Perjuangan tolak reklamasi menggabungkan cara sekala dan niskala.
Kali ini, desa adat yang konsisten menyuarakan aksi tolak reklamasi Teluk Benoa mengadakan penyucian di lima titik mata angin. Semua pemimpin bendesa adat dan perwakilan ForBALI ikut hadir.
Upacara diadakan bertepatan dengan Tilem Sasih Ketiga Sabtu kemarin.
Pasubayan Desa Adat Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa melakukan penolakan reklamasi secara niskala dengan melakukan ritual upacara mapekelem dan nyamleh Kucit Butuan.
Koordinator Pasubayan Wayan Swarsa menjelaskan Ritual dilakukan tersebut adalah suatu bentuk dari harmonisasi antara Bhuana Agung atau alam semesta dengan Bhuana Alit yakni manusia. Ritual tersebut untuk menyelamatkan kawasan suci Teluk Benoa dari ancaman reklamasi.
“Aksi dalam menolak reklamasi kami lakukan secara sekala dan niskala. Dalam hal sekala kami acap kali beraspirasi dengan turun ke jalan bahkan hampir setiap minggu, sedangkan dalam hal niskala kami lakukan dengan aktivitas ritual ini yakni upacara mapekelem dan nyamleh Kucit Butuan,” ujar Wayan Swarsa.
Ritual yang digelar pasubayan diselenggarakan di lima titik suci sesuai dengan arah lima penjuru mata angin. Di masing-masing titik tersebut, upacara dipimpin langsung oleh para pemangku dari Desa Adat didampingi masing-masing Bendesa Adat.
Di titik utara oleh Desa Adat Kepaon, di timur oleh Desa Adat Tanjung Benoa, di titik barat oleh Desa Adat Kelan, di selatan oleh Desa Adat Bualu dan di titik tengah oleh seluruh Desa Adat. Seluruh pembiayaan ritual di masing-masing titik ditanggung langsung oleh desa adat yang bersangkutan.
Selain diadakan di Pura, menariknya upacara tersebut juga digelar di muntig-muntig. Upacara yang diadakan di muntig-muntig atau daratan pasang surut tersebut sekaligus membantah klaim investor yang menyatakan muntig sebagai pendangkalan.
“Tempat kami melakukan upacara mapakelem dan nyamleh kucit butuan ini yaitu di lima titik suci di lima penjuru mata angin termasuk muntig yang berada di kawasan Teluk Benoa. Pelaksanaan upacara di muntig-muntig ini sekaligus membantah klaim investor yang menyatakan muntig sebagai pendangkalan. Muntig adalah daratan pasang surut dan titik-titik yang kami sucikan,” kata Bendesa Adat Kuta tersebut.
Seperti mendapat restu dari semesta, sepanjang dilakukannya prosesi upacara mapekelem dan nyamleh kucit butuan sampai dengan selesai cuaca sangat bersahabat, tidak ada panas terik dan juga tidak dirudung hujan. [b]