Oleh Swastinah Atmodjo
Satu bale subak abian (subah untuk lahan kering) berdiri kokoh di atas tanah seluas 10 are di Desa Kiadan, dengan areal parkir yang cukup luas. Bangunannya tampak unik karena hampir keseluruhan bagiannya terbuat dari material bambu. Pun dengan meja kursi yang disusun berderet.
Bale tersebut bukan saja untuk pertemuan para anggota subak, melainkan juga ditata sebagai tempat menjamu wisatawan yang berwisata keliling Kiadan. Pada bagian depan ditempatkan satu tungku dengan kayu bakar yang membara, dipergunakan membuat kopi look (dibaca lok) atau racikan kopi rebus. Rasanya sangat berbeda dengan seduhan kopi pada umumnya, lebih kental dan aroma menggugah selera. Setiap tamu bebas menikmati kopi tersebut ditambah suguhan jajanan tradisional Bali. Sangat cocok untuk mengusir hawa dingin yang hampir sepanjang hari menyelimuti desa di ketinggian 1040 dari atas permukaan laut tersebut.
Termasuk wilayah Plaga, Badung, jarak tempuhnya hanya sekitar dua jam dari destinasi wisata utama Kuta. Akses jalannya sudah cukup bagus, beraspal dan bisa dilalui mobil maupun sepeda motor. “Selamat datang di Kiadan, silahkan menikmati kopi khas desa kami. Kalau di hotel ini welcome drink-nya,” Nyoman Juta, Kelian Subak Kiadan dan sejumlah warga menyapa ramah kepada sejumlah wisatawan yang berkunjung pekan lalu.
Menurut Wayan Juta, Kiadan dihuni 200 kepala keluarga (KK) dengan 800 jiwa. Pertanian menjadi pekerjaan utama penduduk setempat. Secara turun temurun Kiadan menjadi salah satu sentra produsen pisang susu dan jenis lainnya. Juga dikenal sebagai penghasil bambu, labu siam dan kopi.
Masyarakat, lanjut Wayan Juta, mendapat penghasilan dari hasil jual beli produk saja. Otomatis, dengan harga yang jauh dari standar pasar ketika musim panen raya. Pemeliharaan pun kurang mendapat perhatian yang salah satunya menyebabkan terputusnya produksi pisang susu. Beberapa tahun lalu, kata wayan Juta, warga tergiur menanam pisang cavendis yang ternyata membawa dan menyebarkan virus layu batang.
Tapi dengan pendampingan Yayasan Wisnu sejak enam tahun lalu, Kiadan menatap masa depan lebih baik dengan mengembangkan potensinya sebagai obyek wisata. Hawa sejuk, lingkungan yang tenang dan asri sudah dilirik banyak wisatawan baik domestik maupun mancanegara.
Wisata andalannya adalah berjalan keliling desa (tracking) melalui perkebunan kopi, pemukiman penduduk, sungai, dan sebagainya. Bagi pengunjung yang tidak punya banyak waktu, bisa memilih jarak pendek saja. Sebaliknya, bila berkesempatan lebih lama bisa menjajal jogging track yang panjang dengan jarak sekitar empat kilometer
Bagi wisatawan yang tiba di Kiadan menjelang siang, kata seorang warga Kiadan yang dipercaya menjadi salah satu guide lokal, Gede Wirata, otomatis bisa menjajal track pendek saja. Usai mendapat jamuan kopi look dan jajan bali, tamu diberi dua opsi untuk menikmati makan siang sebelum atau setelah berjalan-jalan.
Tentu saja dengan suguhan menu special hasil olahan warga setempat diantaranya urap pakis (daun paku), urap daun singkong, lodeh labu siam, sayur daun labu siam, abon ayam, dadar jagung, sayur ares (gedebong pisang) dan lainnya. Bahan-bahan tersebut dipetik dari kebun warga. Terkait hal ini, satu dapur dipersiapkan di salah satu bagian bale subak dan tamu bisa menyaksikan proses masak memasak.
Selain makanan, jalur tracking Kiadan cukup mengesankan. Setiap mata bisa memandang tanaman labu siam atau jipang yang merambat di areal pemukiman penduduk, memenuhi tegalan maupun pinggiran jalan. Terlebih ketika musim berbuah, yang bergelantungan dalam jumlah ribuan. Harga jualnya sangatlah murah, hanya Rp 12.000 untuk 200 biji. Setiap keluarga rata-rata mempunya 10 are yang ditanami labu siam dan biasanya memanen seminggu sekali dengan jumlah sampai 1500 biji.
Jalur berikutnya adalah areal perkebunan kopi. Desa ini memilki 215 Ha kopi jenis Arabica dan Robusta. Ketika musim bunga, semerbak aromanya mampu membius setiap pengunjung. Dan ketika masa panen tiba, bagi yang berkenan bisa turut membantu memetik buah kopi.
Usia produksi tanaman kopi tersebut hingga 30 tahun. Masa panen berlangsung tiga bulan, setiap Juni – Agustus. Untuk satu hektar lahan, lanjut Gede Wirata, mampu menghasilkan 15 – 30 ton kopi petik merah (masak).
Ditambahkan Wirata, siklus hidup tanaman kopi akan menjadi paket wisata tersendiri semisal musim berbunga, masa pemeliharaan, waktu panen, dan pengolahan. Pada masa pemeliharaan, guide akan memperlihatkan aktivitas warga yang secara rutin menyiangi kebun. Sedangkan saat pengolahan dimulai dari pengeringan, penggilingan hingga pengemasan.
Dari kebun lain yang tak kalah menarik adalah tanaman bambu. Jenisnya beraneka macam mulai dari petung (bambu besar yang biasa untuk tiang dan tahan hingga puluhan tahun) sampai bambu dengan ukuran terkecil. Ke depan, warga sudah bersiap untuk mengolah bahan bambu menjadi barang bermutu seperti meja, kursi, tempat tisu, gedhek, dan sebagainya.
Pemandangan lainnya adalah aneka jenis tanaman pisang di sekitar pemukiman. Sebelum terserang virus, tegas Wirata, jenis pisang yang dihasilkan Kiadan sangat banyak. Menurut dia, sudah ada keinginan untuk membangkitkan kembali jenis pisang lokal dan ditindaklanjuti dengan pengolahan paskapanen menjadi selai, keripik atau makanan lain. “Sangat banyak ide yang muncul dan warga sangat berharap itu semua bisa terlaksana. Selain meningkatkan pendapatan tentunya juga bisa dijadikan tambahan daya tarik untuk wisatawan,” urai Wirata.
Bagi pengunjung yang kurang puas sehari di Kiadan, ada pilihan untuk bermalam. Saat sekarang sudah tersedia wisma sederhana, memanfaatkan rumah penduduk. Tarifnya cukup Rp 100.000 permalam. Atau bagi yang memilih lebih menyatu dengan alam, terdapat areal lapang untuk mendirikan tenda. Paket wisata dengan bandrol US$ 70 perorang juga sudah ditawarkan. Ini termasuk penginapan, jogging track, souvenir dan konsumsi. [b]