Pada Mei ini, Architects Under Big 3 (AUB3) memasuki edisi pertamanya di tahun ketiga.
Di edisi #25 ini, arsitek muda kelahiran Batam, Gilbert Yohannes Voerman, membawakan tema “Mimpi Seorang Arsitek”. Mengambil lokasi di taman, Gilbert memulai diskusi dengan video anak kecil menggambarkan rumah idamannya.
Hidup di lingkungan penuh keberagaman menjadi tantangan bagi arsitek untuk terjun ke masyarakat. Bermimpi adalah salah satu cara Gilbert untuk menjawabnya.
Menurut Gilbert, arsitek membantu seseorang menciptakan ruang hidup dan ruang aktivitas. Arsitek itu tidak bisa diam. Selalu bergerak. Arsitek harus berpikir jujur.
Oleh karena itu, mengapa arsitek tidak mengembangkan sayap membantu masyarakat di sekitarnya. Lalu muncul pertanyaan, bagaimana menikmati arsitektur? Arsitektur tidak hanya tentang bangunan. Desainer yang berkutat dalam konstruksi juga bisa terlibat dalam masyarakat di mana arsitek bebas berekspresi.
Gilbert lalu berbagi cerita tentang pengalamannya. Ketika Gilbert masih berada di Bandung, dia bergabung dengan WEG (2010). Bersama WEG ini Gilbert mengenalkan kota Bandung melalui bangunan tua. Bangunan tua menjadi tempat yang bisa dikunjungi dan jadi tempat bermain.
Gilbert melanjutkan ceritanya ketika tinggal di Solo (2010-2011). Bersama komunitas Wedangan, dia berusaha mengangkat kembali Kampung Gandhekan sebagai kampung pengrajin sandal kulit. Pada awalnya sangat susah. Pola pikir masyarakat susah diubah. Namun, dengan meningkatkan tingkat ekonomi warga terlebih dahulu, pembangunan kampung secara arsitektural bisa dilakukan.
Acara dilanjutkan dengan sesi tanya jawab. Penanya pertama adalah Jon yang pernah tinggal di Batam. Jon bertanya bagaimana Gilbert sebagai orang Batam melihat Batam itu sendiri. Saat ini Batam makin berkembang menjadi “kota ruko”.
Menurut Gilbert belum ada arsitek yang dapat masuk dan mengubah pola pikir masyarakat. Bahkan, pemerintah pun tidak bisa mengontrol. Hal ini diperkuat budaya yang sudah sangat melekat sehingga memengaruhi klien. “Kita sebagai arsitek harusnya dapat mendesain yang sesuai fungsi dan dapat mengarahkan klien,” ujarnya.
Penanya kedua adalah Alco. Dia kembali menanyakan tentang kota Batam sebagai kota ruko dan mengapa Gilbert tidak mengembangkan kampung-kampung di Batam.
Gilbert pun semakin menegaskan bahwa Batam tidak memiliki keteraturan dalam pembangunan. Dan, hal itu harus diatasi. Gilbert merasa membutuhkan pembelajaran di kota lain sebelum akhirnya kembali ke Batam dan mengembangkannya.
Penanya selanjutnya adalah Reno, mahasiswa dari Padang. Reno berkata bahwa di Padang juga terdapat sandal “Datuk” walaupun belum terkenal hingga ke luar Padang. Reno menanyakan bagaimana cara dia sebagai mahasiswa arsitektur dapat membantu mengembangkan tanpa terkesan menggurui.
Gilbert menjawab dengan ceritanya selama di Kampung Gandhekan. Untuk menghilangkan kesan menggurui, kita harus menghilangkan embel-embel sebagai arsitek dan berbaur dengan masyarakat dan mengikuti prosesnya dari awal.
Penanya terakhir adalah Evan yang menanyakan tentang kegiatan sukarela versus kehidupan nyata. Jadi, walaupun sebagai voluntir tetap dapat hidup layak. Gilbert pun menjawab bahwa kita sebagai arsitek harus dapat mampu meletakkan mental arsitek sesuai pada tempatnya. Jangan pernah menganggap itu sama rata dan jangan kaku karena arsitek itu harus mempunyai karakter.
Gilbert menutup ceritanya dengan menceritakan keinginannya. Selama Gilbert berada di Bali, dia melakukan pembelajaran terus – menerus dan ingin berbagi dengan apa yang dia miliki sebagai seorang arsitek di masyarakat Bali. [b]
i support you Gilbert 😀
that’s great bro…keep spirit and just go a head….salam hangat dari Batam….semoga Batam juga bisa mencicipi impian seoarang arsitek muda……