Oleh I Nyoman Winata
Untuk apa pajak yang dibayar rakyat kepada negara? Dari iklan Direktorat Jenderal (Dirjen) Pajak di TV kita dapat informasi, uang yang diperas dari keringat rakyat itu digunakan di antaranya untuk membiayai birokrasi atau pemerintahan dan membangun infrastruktur seperti jalan, gedung pemerintah dll. Data menunjukkan bahwa Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD dan APBN) hampir 60 sampai 70 persen dipergunakan untuk menghidupi birokrasi pemerintah mulai dari gaji/ tunjangan sampai dengan perjalanan dinas serta segala tetek bengek urusan hajat hidup para Pegawai Negeri Sipil dan Pejabat pemerintahan.
Pertanyaannya adalah apa kontribusi dari birokrasi pemerintahan di seluruh negeri bernama Indonesia ini?
Tidak banyak manfaat yang diberikan pada kemajuan dan kesejahteraan rakyat. Alih-alih membantu, birokrasi justru menjadi beban yang menambah berat penderitaan rakyat. Kita tidak asing dengan motto kerja para birokrat dan PNS di Indonesia ; “Kalau bisa dibuat susah mengapa harus dipermudah?”. Alhasil semua urusan dengan birokrasi menjadi momok bagi rakyat. Mulai dari ngurus KTP sampai ijin usaha. Birokrasi juga menjadi sarang pungutan liar (pungli) yang membuat dunia usaha di Indonesia menjadi high cost.
Dampaknya sama sekali tidak sederhana. Dalam skala pemerintahan lokal kabupaten/kota, mubazirnya para pejabat birokrasi dan PNS dilihat dari kekacauan dan kesemrawutan kota. Bagaimana pemerintahan bisa disebut telah mengurus rakyat kalau urusan mengatur tata ruang, lalu lintas dan kebersihan kota saja mereka tidak bisa berbuat banyak? Lalu bagaimana gaji dan tunjangan yang selama ini menghidupi anak, suami/istri dan keluarga para birokrat/PNS? Bisakah mereka disebut telah makan gaji buta?
Saya mendapatkan sebuah cerita dari seseorang yang pernah melakukan studi ke luar negeri. Ia bertemu dengan walikota sebuah kota di Amerika. Sang walikota datang sendiri dengan menenteng tas membawa laptop tanpa ada ajudan atau pengawal. Bahkan ia menyetir sendiri. Begitu efisien dan efektifnya birokrasi mereka.
Coba lihat walikota di Indonesia. Punya Ajudan, punya sopir, dan punya mobil dinas yang tidak hanya untuk dirinya sendiri tetapi juga untuk istri bahkan anak-anaknya. Semuanya dibiayai negara dari perasan keringat rakyat! Bermilyar-milyar uang dihabiskan untuk memilih mereka dalam pilkada. Bertrilyun-trilyun rupiah digunakan untuk memilih para wakil rakyat dan juga membiayai kehidupan para birokrat dan PNS. Semuanya hanyalah (maaf) jadi kotoran bagi rakyat karena sari-sarinya hanya dinikmati pribadi dan seglintir orang saja.
Sudah begitu, korupsi juga telah membudaya dan mendarah daging dikalangan PNS-PNS dan birokrasi di Indonesia. Mulai dari korupsi yang paling sederhana seperti korupsi waktu sampai korupsi anggaran. Sebaran tindakan korupsi di Indonesia hampir merata meliputi semua pemerintahan daerah. Jangan tanya pemerintah pusat karena disinilah gudangnya para koruptor. [b]
untungnya saya tinggal di Bali..
Eh, Bali tu di Indonesia ya??
my god..!
setubuh, bli. kerana keto, liu nak bali wanen ngutang 50 juta pang nidang gen panakne dadi pe-en-es.
Kita bayar pajak rutin lo, semoga bukan kegiatan yang mendukung korupsi ya. Tapi karena peduli dengan program yang sudah kita laksanakan, yaitu Corporat Social Responsibility. Bayar pajak adalah CSR … duh, padahal program itu utk non profit organizaton lo. Dah, gak apalah, pemerintah kan ‘non profit’. Mungkin oknum nya saja yg suka ber-profit oriented.
disini walikota kalo mendapat perlakuan istimewa pasti langsung dicerca ama publik bli. contohnya pas musim dingin kemaren, jalur dari rumah walikota ke kantor mendapat prioritas untuk dihilangkan esnya. wah langsung jadi makanan media itu walikota. dicerca abis – abisan disini dan walikota ne langsung minta maaph di berita hehehehe …
kalo di indo, pelat merah jalan – jalan pas wiken gampang dicari dan sering saya liat dolo pas masih di bali hehehehe … mantabh lah memang “optimasi” penggunaan fasilitas negara di indonesia hahahaha …
sudah lumrah di indonesia begitu itu …
melanggar lalu lintas aja boleh ..
liat … petinggi / pejabat di kawal polisi .. menerobos rambu lalu lintas .. ( traffict light ) ..
padahal oleh pak polisi di bilang .. “kalau hijau itu jalan”, “merah itu berhenti”, “kuning itu siap siap berhenti”
tapi bagi beberapa kalangan pejabat .. petinggi negri … “merah itu kalau di kawal .. jalan”, “kuning itu siap siap ngebut .. jalan trus”, “ijooo apa lagi i….. yang kenceng atuh ”
setau saya.. yang bole menerobos lalu lintas itu ..cuman ambulance “darurat orang sakit” ,dan pemadam kebakaran … mungkin RI # 1 & #2
belum ada seh yang pernah bilang pejabat (gubernur , walikota , bupati) boleh melanggar lalu lintas.
yang mengesalkan … waktu musim kampanye … gileee bener ..baru aja jadi calon ..dah berani di kawal polisi ..buat menerobos lampu lalu lintas …, kita yang rakyat ini cuman nonton doank … harus nya lampu lalu lintas ijo .. malah di stop polisi …. di plototin lagi … padahal kita sama sama urgent … saya urgent balik ke kantor ..buat kerja ..setelah makan siang.
seperti nya emang polisi itu teman nya adalah para pejabat dan calon pejabat … bukan teman nya rakyat jelata