Siapa yang tidak tahu Candi Borubudur dan Prambanan?
Kemegahan arsitektur yang disajikannya luar biasa. Dua candi tersebut menunjukan bahwa peradaban Nusantara pada masa itu sangat muktahir. Mereka menjadi karya seni warisan leluhur kita di mana seni dan kehidupan berjalan seirama.
Kita harus bersyukur warisan budaya melegenda yang menjadi tolok ukur sebagai sebuah bangsa besar tidak kalah dengan peradaban lain. Kebanggaan terhadap kedigdayaan kebudayaan dan seni patut diresapi bersama sebagai rujukan kita menghadapi tantangan jaman now.
Cerita besar yang dituturkan dari karya seni tersebut mampu memompa semangat kita mengenang kejayaan masa lampau bagaimana seniman berkarya demi sebuah bangsa bernama Nusantara. Keagungan candi sebagai karya seni membuat seorang seniman bangkit dari kubur imajinasi.
Salah satu seniman yang menggunakan keagungan budaya masa lampau dalam karyanya adalah Asehou Jayakatowan.
Asehou Jayakatowan menggoreskan kanvas melemuhkan jari berkelok-kelok manja bersentuhan dengan kanvas. Asehou memilih tema candi sebagai objek karya karena candi salah satu bukti peradaban yang maju pada masanya.
Maka, ia mengambil beberapa karakter candi dikombinasikan jadi satu. Dulu, candi sebuah simbol kejayaan tidak ada kerajaan di Nusantara yang tidak membangun candi. Hampir semuanya memiliki candi dengan karakter masing-masing, misalnya di Jawa maupun di luar Jawa.
Hal ini menunjukkan candi adalah kemasyhuran peradaban sebagai bentuk unjuk jati diri. Objek candi tidaklah mudah digoreskan dalam medium kanvas karena tentu taksunya sungguh sulit harus dibarengi dengan spiritual. Jiwa dan roh lukisan tersebut terpancar seolah-olah hidup.
Dia pernah mengalami bunga mimpi dibawa suasana masa lampu, melihat kerajaan yang megah arsitektur bangunan keraton dan candinya. Namun, dalam mimpinya tersebut keraton megah tiba-tiba lenyap begitun saja hancur karena bencana alam hingga tidak ada yang tersisa.
Dari mimpi itu diapun mengalami pergolakan batin untuk segera melampiaskan ego dan pikiran liarnya ke kanvas. Ia ingin memperlihatkan bahwa peradaban dulu patut kita contoh. Kenapa candi itu diyakini tempat ranah spiritualitas.
Seniman kelahiran Brebes, Jawa Tengah pada mulanya terjun menekuni sebagai seorang pelukis semenjak 2014 tatkala membuat lukisan berukuran 90 x 120 cm. Ada teman yang menyarankannya berpartisipasi pameran di sebuah galeri nasional. Dari sana ia bertemu kurator Kus Indarto.
Sejak itu dia serius menjalankan kesenirupaan. Pemeran, pameran dan pameran pun dia ikuti. Termasuk pameran di luar Banten agar bisa membuka diri dan bertemu dengan seniman top lainya.
Penikmat seni mempunyai pilihan masing-masing ketertarikan akan seni lukis sesuai dengan yang mereka suka. Karya Asehuo lebih spesifik penikmatnya adalah dari kalangan spiritual.
Sebelum melukis dia menjalani ritual khusus yakni puasa terlebih dahulu. Tujuannya menjaga asa batiniah dan jiwa yang stabil sehingga banyak yang terkesan dari karyanya. Teknik dan detail yang berbeda dari pelukis lain ini yang menjadi karakter sekaligus modal besar seorang Asehuo. Sampai sekarang teknik dan karakter lukisannya masih pertahankan seperti menulis huruf latin lekuk-lekuk tapi juga terarah jadi sebuah bentuk. [b]