Teks Luh De Suriyani, Foto Blog Bali
Sedikitnya 2000 laki-laki berbusana adat berkumpul di arena tajen Banjar Adat Samplangan, Kota Gianyar beberapa waktu lalu.
Pria remaja dan dewasa mengenakan setelan adat putih-putih lengkap dengan udeng. Seperti orang yang sembahyang ke pura. Tapi, mereka bukan sembahyang. Mereka melihat sabung ayam.
Di tengah stadion, puluhan pasang ayam jago saling membantai satu sama lain. Setiap 30 menit sekali stadion seakan luruh dengan pekik ribuan mulut meneriakkan ayam jagoannya atau jenis taruhan.
“Cok.. cok.. Gasal..gasal..gasal.,” dua kata paling banyak terdengar. Sebagian lagi mengucapkan beberapa jenis taruhan lain seperti, kangin, kauh, dapang, dan lainnya. Istilah-istilah yang untuk orang awam tak bisa dipahami dengan cepat.
Semua istilah taruhan itu berarti berbeda. Jika skalanya 100, maka untuk taruhan jenis cok adalah perbandingan 75:100. Jika memilih ini jika menang mendapat bagian 75, dan yang kalah harus membayar 100 bagian atau penuh. Ini bisa dipilih jika si ayam diketahui sering menang sehingga diberikan pur.
Sementara gasal adalah taruhan dengan perbandingan 80:100 dan dapang 90:100. Ada juga yang berteriak “kangin” atau “kauh”, artinya jenis taruhan yang seimbang, dengan perbandingan 50:50. Kalah atau memang mendapat bagian yang sama. Kangin (timur) dan kauh (barat) merujuk arah sudut ayam yang diadu.
Anehnya, walau terkesan rumit, setiap petaruh sangat mudah mencari lawan taruhan. Bahkan, kesepakatan ini terjadi sangat singkat, beberapa detik saja sesaat ayam mulai diadu. Tak ada sedikit pun keributan atau perang mulut ketika sepasang ayam usai beradu. Petaruh yang kalah dengan cepat menyelesaikan kewajibannya pada lawan tanpa basa-basi atau protes seperti pemain sepak bola di lapangan.
“Tajen adalah soal insting. Kalau memang suka pasti cepat memahami dan menikmatinya,” ujar Bagus Krisnu pria tengah baya yang menikmati tajen terang atau terbuka siang itu.
Tajen terang di Samplangan ini baru dimulai pukul 10.00 Wita, usai persembahyangan warga di pura desa setempat dan berakhir sekitar pukul 13.00 Wita. Hanya dilangsungkan secara terbuka saat Galungan. Sejumlah pecalang dengan seragam desa adat berjaga di pintu masuk sambil membagi karcis masuk yang harus ditukar dengan uang Rp 10 ribu per orang.
Ada sebuah bangunan dengan kubah tulang besi berpilar sembilan yang sudah penuh dengan penikmat tajen dan puluhan kurungan ayam. Di luar areal, sejumlah dagang siap dengan aneka jajanan, nasi, sate, es, dan lainnya. Seluruh perangkat berjalan dengan organisasi yang baik, tak ada yang saling rebut lahan jualan karena mereka sudah mendaftar dan membayar sewa.
Para pemilik ayam menggunakan waktu selam 30 menit sebelum pertandingan mencari calon lawan yang sepadan. Pemilik atau pengadu mencoba memegang ayam calon lawannya, mengelus bulunya, memegang paha, pinggul, dan lainnya untuk mengetahui apakah sepadan.
Ketika sejumlah pasang ayam sudah siap, babak pertarungan diawasi oleh dua orang juri yang duduk di atas sebuah panggung kecil di atas ring. Seorang juri menulis jumlah uang taruhan yang beredar di dalam ring dan seorang juri lagi sebagai pengatur waktu. Ia memegang sebuah gong kecil (klemong) dan mengawasi sebuah pengukur waktu khas tajen. Terbuat dari bilah kulit kelapa (ceeng) yang dilubangi.
Ada dua jenis taruhan uang dalam tajen. Taruhan di dalam artinya para penjudi kakap yang sudah merencanakan jumlah uang yang sangat besar. Dalam tajen di Samplangan ini, terlihat puluhan orang yang menyodorkan bergepok-gepok uang untuk ditaruhkan.
“Minimal uang taruhan di dalam puluhan juta untuk satu pasang ayam yang bertanding saja,” ujar I Putu Suteja, pria 22 tahun, salah seorang generasi baru penjudi tajen di Bali. Sebanyak 10% dari jumlah taruhan di dalam inilah yang dicatat untuk masuk kas desa pelaksana tajen.
Sementara taruhan di luar ring adalah mereka yang meneriakkan jenis taruhan untuk mencari lawan sendiri. Seperti cok, gasal, dan lainnya itu.
Selain juri, juga ada sepasang wasit atau saya yang bertugas mengadu atau memisahkan ayam saat bertanding. Mereka juga bertugas memobilisasi taruhan dengan meyakinkan petaruh bahwa ayam yang dipegangnya lah yang oke.
Para petaruh memiliki informasi yang sangat minim soal ayam yang dijagokan. “Kalau sudah terbiasa metajen, instingnya jalan,” demikian Bagus Krisnu. Ia sulit mendeskripsikan pengalamannya.
Tentu saja insting tak selalu membuat petaruh menang. Bahkan, judi tajen diakui I Komang Ardana, pria 33 tahun yang tiap hari bertaruh ini tak pernah membuatnya menang. “Utang terus, tapi saya merasa suatu saat pasti menang besar,” katanya.
Agung Sujana, warga Gianyar penggemar berat tajen mengatakan atraksi sabung ayam ini sangat sulit dihentikan walau disebut perjudian dan ilegal di Indonesia. “Banyak orang menggantungkan penghasilan pada tajen,” katanya.
Di tajen terang Samplangan, Gianyar ini misalnya ada lima kelompok pedagang yang hanya berdagang di even tajen. Misalnya Dayu Sekar, penjual sate kambing asal Karangasem yang berkeliling sejumlah kota tiap minggunya mencari tajen-tajen besar. Ada juga Wayan Sri dan suaminya dari Bangli yang menjual aneka buah potong dan minuman.
Selain itu tiap sudut arena tajen, ada pekerja yang sigap memasang taji, membersihkan bulu ayam mati, dan lainnya yang masing-masing mendapat upah atas jasanya.
Besarnya komunitas tajen membuat kelompok ini diperebutkan partai politik atau calon legislatif. Jelang Pemilu, sejumlah caleg atau parpol berlomba menarik perhatian mereka dengan memperjuangkan legalitas tajen atau membuat Perda untuk mengelola. Misalnya Gubernur Mangku Pastika yang ketika jadi Kapolda Bali anti tajen, berbalik merangkul massa ini saat kampanye pemilu.
Putu Suteja dan Sujana meyakini jika tajen diorganisir dengan baik, seluruh desa tak lagi memerlukan bantuan pemerintah untuk biaya pembangunan. “Tajen dilaksanakan saat hari raya saja. Di luar itu tidak boleh. Dua hari tajen saja, desa sudah bisa dapat uang banyak,” ujar Suteja.
Prof I Wayan Windia, ahli hukum adat Bali bersikukuh bahwa tajen harus diberantas karena sudah menjadi arena judi. Yang ada hanya tabuh rah, dilakukan saat upacara dan tidak menggunakan taruhan.
Menurutnya dari sudut pandang agama dan hukum, tajen tetaplah bentuk perjudian yang dilarang. “Keinginan pemerintah membuat regulasi atau Perda Tajen itu tidak beralasan,” ujarnya.
Dalam kitab Rg Veda ada kutipan, “Wahai penjudi jangan bermain judi, lebih baik menjadi petani. Di sanalah kekayaan berlimpah ruah, di sanalah sapi perahanmu, di sanalah kebahagiaan istrimu..”, demikianlah dikatakan Dewa Savita. [b]
Foto dari Blog Bali. Tulisan versi Bahasa Inggris dimuat The Jakarta Post.
Yang untung hanya sekadar mendapat uang, pembangunan dan kepuasan. Yang kalah menderita lebih banyak lagi, bukan hanya tentang personal, namun juga keluarga, kalau yang kalah milyuner mungkin tidak masalah (tidak dipikirkan), tapi kalau yang kalah itu buruh kasar atau petani atau nelayan biasa?
Kalau menurut hemat saya, sekali judi (dalam bentuk apapun) diberikan tempat, kecanduannya akan semakin mencari peluang yang lebih besar untuk hadir di tengah masyarakat.
Kecuali besok kalau mau bertaruh dalam tajen, maka mesti punya penghasilan sekian puluh juta per bulan baru diizinkan, nah kalau itu sih silakan saja.
i know judi bisa bikin melarat n me joek… but i love n like… why..? buat yg ngak suka me tajen ngak usah banyak omong deh.. urus diri kalian masing2, jangan ngurusin urusan orang…..
boleh di jadiin penelitian neeih……
Hmmm………. di Bali tajen dulunya adalah ke-agamaan untuk tabuh rah pada saat ada pecaruan, dari pada manusia memotong ayam lalu darahnya di taburkan di area pecaruan agak sadis, nah di carilah jalan lain… akhirnya ayam janta di persenjatai ‘taji’ lalu di adu dan darah keluar diantara mereka. Tajen (tajian) pengisian senjata taji pada ayam.
Jaman sekarang sudah di alih fungsikan untuk judi…..dan lebih para lagi untuk ‘mata pencaharia/nafkah’ dari para saye (yg mengadakan tajen) dan pekembar (yg melepaskan ayam) serta tukang setir (orang yg membantu taruhan).
Dari sini akan ada beberapa kasus yang akan muncul:
1. Tajen akan diadakan setiap hari di berbagai tempat bahkan bisa dalam sehari ada di beberapa tempat sampat malam juga ada……… ini akan menambah parah kondisi sosial masyarakat.
2. Aparat yang mengetahui juga tidak bisa mengambil tindakan.
3. Ada beberapa daerah di Bali yang membuat arena tajen permanen. karena melihat pemasukkan tajen yg menggiurkan.
Nah ini yang harus disikapi…….. dari tujuan ritual.. menjadi ‘judi’ dan beralih fungsi sebagai ‘nafkah bagi saye dan pekembar’ lalu …. muncul lagi isu di perda-kan. Nah lo… gimana ini…
Sebagain penggemar akan mengatakan “Tajen sebagai hiburan”. Dan itu adalah hiburan yang sangat mahal bagi saya.
Karena saya sebagai pelakunya hanya bisa mengikuti pada saat ada waktu dan uang, xixixixixixi…. kalo tidak ya mekuli.. aja.
Saran saya jika boleh di pake……..
– Tajen jangan setiap hari apalagi sampe malam hari…….
– Tajen hanya boleh digelar pada saat ritual keagamaan dan itu hanya 3 seet (3 kali pertarungan ayam)
– Tajen pada saat hari raya besar di Bali, nah ini untuk hiburan…. hari rayanya apa saja……….. perlu diputuskan…
Astungkara