Reformasi yang berumur lebih dari 20 tahun membuahkan amandemen UUD45 sampai 4 kali, membagi kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Kekuasaan eksekutif juga dibagi melalui otonomi daerah provinsi, kabupaten dan kota. Pemilihan langsung untuk eksekutif dan legislatif membuahkan pemimpin-pemimpin yang mumpuni. KPK juga relatif berhasil menangkap ribuan politisi dan pejabat. Kebebasan berpendapat lebih terjamin, walau dipandang cukup berhasil dan diakui dunia bahwa kita mentransformasi diri. Keberhasilan itu juga melahirkan banyak masalah-masalah baru yang justru menimbulkan ancaman keberlangsungan demokrasi itu sendiri.
Ketimpangan kesempatan secara sosial, politik, hukum, ekonomi, kesejahtraan, daerah menimbulkan ketidakpuasan dari harapan akan hasil dari demokrasi yang dianggap tidak merubah nasib masyarakat bawah. Korupsi terasa beralih banyak ke daerah, dan terang-terangan, dan tidak menunjukan penurunan. UU tentang korupsi juga tidak kunjung direformasi untuk lebih memberatkan, begitu juga dengan keputusan pengadilan. Malahan sering salah sasaran oleh target politik. Hasil studi KPK juga menunjukan bahwa korupsi dipacu oleh pembiayaan kampanye pemilihan. Parpol terjebak oleh terdesaknya dilema untuk meraih suara, yang memerlukan dana besar, menerima mahar, menutup mata sebelah oleh kader dan kandidat yang menggalang dana dengan tidak baik, atau mencari dana setelah berkuasa, baik dari anggaran negara maupun dari swasta dengan imbalan tertentu. Sistem ini menghambat parpol untuk mereformasi diri, justru menyingkirkan kandidat aktivis dan idealis.
Moral hazard juga terjadi karena kecil dan tidak masuk akalnya remunerasi nasional, Gaji pejabat kita kecil sekali, padahal mengontrol anggaran dan profesional yang bergaji besar. Kalau kita jujur untuk kebutuhan dasar rumah-tangga saja belum tentu bisa terpenuhi, sehingga pejabat kita seolah didorong untuk korupsi. Dalam situasi sistem demokrasi setengah matang ini, akibat ketidakjujuran dan kemunafikan kita sebagai bangsa yang tidak sejujur dan relistis mengenai keuangan, baik pembiayaan demokrasi maupun remunerasi nasional, menyebabkan lingkaran setan korupsi dan menghalangi, menghambat dan menyusahkan putra/i terbaik bangsa yang jujur dan amanah untuk mengabdi.
Justru sekarang secara langsung maupun tidak langsung proses pengkristalan oligarki mulai terbentuk, korporasi mempengaruhi proses pengambilan keputusan politik, UU, PERMEN, PERDA, keputusan hukum, kaderisasi parpol, investasi, konsesi sumber daya alam dan lain-lain. Kesempatan untuk perbaikan itu menurut saya masih ada, walau punya jangka waktu yang sempit, jadi mesti segera dilakukan sebelum kulminasi pengkristalan oligarki yang akut yang susah untuk diurai. Kita mesti frontal dan progresif soal keuangan negara, jujur dan tidak munafik menghadapinya.
Pembiayaan demokrasi baik proses pemilu/pilkada, kampanye dan pembiayaan partai, semua dibiayai oleh negara. Parpol, kandidat, politisi tidak boleh menerima uang/barang/jasa/iklan/bantuan dalam bentuk apapun dari swasta/individual. Remunerasi nasional, gaji presiden dan semua pimpinan lembaga tertinggi negara harus tinggi dan disamakan, wakil-wakilnya juga demikian. Tertinggi yang bisa kita berikan, misalnya 1M masing-masing untuk presiden, Ketua MPR, DPR, DPD, MA, MK, sehingga mereka tidak mempunyai masalah finansial, tinggal soal amanah, idealisme, etika dan moral saja. Demikian juga anggota legislatif, eksekutif dan legislatif daerah.
Walau cuman dianggarkan 1% dari APBN untuk pembiayaan demokrasi dan 1% untuk remunerasi nasional, yang sekarang 2700T/tahun menjadi masing-masaing 27T/tahun mungkin sudah lebih dari memadai. Tentu Parpol dan pejabat mesti melalui berbagai kriteria dan akuntabilitas yang ketat untuk bisa mendapatkan dananya. Dasar hukum ini akan cukup kuat kalau kita bisa mereformasi terbatas UUD45 yang ke lima, spesifik soal pembiayaan demokrasi dan reformasi.
Dampak snowball effect dari reformasi terakhir ini akan luar biasa, menyingkirkan karatan di partai, putra/i terbaik akan berbondong-bondong mengabdi kepada negara, perusahaan-perusahaan yang berprestasi akan berkompetisi, produk dan keputusan hukum akan lebih baik, ketimpangan sosial, politik, ekonomi, hukum akan berkurang. Kalau dalam batas waktu tertentu kita tidak bisa menangani soal keuangan ini akibatnya sebagai berikut: semua sistem demokrasi dan parpol kita dikuasai oleh korporasi baik dalam maupun luar negeri. Hampir semua produk hukum dan keputusannya akan dipengaruhi oleh kepentingan korporasi. Hampir semua pejabat daerah dan pusat, yang berada di kantong-kantong usaha, sumber daya alam, akan/sudah dikuasai dan ditentukan oleh korporasi.
Lama-kelamaan terjadi pengkristalan oligarki yang kalau sudah akut dan sangat susah untuk memecah dan merubahnya. Ini sudah terjadi di banyak negara, ketimpangan akan makin terasa disinilah orang akan mempertanyakan hasil dari demokrasi. Melihat kegagalan dari demokrasi, alternatif dicari sistem yang lebih baik dari demokrasi. Kalau di indonesia adalah agama, dari kelompok kanan dan otoritarian dari kelompok kiri.
Apapun yang sudah susah payah kita capai semenjak reformasi akan hancur oleh revolusi baru oleh ideologi baru yang bukan demokrasi, karena kegagalan kita. Saatnya ini, mudah-mudahan saya salah. Hal ini sudah pernah terjadi di negara-negara lain. justru terjadi ketika kita dilupakan dan terbuai oleh keberhasilan demokrasi setengah matang.