Pemandangan sama selalu muncul setiap saya bertemu Pak Putu Semiada.
Seperti beberapa hari lalu di sebuah acara konser. Atribut tolak reklamasi kembali nampak mendominasi penampilan lelaki murah senyum ini. Dia mengenakan baju kaos tolak reklamasi Teluk Benoa.
Topi bersimbol tangan kiri mengepal.
Jika kita bertemu Pak Putu saat aksi tolak reklamasi, maka kita kan melihat lelaki yang sudah punya cucu ini mengenakan atribut lebih “rame” dari biasanya. Bermacam pernak-pernik tolak reklamasi dipastikan memenuhi sekujur tubuhnya, dari udeng, baju, kacamata, tas, kain, hingga saput.
Saya sempat berkelakar, “jangan-jangan CD Pak Tu juga ada gambar tangan kiri mengepal?”. Dia menjawab “belum” sambil tertawa.
Yang membuat saya berdecak kagum adalah beberapa atribut itu dia buat sendiri. Kalau tak salah tas, udeng dan saput adalah hasil karya seninya sendiri.
Pak Putu adalah bagian dari arus yang dieembuskan gerakan ini, sebuah arus yang mempertemukan kesenian dan perlawanan. Hasrat memadukan seni dan melawan ini dihinggapi berbagai kalangan, entah mereka kelompok “seniman” maupun “warga biasa”
Pak putu tidaklah sendiri. Sosok-sosok dengan bermacam pernak-pernik simbol perlawanan terhadap upaya “urug laut” di Teluk Benoa itu mudah ditemui saat aksi di lapangan. Semangat tolak reklamasi tampaknya begitu merasuk.
Simbol-simbol perlawanan terhadap rencana ambisius investor tidak lagi sebatas ramai di jalanan, melainkan ramai di tubuh para penolak reklamasi. Semangat perjuangan ini begitu membadan.
Pernak-pernik itu bukanlah aksesoris biasa, yang hanya digunakan pemakainya untuk terlihat keren. Melainkan menandakan hal lebih dalam, yaitu isi hati si pemakai yang tegas menunjukan diri sebagai pihak “kontra” reklamasi.
Aksesoris-aksesoris tolak reklamasi adalah “statemen politik” manusia akar rumput yang lugas. Karena hal buruk bagi rakyat haruslah ditolak dengan lugas. Bukannya mengambang dan bertele-tele seperti halnya para pejabat atau politisi.
Banyak cerita yang saya dengar, termasuk dari pak Putu, bahwa tidak semua orang legowo terhadap kehadiran pernak-pernik ini. Ada saja yang nyinyir dan antipati terhadap kehadirannya.
Maklum saja, kritik dan protes terhadap investor rakus terkadang tak melulu menyesakan bagi pejabat-pejabat busuk yang berada di atas, namun juga orang-orang di sekeliling kita yang bertabiat sama seperti para rakus.
Memang penindasan bisa bekerja efektif jika ada kebijakan atau aturan-aturan hukum yang mendukungnya. Tetapi selain itu penindasan bisa beroperasi jika ada subjek-subjek di akar rumput menyetujui, bersepakat, atau memiliki kesadaran yang sama seperti si penindas. Para nyinyir ini mungkin bagian darinya.
Nyinyir atau penyepelean ini bisa juga sebagai respon mereka yang memilih abu-abu. Kita terlalu lama dibesarkan rezim Orba, dan terkadang sikap menggugat penguasa secara terang-terangan masih terasa kagok bagi orang-orang yang dibesarkan rezim ini.
Kita yang hidup pada masa itu acapkali merespon kebusukan politik negara dengan menjadi abu-abu. Karena menyatakan “tak setuju” secara gamblang bisa berujung penjara. Sikap abu-abu di hari ini barangkali warisan Orba yang masih menjalar.
Respon warga tak sepenuhnya negatif. Banyak juga mengundang dukungan, misalnya respon seseorang yang dengan seketika menunjukan tangan kiri mengepal ketika kita mengenakan atribut tolak reklamasi. Tentu saja, yang awam bisa dibuatnya terpancing bertanya kepada kita tentang hiruk pikuk persoalan reklamasi ini.
Jadi kehadiran pernak-pernik tolak reklamasi dalam dunia sehari-hari bisa berarti gugatan, pemantik solidaritas, dan “jembatan” edukasi. Oleh karena itulah si pemakai dituntut untuk tahu persoalan dan siap menerima resiko.
Wajah-wajah si pemakai atribut terlihat selalu sumringah dan bersemangat. Kentara mereka yang terlihat gembira melawan ini berhasil melewati berbagai tembok sensor di sekeliling mereka, entah berupa nyinyir atau penyepelean.
Mereka berhasil merawat “keberanian” sekalipun penjegalan terhadap gerakan ini menggunakan cara-cara kasar, entah intimidasi, tipu dan fitnah, ataupun perusakan seperti perobekan-perobekan baliho.
Manusia-manusia beratribut tolak reklamasi semakin menjamur, dan ini berarti “keberanian” tak hanya terawat tetapi terus berkembang biak. Rakyat sepertinya tak mau lagi memilih menjadi abu-abu.
Mereka memilih kontra reklamasi dan bergerak maju. Para rakus lebih baik mengurungkan niatnya. Ngeri membayangkan apa yang terjadi jika para rakus tetap ngotot. [b]
Comments 2