantai yang berfungsi untuk mencegah atau mengurangi limpasan air laut dan banjir terhadap tanah dan struktur yang berada di belakang daerah pantai akibat badai dan gelombang.
Pembangunan ini menimbulkan polemik, terutama dari komunitas internasional, salah satunya adalah Save The Wave. Save The Wave merupakan organisasi di Amerika yang fokus pada penyelamatan ombak di seluruh dunia. Mereka menyoroti proyek di kawasan Uluwatu karena dikhawatirkan akan merusak ekosistem selancar di Uluwatu dan pengaruhnya terhadap keanekaragaman hayati. Pada unggahannya tanggal 31 Agustus di Instagram, Save The Wave menyebutkan:
“…Terumbu karang di Uluwatu, yang menciptakan ombak kelas dunia, juga mendukung kehidupan laut yang kaya, termasuk duyung (kerabat manatee), ular laut, hiu karang, penyu, dan berbagai spesies ikan karang. Bahkan pernah ada penampakan paus orca di daerah tersebut. Selain masalah lingkungan, penting untuk menilai apakah proyek ini akan berdampak pada kualitas ombak. Kualitas ombak di Uluwatu menarik para peselancar dari seluruh dunia. Dalam sebuah studi tahun 2014 yang dilakukan oleh Save The Waves bersama mitra konservasi menemukan bahwa lebih dari 240.000 peselancar mengunjungi Uluwatu dan memberikan kontribusi sebesar $35 juta (USD) bagi perekonomian per tahun…”
Berbagai media pun turut menyoroti pembangunan seawall dan pembangunan lainnya di kawasan Uluwatu. Pada kolom komentar beberapa unggahan di media sosial muncul wacana pemindahan Pura Uluwatu oleh beberapa netizen.
Komentar netizen pada unggahan di Instagram yang menunjukkan proyek seawall di Uluwatu
Meskipun komentar di atas hanya sekadar wacana yang dilontarkan oleh netizen, tetapi apakah pemindahan Pura Luhur Uluwatu mungkin untuk dilakukan?
Asal muasal retakan di tebing Uluwatu
Pertama-tama mari kita bahas retakan di tebing Uluwatu. Dilansir dari Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Pemkab Badung, retakan di tebing Pura Luhur Uluwatu sudah terjadi sejak tahun 1904. Retakan ini terjadi di bagian Utama Mandala yang berada paling ujung dari tanjung Uluwatu dan posisinya paling menjorok ke laut. Sebelumnya telah dilakukan penanganan terhadap retakan di Uluwatu dengan cara menutup celah di permukaan dengan geomembrane untuk menghindari masuknya air dalam retakan. Langkah ini memang dinilai dapat mencegah lebarnya retakan, tetapi berpotensi menyebabkan longsor jika ada penambahan beban akibat aktivitas di halaman pura atau suatu saat ada gempa yang cukup besar.
Hal ini disoroti oleh Iwan Dewantama, salah satu aktivis lingkungan di Bali. Iwan menyebutkan over kapasitas kegiatan di kawasan Uluwatu tidak berpengaruh terhadap retakan. “Dan ini memang harus dikaji benar secara serius, jangan berandai-andai. Kalau pun ada retakan baru jangan-jangan itu karena memang masifnya pembangunan di sekitar Uluwatu,” ungkap Iwan ketika diwawancarai via Zoom pada Kamis, 3 Oktober 2024.
Bhisama Parisadha Hindu Dharma Indonesia mengenai Kesucian Pura Nomor 11/Kep/I/PHDI/1994 menyatakan bahwa tempat suci memiliki radius kesucian. Untuk Pura Sad Kahyangan radius kesucian Pura minimal 5 km dari Pura. Radius tersebut berlaku untuk Pura Luhur Uluwatu yang merupakan Pura Sad Kahyangan di Bali. Naasnya, aturan ini diabaikan begitu saja di kawasan Pura Uluwatu. “Perlindungan Pura untuk Sad Kahyangan itu ditabrak di Uluwatu. Pembangunan di sekitar Pura Uluwatu itu dekat-dekat sekali, hampir semuanya itu membongkar tanah kapur (karst),” ungkap Iwan.
Restoran Malini yang berada sejajar dengan Pura Luhur Uluwatu. Foto oleh: Dewa Kresnanta
Coba Anda perhatikan gambar di atas. Gambar tersebut diambil dari Karang Boma yang memperlihatkan Pura Luhur Uluwatu dan restoran Malini yang berdiri sejajar. Ketika senja menjelang malam menyapa, restoran Malini terlihat terang dengan lampunya. Restoran tersebut merupakan salah satu restoran yang lokasinya dekat dengan kawasan Pura Luhur Uluwatu. Meskipun restoran tersebut letaknya di luar kawasan pura, tetapi jaraknya dari pura tidak sampai 5 km.
Ada sebuah nilai yang tidak akan tergantikan
Pura Luhur Uluwatu dari kejauhan. Foto oleh: Dewa Kresnanta
Pura berhubungan dengan spiritual dan keagamaan, serta terdapat keyakinan di dalamnya. Dari sisi keyakinan itu juga terdapat logika keyakinan atau pemikiran rasional. Pemindahan Pura secara fisik memang memungkinkan, tetapi tidak secara spiritual. Sukanda Arimbawa, seorang rohaniawan yang juga banyak mempelajari ajaran keagamaan Hindu, menyebutkan bahwa secara spiritual terdapat doa-doa dan harapan di Pura Luhur Uluwatu. “Kalau di Hindu itu kita meyakini bahwa pikiran itu energi. Kalau kita analoginya kita menabung, nanti kalau dipindahkan itu kan kita mulai lagi. Kalau mulai fisiknya itu kan gampang, tapi kalau spiritnya itu kan itu yang perlu dipikir lagi,” ungkap Sukanda ketika ditemui di rumahnya pada Kamis, 3 Oktober 2024.
Artinya, memindahkan Pura memang mungkin dilakukan, tetapi ada pertimbangan kembali terkait manfaat dan kerugian di masa depan. Selain itu, Pura Luhur Uluwatu memiliki nilai yang sangat besar bagi kehidupan umat Hindu di Bali. Nilai tersebut tidak bisa dikonversi ke sebuah nilai yang merujuk kepada benda material karena yang tidak dapat diulang dan diraih kembali adalah nilai waktu. “Leluhur kita membuat sesuatu di sana dengan niat. Katakanlah niat untuk mengamankan Bali dari sisi spirit, makanya dibangun di ujungnya. Ada sebuah nilai yang tidak akan tergantikan,” ujar Sukanda.
Iwan juga turut menjelaskan latar belakang munculnya Pura Luhur Uluwatu di ujung tebing. Pasalnya, perairan di bawah Pura tersebut memiliki keanekaragaman hayati yang disebut sebagai ‘ulam ageng’, yaitu tempat hidupnya ikan besar. Pada tahun 2016, Iwan sempat melakukan riset keanekaragaman hayati laut di semananjung selatan Bali dan menemukan empat spesies paus dan lumba-lumba. Pura-pura di Bali dibangun oleh leluhur untuk menjaga Bali agar menjadi bentengnya Bali secara sekala dan niskala. “Sekala adalah sebagai simbol kita akan menjaga ekosistemnya, baik di darat maupun di laut gitu. Itu kan kuncian di segara,” jelas Iwan.
Apakah ada solusi ideal untuk menyelamatkan Pura Luhur Uluwatu?
Setiap orang memandang proyek ini dengan cara yang berbeda. Sukanda selaku rohaniawan memandang sisi positif proyek yang dijalankan Pemkab Badung. Pasalnya, retakan di tebing Pura Luhur Uluwatu memang dapat membahayakan pemedek di Pura tersebut. Nantinya ketika proyek tersebut telah selesai dilakukan, ia mengusulkan dilakukan pembatasan di kawasan Pura. Artinya, pembatasan pemedek yang masuk ke bagian Mandala Utama. “Untuk ke puranya itu mungkin orang-orang tertentu saja yang diberikan masuk untuk melakukan hal-hal yang bersifat dengan ritual dan menjaga kebersihan fisiknya,” jelas Sukanda.
Sukanda menjelaskan bahwa ini dapat menjadi win win solution, proyek seawall tetap dijalankan untuk mengamankan di bawahnya, sedangkan pengamanan pemedek dilakukan dengan pembuatan pelataran tempat sembahyang.
Di sisi lain, Iwan selaku aktivis yang bergerak di bidang lingkungan menyebutkan bahwa solusi untuk menyelamatkan Pura Luhur Uluwatu adalah dengan kebijakan tata ruang yang mengatur sistem perencanaan pembangunan nasional. Seperti yang telah disampaikan Iwan di awal, tata ruang menyebutkan kawasan tersebut adalah kawasan suci, tetapi aturannya ditabrak. “Jadi ya saya sebagai rakyat sekarang, ya kita nggak punya pilihan lain selain peraturan harus diperbaiki, Perda itu harus ditegakkan. Jangan sekadar dibuat untuk dilanggar,” ujar Iwan.
Berdasarkan penjelasan di atas, pemindahan pura bukan sebuah solusi untuk menyelamatkan Pura Luhur Uluwatu karena pura ini memiliki sejarah dan nilai yang tidak mungkin untuk diulang kembali. Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan pembatasan, baik itu pembatasan infrastruktur maupun pembatasan di kawasan pura demi keselamatan pemedek. Dalam hal ini, pemerintah perlu mengkaji ulang kebijakan tata ruang di Bali, terutama di kawasan suci karena kemungkinan retakan di kawasan Uluwatu muncul akibat masifnya pembangunan di area tersebut.