Kekerasan demi kekerasan terus menerus melanda Bali.
Beragam persoalan menjadi pemicu. Dari yang remeh temeh gara-gara saling pandang antarpemuda sampai perebutan tanah kuburan. Namun kekerasan tesebut selalu saja melibatkan kelompok baik antarbanjar maupun antardesa adat.
Memang manusia Bali dalam rentang sejarahnya sangat mudah terpancing melakukan tindakan kekerasan. Korbanya tidak saja harta benda melainkan juga jiwa manusia. Bahkan manusia Bali menjadi sosok yang bisa sangat kejam meskipun dengan saudara sekalipun. Lantas apa sebenarnya akar kekerasan manusia Bali?
Salah satu artikel Buku “The Indonesian Killings, Pembantaian PKI di Jawa dan Bali 1965-1966” dengan Editor Robert Cribb, menguraikan gambaran betapa beringasnya manusia Bali dalam melakukan kekerasan. Buku ini memuat pernyataan Komandan RPKAD Sarwo Edhi, yang pasukannya tiba pada akhir Desember 1965. “Di Jawa kami harus menghasut penduduk untuk membantai orang-orang komunis. Di Bali kami harus menahan mereka, untuk memastikan bahwa mereka tidak bertindak terlalu jauh,” tulis buku itu.
Catatan lain menyebutkan pembantaian manusia komunis di Bali adalah pembantaian terbesar abad 20. Bahkan tidak ditemukan proporsi lebih tajam dari pembantaian ini sepanjang sejarah bangsa Indonesia atau bahkan Asia Tenggara. Proporsi yang meliputi besarnya jumlah korban dalam kecilnya wilayah pulau Bali dan dalam tempo pembantaian sangat singkat.
Tidak ada yang tahu pasti berapa jumlah korban pembantaian itu, khususnya di Bali yang memang secara proporsi paling besar. Perkiraan jumlah paling rendah adalah 40.000 dan tertinggi adalah 100.000. Soe Hok Gie memberikan angka 80.000 sebagai perkiraan paling konservatif. Pembantaian yang begitu besar itu terjadi hanya dalam kurun waktu minggu saja.
Kekerasan yang dilakukan manusia Bali terus berlangsung dan didominasi konflik-konflik adat. Banyak peneliti mengatakan bahwa sesungguhnya kekerasan-kekerasan yang berbau politik di Bali juga bersumber dari konflik-konflik adat. Termasuk kekerasan ketika pembantaian manusia komunis yang disebutkan berakar pada konflik antar Puri-Puri di Bali.
Narsisme
Hingga kini kekerasan-kekerasan di Bali didominasi kepentingan kelompok-kelompok dalam masyarakat adat. Meskipun ada pula yang sebenarnya merupakan konflik pribadi tetapi tetap menggunakan kendaraan kelompok desa adat atau banjar adat.
Mengapa manusia cenderung menggunakan kekerasan ketika berada dalam kelompok seperti desa adat atau banjar di Bali?
Erich Fromm dalam bukunya “Akar Kekerasan” (2008) menyinggung adanya agresi dan kaitanya dengan narsisisme. Orang yang mempunyai narsistik tinggi merasa sangat perlu mempertahankan citra diri. Jika citra diri itu terancam, mereka akan bereaksi dengan kemarahan amat sangat, dengan atau tanpa memperlihatkannya atau tanpa menyadarinya.
Adapun pada narsisme kelompok, yang menjadi objek adalah kelompok tersebut. Dikatakan bahwa narsisme kelompok merupakan salah satu sumber utama keagresifan manusia. Bila pelecehan simbol narsisme kelompok dilakukan kelompok lain, maka reaksi kemarahan sedemikian besar akan terjadi bahkan sangat mendukung kebijakan perang yang dilontarkan pemimpinnya.
Dalam kasus konflik memperebutkan tanah kuburan, narsisme kelompok sangat kental terlihat. Kuburan merupakan bagian harta milik desa adat tetapi bukan dalam makna ekonomi. Berbeda halnya dengan tanah milik desa adat lainnya yang bisa memiliki nilai ekonomi sehingga kepentingan ekonomi menjadi demikian kuat. Kuburan hanyalah memiliki makna sosial dan religius yang penggunaannya sebenarnya bisa dilakukan bersama-sama.
Apalagi tradisi memperlakukan jenazah di Bali adalah dengan pengabenan bukan penguburan yang memerlukan ruang fisik tertentu. Karena itulah semata-mata narsisme kelompok saja yang memicu konflik dalam kasus perebutan tanah kuburan. Maka, kunci penyelesaiannya adalah menurunkan kadar narsisme masing-masing kelompok.
Tekanan
Bali dengan perkembangan perekenomiannya menjelma menjadi wilayah yang masyarakatnya memasuki era modern bahkan post modern. Hal ini ditandai dengan tidak diakuinya dengan tulus ikatan-ikatan sosial yang ada. Sementara ikatan sosial berupa aturan-aturan adat masih dilaksanakan dengan begitu ketatnya lengkap dengan sanksi-sanksi yang mengikat.
Ketakutan akan lunturnya budaya Bali yang selama ini menjadi “barang dagangan” bisnis pariwisata terus menerus disebar agen-agen kekuasaan negara melalui media massa. Ketakutan ini mendorong semangat menjaga ikatan sosial adat menjadi demikian kuat.
Sementara itu, di sisi lain manusia Bali juga dihadapkan pada realitas-realitas tuntutan ekonomi yang semakin besar. Tuntutan ini tidak lagi mampu dipenuhi dengan mengikuti pola hidup terikat dalam kehidupan adat yang ketat. Realitas ini menjadikan manusia Bali berada dalam persimpangan antara kehidupan yang terikat adat dan tuntutan pemenuhan kebutuhan ekonominya.
Ketiadaan kecerdasan manusia Bali membuat persimpangan di antara dua kepentingan tersebut tidak mampu didamaikan. Sebaliknya, dia justru menjebak manusia Bali pada situasi yang menekan secara psikologis.
Belum lagi terdapat fakta bahwa ikatan sosial adat ini hanya mengikat manusia Bali saja, sementara kaum urban yang berasal dari wilayah geografis dan kebudayaan berbeda tidak mampu diikat secara ketat. Kaum urban yang melenggang dari ikatan adat tidak sedikit yang unggul secara ekonomi. Lahirlah cemburu yang semakin memperberat psikologis manusia-manusia Bali.
Kemakmuran yang diciptakan oleh pariwisata bagi manusia Bali sebenarnya adalah kemakmuran semu. Kemakmuran ekonomi dari pariwisata Bali sesungguhnya hanyalah dinikmati segelintir pemilik modal. Sementara rakyat petani yang tanahnya telah dilego secara besar-besaran karena memiliki nilai ekonomis yang tinggi telah menjelma menjadi orang kaya baru yang kekayaannya hanya bersifat sementara.
Kekayaan mendadak dari hasil penjualan tanah telanjur melahirkan pola hidup konsumtif dan tidak diantisipasi dengan memadai. Akibatnya ketika kekayaannya telah habis, sementara pola hidupnya tetap konsumtif, maka terciptalah situasi di mana manusia Bali mengalami tekanan psikologis yang hebat.
Tekanan-tekanan psikologis membuat manusia Bali berada dalam kondisi yang oleh Erich Fromm disebut dengan keberjejalan. Tuntutan-tuntutan yang tidak bisa didamaikan membuat pikiran manusia Bali dipenuhi dengan berbagai kepentingan yang sering bertolak belakang. Dalam situasi keberjejalan inilah potensi kekerasan yang telah ada dalam diri manusia menjadi sangat mudah tersulut.
Dengan narsisme kelompok yang besar ditambah tekanan ekonomi yang cukup kuat, manusia Bali menjadi sangat agresif. Persoalan-persoalan sekecil apapun bisa menjadi pemicu yang menjelma menjadi tindakan kekerasan. Manusia Bali kehilangan akal sehat, dan tidak lagi berpikir menggunakan nalar-nalar logika.
Ikatan
Sesungguhnya ikatan-ikatan sosial seperti desa adat di Bali bisa menjadi bagian dari kekuatan untuk meredam gen agresi, sumber perilaku kekerasan manusia. Hal ini seperti diungkap Erich Fromm, bahwa pada struktur masyarakat modern yang konsumtif sangat dibutuhkan sistem sosial di mana manusia memiliki tempat tinggal dan hubungan dengan sesamanya relatif stabil. Sistem ini didukung nilai-nilai dan gagasan yang diterima secara umum.
Masalahnya adalah ikatan sosial seperti desa adat dan Banjar di Bali tidak lagi dilakukan dengan ketulusan dan keiklasan dari hati nurani manusia Bali. Ikatan sosial yang terbangun menjadi struktur sosial lebih menjelma sebagai kekuatan yang memaksa, di mana manusia Bali justru merasa terpaksa dan terancam.
Harusnya ikatan sosial adat menjadi bagian dari solusi tekanan ekonomi manusia Bali bukan justru menjadi bagian dari masalah itu sendiri. [b]
Ilustrasi dari Jukubu.
Saya sependapat dengan opini anda. Tapi penulis terlalu berlebihan dan cenderung merendahkan orang bali. Terlihat di sini penulis belum bisa menulis dengan baik. misal dengan penyebutan “Manusia Bali” dan banyak lagi. Semoga bisa menjadi penulis yang lebih baik.
Saya kurang sependapat dengan opini tersebut yang terlalu berlebihan dan menjatuhkan keluguan orang bali dimata sahabat lainnya.
Opini yang terlalu merendahkan keluguan orang bali.
Ngaben bukanlah adat tetapi bagian dari salah satu ajaran veda yang sudah diakulturasikan dengan adat dan budaya bali sehingga tidak melenyapkan atau meniadakan keluhuran dan bhakti kepada leluhurnya.
Terima kasih masukkan dari Wayan Irma.
Mungkin benar tulisan saya ini kurang baik, maklum saya masih belajar menulis. Tetapi saya hobinya nulis. Modalnya ya cuma semangat saja. Mohon saya dibantu biar bisa menulis lebih baik. Tolong beri contoh dong tulisan yang baik yang pernah Wayan buat. . Kirim ya.. ke email : winatalyka@gmail.com. Atas kebaikan hati Wayan, saya ucapkan terima kasih. (maaf kalau tulisan tanggapan saya ini juga mungkin kurang baik)
Saya setuju dengan pendapat Pak Wayan diatas tentang pemakaian kata “Manusia Bali”
Tetapi disisi lain, saya juga sependapat dengan banyak hal yang anda uraikan dalam tulisan ini.
Ada satu hal yg saya juga kurang stuju yaitu dengan terpasangnya salah satu gambar / adegan “perang pandan”
Dibawah judul tulisan anda yaitu “Inilah Akar Kekerasan Manusia Bali”
Saya pikir ini kurang tepat karena hanya akan menyinggung salah satu kelompok empunya adat tersebut.
Mohon untuk lebih hati2 dalam pemilihan gambar dalam pembahasan suatu topik tertentu.
Karena ini adalah bukan topik lelucon.
Tulisannya keren. Kebetulan saya baru ikut seminar tentang konflik adat dan agama. Sedikit tergambar bagaimana mengurai konflik dan mencari solusi optimal.
Untuk di Bali yang saya rasakan dan alami, kita hampir tidak pernah diajarkan untuk mengelola (manajemen) konflik. Orang Bali terbiasa menghindari konflik dengan alasan menjaga stabilitas sosial agar sektor pariwisata tidak terganggu. Mungkin juga karena doktrin-doktrin selama orde baru.
Kurangnya pemahaman masyarakat akan pentingnya mengelola konflik ibarat bom waktu yang bisa meledak kapan saja. Tinggal tunggu adanya pematik yang sering kali tidak terkait langsung.
Menurut saya, pendidikan dan latihan dalam mengelola konflik menjadi modal yang sangat penting bagi masyarakat Bali. Jika saja bisa dimasukan ke dalam kurikulum sekolah atau pelatihan ditingkat banjar/desa tentu akan sangat baik.
Makasi tulisannya bli. Ditunggu tulisan selanjutnya.
tulisan bisa saja kemana2, tapi saya komentar foto nggak pas dengan tulisannya. itu foto ‘kekerasan’ di atas malah ‘ruang rekonsiliasi’, ruang yang memberi peluang ‘pengendalian atas instink kekerasan’ lewat upacara. jadi cari sajalah foto lain yang setimpal, sepadan, seperjalanan dengan tema tulisan
tlg juga ada tulisan yg jujur bagaimana desa adat memelihara prostitusi, cafe esek esek dengan membayar pungutan ke adat. Bagaimana pengelolaan uangnya untuk membiayai upacara adat atau agama. Menarik juga bagaimana desa adat melakukan pungutan pajak untuk org yg tinggal dikawasan desa adat dan bagaimana tindakan anarkis desa adat kepada org yg tidak bayar pajak tempat tinggal. Ada 1000 hal aneh dg desa adat di Bali.
terima kasih utk komentarnya, terutama soal foto ilustrasi. mohon maaf kalau foto sebelumnya kurang tepat dan bisa menyinggung. saya sudah menggantinya dengan ilustrasi yang (semoga) lebih meneduhkan. 🙂
tulisannya bagus, tapi melebar. memang complex Bali ini.
haha, John Bule bisa saja! bagus itu! haha, Anton, hati2 masang gambar.
Dalam banyak hal saya setuju dengan tulisan di atas tapi juga ditambahkan bahwasannya didalam ikatan desa adat juga terdiri dari beberapa kelompok kelompok kecil yang justru lebih dominan menyebabkan timbulnya kekerasan kekerasan orang Bali, dan justru yang paling dominan muncul kepermukaan adalah kekerasan kekerasan yang didasari oleh perbedaan dalam kelompok, dan jarang sekali kekerasan orang Bali dengan Orang urban.
Dalam beberapa hal saya setuju dengan tulisan di atas, namun saya berpendapat bahwa kebodohan ,kekurang cerdasan , dan kurang bijaksananya kita dalam memahami suatu permasalahan membuat kita mudah dihasut, diadu untuk melakukan tindakan kekerasan. Maka itu jadilah orang cerdas, pandai dan bijaksana.
sbg orang bali,,dijaman spt skrg ini kita mestinya bs bercermin dan memilah mna yg baik dan buruk,,saya sangat mengerti dg wacana diatas,kita di sadarkan atas perlakuan yg kita lakukan tanpa kesadaran kita,krn kadang2 kita melakukan hal dluar kewajaran,,maka dri itu,,kita mudah di adu domba,,,dlm topik ini,hal terpenting rasa berpikir kita ,krna kita hidup dijaman serba sulit,semua jadi serba salah,,beda ama bali dlu,,terlalu banyak keaneka ragaman yg masuk kebali,,tp dampang slalu ada,,baek dan buruk,,yg terpenting kita slalu bs rukun,rasa solidaritas,ingat perjuangan dlu,masih banyak yg mesti kita pelajari untuk jadi manusia yg baik brow,,,
Om Swastaystu
Tulisan diatas bagus untuk mengingatkan kita semua, hal tersebut dapat diantisipasi apaila masyarakat bali dapat mengamalkan ajaran tatwam asi semoga kedamaian selalu ada di muka bumi ini
Om shantih shantih shantih Om
Om Swastiastu…
Tulisannya lumayan, tp jangan memakai gambar ritual budaya atau keagamaan biar tulisan yang sudah bagus tidak memasukan unsur SARA. Penulis juga menyinggung masalah Tanah Kuburan yang jadi rebutan dan menimbulkan konflik, itu juga terlalu sensitif karena masalah seperti ini hanya bisa dijelaskan oleh saudara kita yang bersangkutan, karena masalahnya komplex menyakut awig suatu desa yang sudah disepakati dan sudah diwariskan turun-temurun. Memang benar kuburan menjadi fasilitas sosial dan keagamaan, tetapi bukan berarti semua masyarakat Bali seenaknya memakai Kuburan untuk keperluan pemakaman. Jadi kalau boleh memberi saran jangan ada unsur sara dalam mempublikasikan artikel. Mengenai kekerasan yang terjadi di Bali, kita semua pasti setuju harus segera dihentikan, tapi sekali lagi jangan memakai gambar budaya Bali untuk head picture, om shanti, shanti, shanti, om