Gerakan Bali Tolak Reklamasi tak bisa dipisahkan dengan poster-posternya.
Bahkan, dalam sebuah diskusi pernah muncul pertanyaan: apakah Bali Tolak Reklamasi ini gerakan lingkungan atau kebudayaan? Petanda betapa lekat karya seni dalam gerakan ini.
Banyak poster dibuat untuk mendukung gerakan ini. Alit Ambara mungkin bisa disebut sebagai pembuat poster paling berpengaruh dalam gerakan ini. Jika tidak berpengaruh, setidaknya dialah yang paling produktif.
Ilustrasi karya Alitlah yang paling banyak digunakan secara resmi oleh Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi (ForBALI). Poster itu kemudian direproduksi secara massif lewat stiker, kaos, baliho, maupun materi kampanye lain.
Namun, jauh sebelum munculnya gerakan Bali Tolak Reklamasi, poster-poster Alit juga sudah mewarnai sejarah gerakan perlawanan di Republik ini. Bahkan sejak zaman represi Orde Baru.
Posternya banyak berbicara tentang hak asasi manusia lewat pergerakan buruh migran, penghilangan paksa aktivis reformasi, pemiskinan petani, kekerasan, perang, sampai menciptakan desain ikonik untuk gerakan Bali Tolak Reklamasi pada 2013.
Dalam kurun tiga tahun (2010-2013) saja, ilustrator cum-aktivis kelahiran Singaraja, Buleleng ini memproduksi sekitar 800 poster. Kebanyakan propaganda kampanye sosial politik dalam dan luar negeri, terutama isu hak asasi manusia (HAM).
Alit adalah sarjana seni patung dari Institut Kesenian Jakarta pada 1993.
Proses bergulirnya minat ke desain grafis ini bermula ketika kuliah di IKJ ia bergabung dengan Kelompok Kerja Budaya menerbitkan jurnal Media Kerja Budaya. Dalam sebuah peristiwa Atraksi Kebudayaan ada kasus ketika sastrwan alm Paramoedya mendapat Magsaysay Award dan banyak yang menentang. Di sana ia memulai menelusuri arus kebudayaan dan pergerakannya melalui seni.
Pada 1996 setelah lulus S1, Alit melanjutkan studi di Amerika. Dia kembali ke Jakarta pada 1998. “Saat itu saya pertama kali lihat panser. Saya bergabung tim relawan kemanusiaan oleh Romo Sandyawan. Disuruh bawa air mineral ke gedung DPR dan tersesat di Palmerah,” ingatnya awal-awal aksi meminta Presiden Suharto turun ini.
Kemudian ia diminta membuat medium kampanye untuk dorongan pengadilan HAM. Jadilah posternya bertuliskan Adili Jenderal Pelanggar HAM. Alit masih setia mendukung kampanye ini yang dipimpin ibu-ibu yang anaknya dihilangkan paksa saat aksi-aksi reformasi.
Salah satunya adalah Aksi Kamisan sudah berusia 8 tahun dan masih berlangsung, bahkan kini dibatasi.
Jejak sejarah kekerasan lain yang didokumentasikan lewat poster adalah pada 2009 ketika buku berjudul Dalih Pemmbunuhan Massal dibreidel. Alit membuat kampanye dan pameran anti pelarangan buku sejak era kolonial sampai pasca reformasi. Perlawanan berbuah dengan putusan Pengadilan Tinggi Usaha Negara (PTUN) bahwa Jaksa Agung tak berwenang melarang kecuali oleh pengadilan.
Alit membuat sejumlah tagline seperti Garis Tegas Bangsa Beradab atau Biadab, dan Mulailah Membaca atau Kita Semua akan Tertipu.
Mulai 2010, lewat website Nobodycorp.orf dan PosterAksi.org, Alit menggunakan media sosial untuk memublikasikan seluruh karyanya. Tujuannya bisa digunakan lebih luas oleh publik.
Semua karya dikumpulkan lewat blog, lalu disebarkan via Facebook, Twitter, dan lainnya. Ia menuliskan semua karya berlisensi Creative Common yang bisa diunduh, digunakan untuk tujuan non komersil.
Jadilah karyanya direproduksi jadi jurnal, buku koleksi, dan sejumlah pameran oleh mahasiswa. Karena mudah diunduh, karyanya digunakan sejumlah gerakan misalnya dalam Karnaval Suara Rakyat Miskin, aksi petani Indramayu, aksi Kamisan, gerakan Papua itu Kita, dan lainnya.
Sebagai desainer poster gerakan, Alit juga bersikap terhadap isu-isu internasional. Salah satunya poster tentang gerakan di Mesir itu bertuliskan “Mubarak, Game Over”.
Ada juga poster bergambar Nawal El Saadawi, seorang aktivis dan sastrawan perempuan Mesir bertuliskan “Tidak Ada Demokrasi tanpa Perempuan.”
Keberpihakan dan perhatian Alit Ambara pada perempuan terlihat di sejumlah karya poster propagandanya. Untuk isu dan peristiwa di dalam negeri, sosok perempuan bergerak dan bersuara terlihat dalam aksi perlawanan petani, peristiwa 1965 yang mengorbankan banyak perempuan tak bersalah, dan poster Bali Tolak Reklamasi dengan grafis seorang perempuan dan penari legong yang melawan.
Alit juga berusaha beradaptasi dengan simbol budaya dalam belasan poster BTR yang sudah banyak direproduksi atau dicetak dalam kaos, poster aksi, dan lainnya selama tiga tahun penolakan rencana reklamasi 700 hektar lautan Teluk Benoa ini. Secara berkelakar ia menyebut judul novel Pramoedya Ananta Toer sebagai favoritnya yakni Gadis Pantai dan Rumah Kaca.
Aroma sejarah dan pelanggaran HAM memang mendominasi karyanya. Pun dalam peristiwa ekonomi yang hangat beberapa tahun lalu, Occupy Wall Street. Alit merespon dengan membuat poster-poster Occupy Jakarta yang memfokuskan ke BEJ (Bursa Efek Jakarta).
“Poster hanya medium. Duduki BEJ berlangsung 3 bulan pada 2011. Kami ya ngobrol dengan satpam, pengusaha di sana tentang mayoritas penduduk Indonesia masih miskin,” ujar pria yang studi S2 sejarah seni rupa di Savannah School of Art and Design, Amerika Serikat ini.
Beberapa poster itu bertuliskan “Serakah itu Salah” dan “Hentikan Kerakusan Korporasi”.
Dalam poster-poster kekerasan 1965 yang familiar dengan istilah Gestok, Alit membuat poster hampir tiap tahun peringatannya. Sepert halnya peringatan kematian Munir, aktivis HAM yang diracun dalam pesawat dan peringatan 1998, era reformasi tergulingnya Suharto.
Upaya merekonstruksi gerakan antikomunisme yang menjadi pembunuhan massal dalam peristiwa Gestok mengeksplorasi kreativitas dan kedalaman desainernya. Misalnya penggunaan grafis silet. Benda ini kerap digunakan untuk memperlihatkan bahwa PKI sangat kejam, menggunakan silet untuk menyiksa. Seperti yang terlihat di film-film wajib tonton anak sekolah buatan Orde Baru untuk membohongi masyarakat.
Oleh Alit, silet ini menjadi simbol rekonstruksi dengan tulisan “Ingatan Ini Tajam, Jenderal.”
Melalui poster, Alit memberikan semangat dan amunisi bersuara untuk sejumlah komunitas kecil yang kemudian menguat seperti Forum Solidaritas untuk Timor Lorosae dan jaringan korban kekerasan HAM di Indonesia. “Awalnya kolase, gambar tempel dan didistribusikan konvensional. Mereka memperbanyak dan menempelkan di tembok atau digunakan dalam aksi,” katanya dalam sebuah diskusi.
Ia tak hanya mendesain poster tapi menyukai terlibat langsung dalam proses dialog dan dinamikanya. Hal ini membuatnya lebih mudah menemukan sudut pandang dan menentukan visualnya. Melalui poster kita bisa melihat sejarah pergolakan dan kekerasan sejak era reformasi sampai kini. Sampai upaya-upaya dan kampanye rekonsiliasi.
Alit tak hanya menyulut sumbu dengan poster yang cocok digunakan saat aksi juga babak selanjutnya seperti mendorong pemerintah mengusut pelanggaran HAM dan pertemuan korban.
“Ketika temu korban Orde Baru, ada berbagi pengalaman keluarga korban peristiwa Trisakti, Aceh, Semanggi, dan lainnya. Bagaimana menyebarkan isu ide temu korban dan memulihkan hak korban ini. Masih berlanju dan terjal perjuangannya walau ganti pemerintahan,” tuturnya.
“Saya optimis banyak anak muda ingin mencari pengetahuan dan memahami dengan cara kreatif,” katanya. Dengan rendah hati ia mengingatkan yang dilakukan Nobodycorp. bukan hal baru karena sudah ada sejak dulu, sebelum kemerdekaan.
Alit tak hanya bernarasi tentang posternya tapi memberikan historival review bagaimanakarya visual sudah dibuat dan digunakan dalam gerakan sejak zaman dulu. Misalnya dengan teknik stensil, karton tebal dilubangi pakai pisaulalu disemprot cat dengan semprotan nyamuk. Ada yang membuat graffiti di tembok-tembok, spanduk, dan lainnya.
Secara visual, seni cukul dan lukisa juga sangat tajam. Misalnya poster Boeng Ajo Boeng yang digerakkan Sukarno yang lelibatkan sejumlah seniman masyur seperti Afandi. Alit yang gemar sejarah berkisah, dalam proses pembuatan poster ini Chairil Anwar masuk ruangan dan diminta isi teks. Ia mengusulkan “Bung Ajo Boeng” itu. Malah disambut tawa oleh rekannya. Alkisah, kalimat itu adalah rayuan pekerja seks memanggil pelanggannya di sebuah area yang banyak ditongkrongi seniman.
Membuat visual kampanye di masa lalu menurutnya bukan sekadar mengisi waktu luang tapi bentuk perjuangan. Karena itu muncul teks-teks propagandis yang sastrawi.
Untuk konteks Bali, Alit diajak mendiskusikan baliho ormas-ormas yang kompak memvisualkan diri dengan senjata mitologis seperti trisula, gada, cakra, dan lainnya. “Saya melihat ini sangat teritorialis, hanya di wilayahnya jadi seperti penguasaan wilayah. Tidak ada perjuangan tertentu. Semua sama menggunakan dasar hitam dan merah,” sebutnya. [b]