“Ke taman kupu-kupu, yuk. Udah lama ga kesana.”
Celetukan saya bersama adik saya membawa perjalanan bermotor kami dari Ubung menuju Tabanan. Menembus macet dan kepulan asap bis dan truk sepanjang perjalanan, sembari mampir untuk makan siang di salah satu depot yang menjual menu sup ikan di dekat Pasar Kota Tabanan, akhirnya kami tiba di kawasan yang tenang, sejuk, serta relatif tidak terlalu jauh dari rumah. Sudah sekian tahun lamanya sejak kunjungan terakhir kami ke taman itu.
“Oh, ga terlalu jauh ya ternyata. Kayanya berasa lebih jauh ke Kuta atau Jimbaran dibanding ke Tabanan.” Jarak 20 kilometer terasa singkat ketimbang perjalanan menuju Bandara Ngurah Rai – dengan jarak yang sama namun waktu tempuh berbeda, tentu traffic-nya juga berbeda.
Bali Butterfly Park terletak di Jalan Batukaru, Banjar Sandan Lebah, Desa Sedandan, Tabanan. Dibuka sejak tahun 1996, taman ini menjadi salah satu tempat konservasi kupu-kupu dan serangga dari berbagai spesies. Uniknya, terdapat beberapa jenis kupu-kupu langka yang juga dibudidayakan di sini, seperti birdwings, swallowtail, great Mormon, dan lainnya, dengan corak dan bentuk yang beragam pula.
Dengan memori masa kecil yang masih membekas – melewati loket masuk yang dulunya masih berupa gapura kecil dengan kolam dan patung kupu-kupu, sekarang terdapat balai berukuran sedang sebagai pintu masuknya. Kami membayar tiket masuk sebesar Rp40.000,00 yang berlaku untuk satu orang dewasa. Memasuki area taman, sejumlah kupu-kupu dengan berbagai warna dan bentuk terbang menyambut kami. “Cubanget! (lucu banget),” ungkapan nyata kupu-kupu yang lucu, seperti lirik lagu anak-anak dahulu. Sebuah definisi bahagia yang sederhana, melihat kupu-kupu hilir mudik mencari bunga-bunga yang kembang.
“Kakak takut sama ulat, ga? Saya mau kasih lihat ini.”
Kami bertemu dengan Gek Ita, salah satu keeper di Bali Butterfly Park yang bertugas menjaga hatching zone sekaligus memberikan edukasi kepada pengunjung. Ia menunjukkan ngengat atlas (Attacus atlas) atau yang biasa dikenal sebagai kupu-kupu barong, sambil menjelaskan informasi tentang ngengat ini. Satu hal unik yang baru saya ketahui, jenis ngengat atlas hanya memiliki fase hidup yang sangat singkat, yakni selama 5 hari fase sempurna atau dewasa.
Setiap hari, keeper memantau dan mengamankan ngengat barong ke dalam net dari fase ulat hingga pupa. “Supaya aman dari predator, biasanya kita ambil langsung dari daun atau dahan pohonnya. Ulatnya besar-besar dan ada semacam tanduk di tubuhnya, tapi ga bikin gatel kok, beda dengan ulat bulu,” jelas Gek Ita sembari membuka net dan menyodorkan ngengat barong, agar kami dapat memegang secara langsung serta melihat bagian tubuh ngengat lebih dekat. Ngengat hanya menyerap embun dari antenanya, berbeda dengan kupu-kupu yang memiliki sulur di mulutnya untuk menghisap sari bunga.
Di rak sebelah, terdapat beberapa koleksi kupu-kupu dalam fase kepompong yang terkumpul. Ada beberapa yang sedang menetas menjadi kupu-kupu. Fakta menarik lainnya, kupu-kupu memiliki fase hidup yang lebih lama daripada ngengat, namun tergantung jenisnya pula. Semakin kecil ukuran kupu-kupu, maka semakin singkat pula fase hidupnya. Setelah menetas, sisa ‘kulit’ kepompong akan dikumpulkan untuk dijadikan kompos.
Bersamaan dengan kami, terdapat sekitar 4-5 wisatawan asing yang berkeliling Taman Kupu-Kupu. Gek Ita lanjut berkomentar mengenai kesehariannya sebagai keeper di taman ini. “Kebanyakan pengunjung dari turis asing, biasanya bule yang singgah dari arah Ubud atau Jatiluwih. Kalau wisatawan lokal belakangan ini belum banyak, tapi biasanya ramai saat liburan panjang. Seperti libur natal dan tahun baru, atau hari raya keagamaan. Lebih ke wisata keluarga sambil bawa anak-anak, sekalian wisata edukasi juga untuk mereka. Anak-anak pasti antusias, bisa pegang langsung sambil menyimak ceritanya,” ungkapnya.
Ia juga menegaskan bahwa banyak wisatawan asing yang merasa sangat antusias dengan keberadaan taman ini, karena di negara asalnya mereka tidak bisa sembarangan memegang kupu-kupu secara langsung, terlebih karena dianggap langka di negara non tropis. Oleh karenanya, experience yang didapat pun berbeda. Selain ngengat dan kupu-kupu, Bali Butterfly Park juga memiliki koleksi serangga lain seperti kalajengking, belalang kayu, belalang daun, dan berbagai jenis kumbang.
Keeper lainnya menjelaskan berbagai tantangan dalam merawat koleksi serangga mereka. Salah satu kendala terbesar adalah ketersediaan bibit anakan belalang kayu dan belalang daun. Karena sulit ditemukan di Bali, bibit anakan harus didatangkan dari daerah lain. Selain itu, siklus hidup belalang yang tergolong panjang membutuhkan perhatian ekstra dari tim keeper. Untuk menjaga kelangsungan populasinya, belalang dan kumbang dibudidayakan dalam net atau akuarium kaca.
Selain melihat konservasi kupu-kupu, taman ini juga memiliki mini museum yang memiliki pajangan spesimen kupu-kupu dan serangga berdasarkan masing-masing jenis, ukuran, dan spesiesnya. Saat saya datang berkunjung, beberapa spesimen masih dalam tahap maintenance. Terdapat juga karya foto oleh beberapa fotografer pada kegiatan yang diselenggarakan forum fotografer makro di taman ini. Melalui museum spesimen dan pameran fotografi makro, Bali Butterfly Park juga berupaya meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga keanekaragaman hayati, khususnya serangga dan kupu-kupu yang mulai langka ditemui di alam.