Sampah menjadi tambahan masalah bagi Nusa Penida.
Papan dengan gantungan beberapa karung terlihat di depan sejumlah rumah Banjar Nyuh Kukuh, Desa Ped, Nusa Penida. Tiap papan berisi 4 titik gantungan dengan tulisan, organik, anorganik bernilai, anorganik tidak bernilai, dan B3. Di pengaitnya tergantung karung berwarna putih.
Gantungan karung ini terasa mencolok karena sejauh mata memandang, sampah nampak dikumpulkan di sebuah ladang atau ruang hijau dalam sebuah lubang. Sisa-sisa pembakaran sampah anorganik masih terlihat di sana.
Program pemilahan sampah ini pada Februari 2020 ini baru setahun dilaksanakan oleh Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali, salah satu mitra program kerja Program Ekologis Nusa Penida GEF/SGP yang dikelola oleh Yayasan Wisnu.
Selain mengajak rumah tangga memilah sampah, juga menyediakan tempat pengelolaan sampah terpadu (TPST) yang berlokasi di Rumah Belajar (learning center) Bukit Keker di Banjar Nyuh Kukuh. Sebuah moci, kendaraan roda tiga dengan bak terparkir di sana.
Kadek Warta dan Warcika adalah warga yang mendapatkan papan dengan pengait sampah itu. Dua papan dipasang berjajar di tembok depan rumahnya. Satu papan dengan empat pengait karung untuk satu KK. Menurutnya karung terlalu kecil dan papannya kurang kuat menempel di temboknya. Ditemui 12 Februari lalu, papan terlihat nyaris lepas, bisa jadi karena terlalu berat digantungi karung sampah.
Warta mengakui baru belajar memilah sampah. Namun belum sepenuhnya bisa mengikuti. Sementara Warcika sejauh ini masih membuang sampah ke TPA karena merasa lebih cepat.
Kebiasaan memilah sampah memang tak mudah langsung terjadi sekejap mata. Tantangan ini juga dialami sekolah sekitar yang kini berupaya tak lagi membakar sampah. Agus Gede Mudita, Kepala Sekolah SDN 3 Ped mengatakan dulu ada pengepul yang mengambil sampah anorganik namun kemudian tak datang lagi. Jadilah sampah yang menumpuk dibakar saat siswa sudah pulang sekolah untuk menghindari asap. “Anak-anak sudah belajar pilah sampah, tapi ini tak mudah,” urainya.
Bak sampah sekolah diletakkan di dekat tembok di areal kantin sekolah. Melihat aneka jajanan anak-anak yang masih didominasi kemasan plastik, jumlah sampahnya pasti jadi persoalan. Hal yang sama terjadi di sekolah-sekolah lain di Bali, mungkin juga Indonesia.
Dwita dan Nova dari PPLH Bali yang sedang mengunjungi SDN 3 Ped bahkan sedang menyiapkan tandon air bersih untuk memasok air ke kamar mandi dan lokasi cuci tangan siswa. Bak pembuangan sampah direncanakan terpisah antara organik dan anorganik.
Hasil survei timbulan sampah rumah tangga di Banjar Nyuh oleh PPLH sekitar 550 kg per hari, ini bisa memenuhi 5 moci. Sebagian besar berupa sampah organik sekitar 60%.
PPLH juga membentuk tim relawan Nyuh Kedas dalam mengelola sampah. Diawali dengan pelatihan pengelolaan sampah (kompos, mol, daur ulang kertas). Saat ini ada 7 orang anak yang aktif mengelola sampah di Banjar Nyuh, terutama untuk mengajak warga memilah sampahnya.
Di Bali, mulai ada beberapa sekolah yang menerapkan minim sampah plastik pada kantin-kantinnya sebagai upaya pengurangan sampah sekali pakai. Misalnya SMP PGRI 3 Denpasar yang menerapkan nol plastik di sekolahnya pada awal 2019. Pemicunya adalah Peraturan Walikota Denpasar No.36/2018 tentang Pengurangan Penggunaan Kantong Plastik dan Peraturan Gubernur Bali No.97/2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai.
Sebagai kawasan pengembangan pariwisata, sampah adalah masalah tambahan bagi pulau-pulau kecil seperti gugusan Pulau Nusa Penida, Lembongan, dan Ceningan ini. Saat ini kebun kosong masih tersedia terutama di Nusa Penida yang berukuran paling besar sehingga disebut nusa gede ini.
Kebun kosong atau teba dalam bahasa Bali digunakan sebagai halaman belakang dan tempat menumpuk serta bakar sampah. Terutama untuk rumah tangga yang tak terakses jasa pengangkutan sampah. Bagaimana jika teba habis? Ini masuk akal karena pembangunan sarana wisata seperti hotel, penginapan, dan restoran tak pernah berhenti di sini. Sementara sampah bukannya habis, malah berlipat karena aktivitas warga bertambah akibat industri pariwisata.
Pusat tumpukan sampah adalah Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Biaung untuk Desa Ped. Di area ini ada papan bertuliskan jadwal buang sampah, pukul 8-12 siang. Di luar jam itu, gerbang TPA ditutup. Nampak gundukan sampah setinggi pohon pisang di sejumlah titik penimbunan. Penampungan air lindi nampak kering petanda jalurnya tersumbat atau masalah lain di bawah tumpukan sampah itu.
Di beberapa sudut ada tumpukan kardus dan botol plastik yang dikumpulkan pemulung. Salah satu cara mengurangi beban sampah TPA yang menaungi 4 desa ini adalah dengan kehadiran pemulung. “Kami menggaet pemulung agar beban TPA berkurang, saya suruh ajak teman-temannya mengambil sampah yang bisa dijual,” ujar Ketut Mudra, staf UPT Persampahan Kecamatan Nusa Penida yang ditemui saat itu.
Ia berharap segera ada program pengelolaan sampah seperti program TOSS yang dicanangkan Pemerintah Kabupaten Klungkung. Tempat Olah Sampah Setempat (TOSS) diyakini sebagai strategi pengelolaan sampah yang tepat.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Pertanahan Agung Kirana mengatakan TOSS Center sudah beroperasi sejak akhir Januari 2020. Demikian kutipan dari web Kabupaten Klungkung.
Lokasi TOSS Center di Karang Dadi, Desa Kusamba, Kecamatan Dawan. TOSS Center ini disebut akan menjadi Learning Center semua teknik pengolahan sampah. Mulai dari pemilahan sampah organik dan plastik, pencacahan sampah plastik, pengolahan sampah plastik menjadi paving block dan aspal serta mengolah sampah plastik menjadi minyak. Selain diolah, sampah plastik juga ada yang akan dijual. Sementara itu sampah organik akan diolah menjadi pupuk osaki, diolah dengan proses penyeumisasi serta diolah menjadi pelet sebagai bakan bakar pembangkit listrik.
Sampah yang ditangani TOSS Center berasal dari sampah Kota Klungkung dan sampah dari Desa Kusamba. Per hari TOSS Center menerima 3 mobil pick up sampah dan mampu mengolah sampah sebanyak 6 meter kubik atau satu truk sampah.
Namun menumbuhkan perilaku memilah sampah dari sumbernya seperti rumah adalah akar perubahan. Bagaimana menumbuhkan akar ini? Kabupaten Klungkung perlu menganalisis sejumlah kasus dan masalah di beberapa TPA di Bali.
TPA overload
Sejumlah TPA di Bali sudah kelebihan (overload) sampah karena volumenya tak terbendung, semua sampah bercampur termasuk organik, dan pengelolaannya jadi makin sulit ketika sudah tercampur jadi gunung sampah. TPA Suwung di samping perairan Teluk Benoa terakhir kali ditutup warga sekitar karena baunya makin menyengat dan truk pengangkut sampah antre sampai jalan raya.
Demikian juga TPA Temesi di Kabupaten Gianyar yang beberapa kali terbakar karena gunungan sampah terus muncul dan gas buangnya memicu api dalam tumpukan sampah. Padahal di area ini ada UPT khusus yang mengelolanya dengan cara mengupah pemulung untuk memilah. Kemudian organik diolah jadi kompos, sementara anorganik dikelola bank sampah. Ketika volume sampah masih bisa dipilah, Temesi terlihat rapi dan menyisakan sedikit gundukan sampah.
Masalahnya penduduk makin banyak termasuk aktivitas dengan timbulan sampah anorganik. TPA kekurangan lahan dan terus memperluas sanitary landfill-nya ke area persawahan. Saat musim angin kencang, Temesi pun dengan mudah terbakar dan memicu protes warga sekitarnya.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Klungkung, Anak Agung Kirana yang diwawancara pada 9 Maret 2020 mengatakan pihaknya sudah merencanakan sejumlah proram untuk pengelolaan sampah di Klungkung. Di Nusa Penida, pihaknya akan merevitalisasi dua TPA yang ada saat ini.
Selain itu, mulai 2020, persyaratan izin seperti UKL-UPL tak akan dikeluarkan bagi pengusaha wisata jika tak mematuhi syarat pengelolaan sampah.
Revitaliasasi ini bekerjasama dengan Kementrian PU, TPA akan dibuat ulang sel-selnya untuk merapikan blok penimbunan sampah. Juga akan ditaruh alat berat sampah agar lebih rapi. Ia juga berharap peran serta desa adat seperti membuat peraturan adat seperti perarem. Kirana merujuk Peraturan Gubernur Bali No 47/2019 tentang Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber di mana desa adat bertanggungjawab pada sampah yang dihasilkan masayarakat.
Selain TOSS, ada juga imbauan membuat lubang daur ulang sampah (Bang Daus) untuk sampah organik. Sementara non organik akan ada kerjasama dengan asosiasi pengusaha sampah Indonesia. Kendalanya masih belum ada MoU, tingginya biaya pengangkutan sampah plastik ke Klungkung daratan sehingga perlu subsidi.
Ia mengakui saat ini belum banyak pengusaha wisata mengelola sampahnya, karena itu menurutnya perarem oleh desa adat penting untuk memanggil mereka. “Di Klungkung ada istilah sampahku tanggungjawabku. Perlu edukasi tak mudah seperti membalikkan telapak tangan,” sebutnya.
Data DLHK Klungkung menyebutkan, jumlah sampah di Kecamatan Nusa Penida hampir 34 ribu kg per hari ( 250 m3) dari jumlah penduduknya lebih dari 67 ribu orang. Artinya tiap warga memproduksi sampah 0,5 kg per hari. Terbesar adalah volume sampah di Kecamatan Klungkung sebanyak 34.141 kg per hari (255 m3) dari jumlah penduduk lebih dari 68 ribu orang.
Komposisi sampah terbanyak adalah organik sebanyak 68%, disusul debu, batu, dan sejenisnya 8%, gelas dan botol plastik 7%, disusul plastik lembaran 5%, dan kresek 4%.