Teks Cahya Legawa, Foto Anton Muhajir
Dalam budaya Bali dikenal kata/istilah sukla, yang berarti sesuatu yang masih murni/baru. Semisal buah yang baru dipetik kemudian digunakan dalam persembahyangan, maka buah itu disebut sukla.
Kebalikannya adalah carikan, yaitu sesuatu yang sudah bekas, semisal nasi yang sudah dimakan, sisanya disebut carikan.
Pengertian sukla dalam budaya kemudian meluas. Seperti piring sukla, atau bokoran sukla, gelas sukla, dan sebagaimana yang lainnya. Semisal gelas yang digunakan untuk tempat air suci (tirta), haruslah gelas yang sukla (bukan bekas pakai) agar tidak mencemari kesuciannya. Maka kemudian berbagai hal yang berbau ritual budaya, mestilah mengandung ke-sukla-an.
Namun apakah sukla wajib? Sebagian besar orang mengatakannya wajib, karena kesucian tidak boleh dicemari, dan Anda bisa dimarahi habis-habisan jika menentang konsep ini.
Namun coba tengok kisah berikut:
patram puspam phalam toyam
yo me bhaktya prayacchati
tad aham bhakty-upahrtam
asnami prayatatmanah
“If one offers Me with love and devotion a leaf, a flower, fruit or water, I will accept it.”
– The Bhagavad Gita (9.26)
(Dalam Bhagavad Gita, disebutkan hanya persambahan yang tulus ikhlas, ah… walau aku tak bisa menemukan kata sukla di dalamnya).
Alkisah Nang Olog adalah warga di bawah garis kemiskinan sebagaimana rerata orang-orang di desanya. Hari ini dia dan keluarga akan mengadakan odalan sanggah. Dia tidak punya bokoran indah sebagaimana yang kita lihat dalam acara televisi tentang kebudayaan dan religi di Bali. Nang Olog hanya memiliki sebuah “piring kaca” demikianlah orang Bali tempo dulu menyebutnya, cukup bersih setelah istrinya mencuci piring itu di bantaran sungai kecil yang sudah cukup banyak plastik dan sampah mengalir di sana, dan tak terhitung berapa banyak orang buang hajat di sana. Sumurnya sudah lama setengah mengering karena hujan tak kunjung turun juga, air yang bisa diambil sebisanya digunakan untuk memasak dan diminum, sementara lain-lain mestilah ia memanfaatkan kali itu.
Si istri telah membeli dua biji salak, dan dua biji jeruk dari pasar tadi pagi. Tak mewah memang, bahkan tampak lusuh jika dipandang lebih dekat. Namun itu apa yang bisa dibeli dari uang yang disisihkan oleh mereka. Nang Olog hanyalah buruh tani kasar, kadang dapat kerjaan, kadang tidak, semenjak si empunya sawah sekarang lebih suka menurunkan langsung mesin selip padi ke pemanenan, maka “juru gedig” padi sudah hampir tak dibutuhkan. Dan istrinya sendiri juga buruh kasar di pabrik pembuatan bata tradisional yang juga tidak banyak menghasilkan.
Buah-buah itu ditata apik oleh Nang Olog di atas piring kaca itu. Ketika sore tiba, ia dan keluarga siap bersembahyang. Tiba-tiba ada tamu datang, orang perangkat kecamatan ditemani aparat desa yang datang mensurvei. Mereka datang setahun sekali untuk berbincang-bincang dan mendata warga miskin. Nang Olog menerima tamunya dengan senyum dan penuh ramah, ia meminta sang istri menghidangkan buah tadi dan beberapa gelas air putih. Mereka berbincang sebentar di “jineng” tua yang sudah lama kosong melompong tanpa tanda kemakmuran. Hingga matahari terbenam barulah si perangkat kecamatan dan aparat desa meninggalkan gubuk Nang Olog dalam kesunyian.
Di atas piring hanya tersisa dua buah dari empat yang dihidangkan untuk tamu. Nang Olog dan istri kemudian mulai odalan sederhananya, dalam kegelapan petang karena tiada cahaya buatan bertenaga listrik yang ada di kemiskinannya. Tiada pamangku atau pun orang yang disucikan memimpin persembahyangannya, tidak sebagaimana yang banyak masyarakat berada lakukan. Tiada juga bokoran indah yang sukla, apalagi buah yang dihaturkannya sudah menjadi carikan si tamu. Namun itulah segala yang terbaik yang bisa dihaturkan oleh Nang Olog dan keluarga.
Nang Olog bukan orang modern yang mengerti konsep reuse, reform atau pun recycle, namun keterbatasannya membuat ia melakukan semua itu. Sehingga walau sering diolok-olok ditetangga yang berada, ia tetap diam, Nang Olog sadar ia sama sekali tidak punya barang atau benda sukla di gubuk kecilnya, tidak punya untuk dipersembahkan pada Tuhan, walau acap kali para ahli agama yang ia dengar dan lihat di televisi hitam putih di balai banjar mengatakan agar menggunakan persembahan yang sukla sebagai tanda kemurnian rasa bhakti sang umat. Hatinya sering tersayat, seolah sukla adalah barang yang wajib dimiliki oleh setiap umat berbudi dan berbhakti, sekali lagi ia menengok dalam bayang gubuknya, tidak ada apa pun juga.
Ah…, mungkin Nang Olog boleh tidak memiliki apa pun yang sukla untuk dipajang di hadapan Tuhan. Namun setidaknya ia masih punya hati yang sukla, yang belum menjadi jamahan dan carikan keserakahan. Kesedihannya mungkin dikarenakan karena budaya yang bertopeng agama hanya memandang sebelah mata pada ketidakberdayaan yang tak berpunya.
Masalah sukla dan carikan ini hanya masalah kepatutan dan kepantasan saja, tidak usah disangkutpautkan dengan masalah ritual keagamaan.
Kalau kita merasa pantas menggunakan peralatan rumah sehari-hari (piring, mangkuk dsb) untuk tempat persembahan, kenapa tidak dipakai saja? Sama seperti ketika kita menghidangkan makanan bagi umat muslim, apakah kita akan menggunakan perabotan sukla hanya karena perabotan kita semua pernah digunakan untuk mengolah daging babi? Pun ketika seorang “panjak” akan memberikan jot-an kepada seorang anak agung, apakah diberikan buah carikan dari sisa odalan ataukah diberikan buah baru yang sama sekali tidak dipergunakan dalam odalan?
Kemudian digambarkan bahwa kemiskinan membuat seseorang menggunakan peralatan yang tidak sukla untuk beribadah. Tapi bagaimana jika kemudian orang miskin tersebut mampu untuk membeli peralatan sukla, apakah peralatan carikan terdahulu masih digunakan, ataukah dia kemudian berpaling ke peralatan baru yang masih sukla?
Keadaanlah yang memaksa orang kurang mampu untuk menggunakan peralatan seadanya untuk beribadah, bukan karena tingkat pemahaman agama yang tinggi.
Kemudian juga dikatakan bahwa nang Olog masih memiliki hati nurani yang sukla dan bebas dari keserakah. Saya rasa ini tidak berhubungan sama sekali dengan topik bahasan tulisan ini. Anda seolah-olah menegaskan bahwa orang miskin memiliki hati nurani yang lebih baik dibandingkan orang mampu.
Jadi analogi seperti diatas sama sekali gak nyambung dengan pokok bahasan sukla atau carikan yang menjadi tema kali ini.
pembaca balebengong,
admin telah mengganti judul artikel ini. Sebelumnya “Ajaran Hindu tentang Sukla dan Carikan”.
Kami merevisinya karena artikel ini bukan soal ajaran Hindu tapi mengupas kebiasaan umat Hindu. Terima kasih banyak, mari mendiskusikannya.
Saya ndak terlalu mengerti masalah beginian. Tapi semua orang pasti tau apa yang seharusnya dihaturkan kepada Tuhannya. Selama itu dilakukan dengan ikhlas.
Saya percaya, kalau Nang Olog punya lebih banyak harta dibandingkan yang sekarang dia punya, pasti dia akan menghaturkan lebih besar lagi kepadaNya. Itu sudah manusiawi. Ibarat bersedekah, kalau kita punya banyak harta, kita pasti punya keinginan untuk bersedekah lebih besar. Ndak masalah tho, selama dilakukan dengan ikhlas?
Btw, memangnya masih ada ya, seorang berada mengolok-olok seorang miskin seperti Nang Olog di atas? Duh, sinetron banget deh. Hehe!
Buat admin, kalau melakukan perubahan terhadap tulisan, tolong dicantumkan pada artikelnya donk, entah sebagai footnote atau apalah bentuknya. Bukan sebagai komentar. 🙂
saya setuju dengan anda
Apa yang pantas dipersembahkan kepada Tuhan kalau semua benda yang ada didunia ini adalah milik Nya???
Besarnya ritual persembahan, hanyalah untuk memuaskan hati kita sendiri. Saat kita merasa puas dengan kemewahan ritual yang kita persembahkan, maka dengan demikian kitapun akan merasa bahwa Tuhan telah ikut senang. Tapi tahukah kita bahwa sebenarnya Tuhan tidak begitu peduli dengan semua itu?
Tuhan tak pernah minta disembah apalagi dipersembahkan sesuatu dari dunia ini. Kalaupun ada yang pantas dipersembahkan kepada Nya, maka itu hanyalah pengorbanan atas dasar cinta, ketulusan dan kasih sayang. Karena itu… tanyakanlah pada hatimu yang paling dalam… masihkah penting membicarakan sukla dan carikan ketika kita berbicara tentang Tuhan???
Ada banyak konsep dan pandangan tentang hal ini, baik dalam prospektif agama maupun budaya, serta filsafat yang menaunginya.
Setiap orang dapat menyuarakan keragaman ini dalam sebentuk keharmonisan, saya rasa itulah sesuatu yang indah yang dapat kita wujudkan bersama.
Sukla tidak ada kaitannya dengan bokor indah atau berapa biji buahnya. Dalam bhagavad gita dan veda dijelaskan betapa pentingnya makan makanan yang telah disucikan, dan orang yang makan makanan yang belum dipersembahkan sama seperti pencuri. Tujuan kita menghaturkan makanan / persembahan (sukla) bukan untuk Tuhan, Tuhan tidak makan, tapi untuk kita supaya makanan itu suci. Sukla itu tak tercemari, karena Tuhan itu (menurut manusia) sifatnya tak tercemar.
Nang Olog karena telah menghaturkan buah itu kepada tamu, tidak perlu lagi menghaturkan buah itu kepada Tuhan. Karena mempersembahkan kepada tamu adalah Athiti puja. Kalau Nang Olog mau mempersembahkan kepada Tuhan juga (Dewa Puja) harusnya dia bisa memisahkan paling tidak sepotong buah, walaupun kecil untuk dihaturkan. Kan nggak repot dan nggak harus lebay.