Ada banyak start up digital yang tumbuh di daerah-daerah, termasuk di Bali. Namun, Bali memiliki tantangan untuk mengembangkan usaha start up digital secara konsisten. Nilai minus ini diakui salah satu pendiri perusahaan yang bergerak di bidang software developer berbasis Artificial Intelligence (AI) dan Internet of Things (IoT).
Kondisi ini dipaparkan oleh Edy Suardiyana, pendiri BIT House pada kami ketika #kantorbergerak ke BIT House. “Siapa start up digital dari Bali yang jadi unicorn dan yang menonjol dikenal di Bali? Ada nggak yang kalian kenal?”
Pertanyaan itu cukup membuat kami tertahan sejenak. Mengingat-ingat nama start up digital yang masuk di top mind, tapi ternyata tak satu pun dari Bali. Sebagai pengembang start up digital, Edy menceritakan memang Bali memiliki tantangan yang sulit sebagai tempat mengembangkan industri digital.
Ia mencontohkan usaha temannya, salah satu start up kesehatan berbasis digital yang dikembangkan selama 2 tahun di Bali tapi tak kunjung berkembang. Namun, begitu pindah keluar Bali, bisa berkembang di 20 cabang dan dikenal di Jogjakarta dan Jakarta. Lalu rintangan apa yang menyebabkan begitu susahnya mengembangkan industri digital di Bali?
Edy mempelajari, bahwa Bali memiliki talenta sumber daya manusia yang bagus di bidang digital. Namun satu sisi, ia menemukan kebiasaan masyarakat yang malu-malu memulai usaha menjadi sumber kesulitan ini. Ia melihat ada karakter orang Bali takut untuk mencoba karena tak ada jaminan berhasil. Menurutnya akan lebih mudah diikuti apabila sudah ada contoh usaha yang sukses.
Belajar Industri Digital Bersama BIT House
Karakter yang menantang ini justru memotivasi Edy terus mengembangkan BIT House di Bali. Sejak 2019 BIT House dikembangkan, ia masih kesulitan menemukan talenta website programmer. Ia sering menargetkan siswa dan mahasiswa jurusan IT di Bali. Namun, seringkali pengetahuan lulusan pendidikan itu tak memadai dengan kebutuhan perusahaannya.
Mengakali kondisi itu, Edy membuka sebuah pelatihan tentang data analitik dan web desain secara gratis. Dibuka secara berkala dengan materi yang disesuaikan kebutuhan perusahaannya. Ia mencoba membuka kelas pelatihan data analitik dan web desain untuk 10 orang selama 1 minggu. Hasilnya, peserta yang bertahan hingga akhir sesi hanya 1 orang.
“Kami buka kelas itu karena kita butuh programmer. Kita memberikan materi standar yang kita butuhkan. Semua bentuk materi sudah disiapkan. Padahal kalau sudah matang, bisa kami ajak dan berikan proyek pekerjaan. Namun tidak menemukan peminat juga,” Edy menyayangkan.
Hingga saat ini BIT House terus mencari talenta-talenta programmer muda Bali. Sekaligus memberi kesempatan mengisi kemampuan seperti dibutuhkan proyek-proyeknya di BIT House. BIT House menggunakan sistem Enterprise dan menerima proyek sesuai permintaan perusahaan.
Sistem Enterprise menggunakan sistem perangkat lunak modular yang dirancang untuk mengintegrasikan area fungsional utama dari proses bisnis perusahaan ke dalam satu sistem yang terpadu. BIT House telah berpengalaman dalam merancang dan membangun Enterprise System sesuai dengan kebutuhan. Ini yang membuat BIT House terus bernafas.
“Kami punya tim RnD (research and development) yang biasanya hanya dimiliki industri besar. Tapi menurut saya tim RnD menjadi poin mengembangkan industri karena kalau ada tagihan pelanggan yang aneh-aneh RnD ini yang mengkualifikasi mampu atau tidaknya mengerjakan proyek,” kata Edy.
Memenuhi kebutuhan pelanggan yang semakin eksklusif, membuatnya terbiasa mengolah ide menjadi visual digital. Misalkan, mendigitalisasi cerita dan sejarah menggunakan barcode akan penting di era serba online.
“Sempat tercetus untuk mendigitalisasi sejarah perang puputan di Lapangan Puputan, Denpasar. Tapi tak terealisasi karena pandemi. Virtual reality juga dipasang di bandara. Untuk para tamu yang datang di Bali melihat destinasi di tempat wisata. Ada banyak ide,” cetus Edy.
Ide-ide yang tercetus tak luput dari pengalaman Edy ketika mengenyam pendidikan di Inggris. Banyak inovasi digital yang belum ia temukan di Bali. Ia melihat peluang mengembangkan industri digital ini di Bali. Meski ia menemukan tantangan besar.
Menurut Edy ketergantungan pada pariwisata memiliki dampak kurang bagus. Sehingga perlu mengembangkan sumber alternatif seperti bisnis digital. Peluang ini membawa Edy untuk semangat mengembangkan agar Bali menjadi salah satu pusat perkembangan teknologi juga.
“Kan sekarang ini pusatnya ada di pulau Jawa. Talent digital yang ada di Bali ini sebenarnya bagus-bagus banget. Cuma kurang diarahkan. Jadi seolah-olah talent yang bagus itu cuma datang dari kota-kota besar di Pulau Jawa,” paparnya
Bagi Edy, digitalisasi bisa dikembangkan dari ide-ide berkiblat untuk kepentingan publik. Misalkan membawa respon/laporan warga ketika penanganan bencana dalam bentuk digital sehingga bisa mempercepat penanganan. Ia masih melihat khususnya di Bali ketika ada laporan atau keluhan warga yang tahu kejadian tidak tahu harus melapor kemana. “Saya punya cita-cita, coding masuk banjar,” harapnya.