Bendesa Adat Munduk dan Tim 9 Masyarakat Adat Dalem Tamblingan (MADT) yang menaungi wilayah Catur Desa (Desa Munduk, Desa Gobleg, Desa Gesing dan Desa Umajero) mendatangi Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali. Ada apa?
Waktu menunjukkan pukul 10.00 Wita, para warga dari Catur Desa di Kecamatan Banjar, Buleleng ini menempuh perjalanan selama 2,5 jam agar tiba di Kantor MDA Bali, pada Senin (18/03). Mengenakan pakaian adat madya, sekitar 60 orang warga menanti selama 30 menit lebih agar dapat menyampaikan surat tentang penolakan Surat Keputusan Pemekaran Wilayah Tamblingan.
SK yang dimaksud yaitu SK MUDP (Majelis Utama Desa Pakraman) No. 031/Kpts/MUDP Bali/XII/2012 tentang Perubahan atas Keputusan MUDP Bali no. 005/Kpts/MDP Bali/V/2008 tentang pemekaran Desa Pakraman Tamblingan, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng.
Hampir 20 tahun lebih, MADT mengurus polemik pemekaran ini. Putu Ardana, Ketua Tim 9 MADT mengungkapkan ada dua surat yang ingin diserahkan kepada MDA Bali. Surat pertama dari Desa Adat Munduk dan MADT. Isinya, warga meminta dengan hormat agar SK pemekaran banjar Tamblingan tersebut segera dicabut.
Surat kedua, dari I Nengah Punia yang merupakan inisiator pemekaran Desa Adat Tamblingan. Informasi di dalam rilis yang dibagikan warga, Punia telah menyesali untuk inisiasi pemekaran wilayah. Sehingga, isi surat Punia berkaitan dengan pembatalan pemekaran dan pencabutan SK Pemekaran yang masih berlaku. “Isi kedua surat nyaris sama, meminta MDA agar SK itu segera dicabut karena alasan-alasan kondusifitas dan keamanan wilayah,” ujar Ardana.
Ardana menjelaskan, SK Pemekaran pertama yang terbit tahun 2008 sudah dibawa perkaranya hingga ke Mahkamah Agung, hasilnya warga menang. Namun, SK itu tidak dicabut, justru diganti dengan SK baru di tahun 2012 oleh MDA yang kala itu masih bernama MUDP. “Kita terus berjuang agar SK dicabut dengan berbagai jalan kami tempuh. Kami sudah ketemu DPRD Provinsi, Gubernur dan Pemkab,” jelasnya. Warga menghadap Gubernur Bali pada 8 Juni 2020.
Jauh sebelum Gubernur Bali, pada tanggal 1 Februari 2013 warga telah bertemu Bupati Buleleng. Pertemuan itu terjadi atas permintaan dari warga Desa Adat Munduk dan Masyarakat Adat Dalem Tamblingan. Atas permintaan itu rapat dengan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah Buleleng dan Bupati Buleleng pun berlangsung.
Rapat tersebut menyimpulkan bahwa SK pemekaran tersebut cacat hukum dan batal demi hukum. Selain itu, forum tersebut menyepakati agar Bupati bersurat kepada MUDP Bali agar mengembalikan posisi Tamblingan sebagai banjar adat. MUDP membalas surat bupati tersebut sebagai tindakan intervensi.
Berita acara rapat di rumah jabatan bupati tersebut ditandatangani oleh Majelis Alit Kecamatan Banjar, Majelis Madya Kabupaten Buleleng, Camat Banjar, Sekda Buleleng, Kapolres Buleleng, Dandim Buleleng, Ketua DPRD Buleleng dan Bupati Buleleng.
Nama Desa Adat Tamblingan kemudian dimasukkan dalam lampiran Perda Nomor 4 tahun 2019 tentang Desa Adat, atas usulan MUDP. Pasca pertemuan warga dengan Gubernur Bali, Gubernur Bali memerintahkan Kepala Dinas Pemajuan Masyarakat Adat (PMA) agar bekerja sama dengan DPRD Bali menghilangkan nama Desa Adat Tamblingan dari lampiran perda. Namun, hingga saat ini belum ada tindak lanjutnya sama sekali.
Beberapa poin penolakan didasari beberapa alasan, seperti sejarah panjang Masyarakat Adat Dalem Tamblingan, wilayah Banjar Tamblingan secara anatomi wilayah adalah bagian ‘kepala’. “Jadi kalau ini dijadikan desa baru, itu implikasi sosial dan spiritualnya akan rumit. Karena kita menyebut diri sudah Catur Desa atau empat desa,” ujar Ardana. Hal kedua, bahwa tidak semua warga menginginkan pemekaran. Menurut penjelasan Ardana, pemekaran hanya keinginan beberapa warga yang bermukim di Tamblingan. Ketiga, secara spiritual, sepanjang SK ini masih berlaku Ardana menuturkan terjadi ketidaknyamanan secara sosial.
Selama hampir 30 menit warga menunggu di area parkir Kantor MDA Bali, akhirnya mereka dipersilahkan masuk oleh Staf MDA Bali. Selama 2 jam di ruangan, Putu Ardana dan 15 orang warga yang diperbolehkan mewakili audiensi menjelaskan dua poin penting. Menurut Ardana, MDA tidak memberi jawaban tegas tentang pencabutan SK. Meskipun, pihak MDA menangkap bahwa secara substansi, wilayah tersebut tidak layak menjadi pemekaran desa adat. Secara formil, SK Pemekaran yang sudah masuk dalam Perda tersebut harus melalui proses panjang jika ingin dicabut. MDA Bali mengusulkan pada warga untuk mengajukan semacam peninjauan kembali (PK) kepada MDA Bali. Ardana berharap dalam minggu ini dapat mengajukan PK tersebut.
Saat ditemui pasca audiensi, Petajuh Bendesa Agung Bidang Kelembagaan dan Sumber Daya Manusia (SDM), I Made Wena menjelaskan hasil pertemuan ini akan diteruskan kepada pimpinan. “Kita terima yang bersangkutan, saya ini hanya petajuh, kita terima nanit akan kita teruskan pada rapat pengurus harian kepada pimpinan, gimana nanti tindak lanjutnya,” jelas Wena. Wena melanjutkan, lebih rinci akan menyikapi hasil temuan dengan warha pada saat pleno.
Keputusan Majelis Utama Desa Adat (MDA) Bali Nomor 050/Kep/Psm-1/MDA Bali/III/2006 tentang Hasil-hasil Pesamuhan Agung I MDA, telah mengatur beberapa syarat pemekaran desa di Bali. Syarat-syarat tersebut meliputi:
- Secara geografis desa adat tersebut memang layak dimekarkan;
- Jumlah penduduk sekurang-kurangnya 250 kepala keluarga (KK);
- Pemekaran dibicarakan secara kekeluargaan (musyawarah mufakat) dan mendapat persetujuan desa adat induk;
- Pemekaran didasarkan atas semangat ngandap kasor (tanpa menuntut segala sesuatu dari desa adat induk);
- Memiliki wilayah dengan batas-batas yang jelas, sehingga tidak menyebabkan adanya krama desa berada pada posisi saling seluk;
- Telah memiliki setra, pura kahyangan tiga/ kahyangan desa, atau memiliki tanah dengan luas tertentu, sebagai tepat mendirikan pura dimaksud;
- Pura kahyangan tiga sebagaimana dimaksud dalam butir 6, harus memiliki tanah pelaba pura;
- Pemekaran dianggap resmi setelah ada surat keputusan pemekaran yang dikeluarkan oleh MDA Bali, atas dasar usulan pemekaran dari desa adat bersangkutan, diketahui dan disetujui oleh MDA Kecamatan dan MDA Kabupaten/Kota, serta diketahui oleh Bupati/Walikota setempat;
- Pengakuan oleh pemerintahan dalam bentuk pencatatan, pemberian bantuan, pembinaan, dan lai-lain baru dapat dilakukan kepada desa adat tersebut berdasarkan surat keputusan MDA Bali.
Sederet syarat-syarat tertulis tersebut wajib dipenuhi terlebih dahulu bagi pihak yang hendak diakui sebagai Desa Adat atau Kesatuan Masyarakat Hukum Adat (KMHA) di Bali.
situs mahjong