Teks dan Foto Darma Putra
Perkembangan sastra Bali modern sepanjang tahun 2010 ditandai dengan beberapa hal menarik.
Pertama, secara kuantitatif, jumlah buku yang terbit tahun 2010 meningkat dibandingkan tahun sebelumnya. Tahun 2009 terbit 9 buku, sedangkan tahun 2010 terbit 13 judul. Kedua, munculnya novel-novel sejarah dalam sastra Bali modern, fenomena yang tampaknya mengikuti salah satu kecenderungan mutakhir dalam sastra Indonesia. Dari 13 judul buku sastra yang terbit 2010, terdapat enam novel sejarah, semuanya ditulis oleh Nyoman Manda, sastrawan kelahiran 1938 yang tekun dan setia mencipta walau usianya kini sudah memasuki 73 tahun.
Ketiga, untuk pertama kalinya terbit buku sastra Bali modern yang menjadikan tragedi sosial-politik 1965/66 sebagai subtema atau tema utama. Sebelumnya, huru-hara politik pertengahan 1960-an yang mengakibatkan pembunuhan massal itu hanya muncul sebagai informasi sepintas kilas, bukan sub-tema apalagi sebagai tema pokok.
Keempat, munculnya karya-karya dari penulis baru yang berusia muda, seperti DG Kumarsana dan Made Sugianto. Sugianto, kelahiran 1979, begitu muncul langsung menyumbangkan dua buah kumpulan cerpen.
Semua poin ini menandakan kehidupan sastra Bali modern cukup dinamis. Dinamika itu bisa dijadikan alasan untuk memperkuat optimisme dalam menatap masa depan sastra Bali modern. Optimisme lain akan masa depan sastra Bali modern muncul dari berlanjutnya Bali Orti, sisipan berbahasa Bali surat kabar Bali Post edisi Minggu menjadi media yang mempublikasikan karya sastra Bali modern.
Bali Orti terbit pertama Agustus 2006, memuat cerita pendek, puisi, dan cerita bersambung. Distribusi Bali Orti, khususnya di Bali, sama luasnya dengan peredaran Bali Post, sehingga membuat sastra Bali modern bisa hadir sebagai salah satu bagian dari kehidupan masyarakat Bali dewasa ini, di kota dan di desa.
Trilogi Puputan Badung
Dari keenam novel sejarah yang ditulis Nyoman Manda, tiga merupakan novel sejarah mengenai perang Puputan Badung yang terjadi bulan September 1906. Trilogi ini terdiri dari novel Biyar Biyur ring Pesisi Sanur (Ribut-ribut di Pantai Sanur), Kulkul Bulus (Kentongan Bertalu-talu), dan Tyaga Wani Mati (Siaga Berani Mati).
Tiga novel sejarah karya Nyoman Manda lainnya mengangkat tema berbeda-beda. Novel Gending Pengalu (Nyanyian Pedagang Keliling) berkisah tentang berdirinya kerajaan Gianyar, Bali Timur, abad ke-18. Novel Suara Saking Batukaru (Suara dari Desa Batukaru) merupakan kisah sejarah pertempuran rakyat Batukaru di daerah Tabanan (Bali Barat) yang terjadi tahun 1946. Yang terakhir adalah novel Gusti Ayu Kedangan (Gusti Ayu Kedangan) yang mengisahkan ekspedisi Gajah Mada ke Bali, dilukiskan terjadi abad ke-14.
Sama dengan trilogi novel Puputan Badung, novel-novel sejarah ini pun bertujuan memperkenalkan sejarah lewat karya sastra. Di tengah minim, sulit diperoleh, atau keringnya buku-buku sejarah, kehadiran novel-novel sejarah Nyoman Manda ini bisa menjadi jendela alternatif bagi masyarakat Bali untuk menyimak aneka babakan sejarah Bali dari era pra-kolonial, kolonial, dan pascakolonial. Tujuh buku lain yang terbit sepanjnag 2010 terdiri dari tiga kumpulan cerpen, dua novelet, dan dua kumpulan puisi.
Walaupun menggarap tema-tema berbeda, bukku-buku sastra Bali sepanjang 2010 didominasi tema sosial politik yang aktual dengan wacana media massa. Bawa Samar Gantang menerbitkan kumpulan cerpen Jenggot Kambing (Jenggot Kambing), memuat 13 cerpen. Kritik sosial sangat dominan dalam kumpulan cerpen ini. Ada cerita yang mengangkat tema tentang semakin habisnya sawah-sawah di Bali akibat pembangunan fasilitas pariwisata dan permukiman. Ketika sawah-sawah habis, Bali menjadi hutan-beton dan kehilangan keindahan.
Made Suagianto menerbitkan dua kumpulan cerpen Preman (Preman) dan Bikul (Tikus). Bikul berisi 14 cerpen, Preman berisi 13 cerita, sebagian besar sudah pernah diterbitkan di Bali Orti, jadi memiliki karakteristik sastra koran. Sebagai cerpen koran, ukurannya relatif pendek. Karakteristik lain dari cerpen koran adalah tema-temanya yang sangat aktual dan topikal, nyaris sejajar dengan topik-topik berita koran, seperti cerpen berjudul “Elpiji” dan “Sertifikat(si)”.
Dua novelet yang terbit 2010 masing-masing Kania karya Ida Bagus Wayan Widiasa Keniten, dan Rasti karya IDK Raka Kusuma, keduanya diterbitkan oleh Sanggar Buratwangi. Novelet Kania melukiskan perjuangan gadis yatim-piatu dari kasta brahmana untuk menjadi pendeta. Novelet Kania ditulis dalam bahasa Bali yang indah, kuat, dan imajinatif.
Kalau novelet Kania menjadikan tragedi politik 1965 sebagai latar, novelet Rasti karya Raka Kusuma menjadikannya sebagai tema utama. Selain hendak mengungkap sedikit tabir huru-hara politik di Bali 1965, novelet ini juga mencoba melukiskan nasib remaja yang tidak berdosa tetapi harus memikul beban “dosa politik” orang tuanya.
Sang Pengembara
Selain novelet itu, Raka Kusuma juga menerbitkan kumpulan puisi Sang Lelana (Sang Pengembara). Berbeda dengan gaya bahasa novelet Rasti, gaya bahasa kumpulan puisinya sangat indah dan imajinatif. Temanya juga menarik. Selain tema-tema filosofis, sajak-sajak dalam Sang Lelana juga kaya akan simbolisme dalam melancarkan kritik sosial.
Sang Lelana (100 halaman) berisi sembilan puisi yang relatif panjang-panjang, ditulis dengan bahasa yang sangat liris. Sajak-sajak dalam kumpulan ini merupakan satu-kesatuan karena berbicara tentang pengembaraan sang subjek sejak meninggalkan rumah sampai kembali ke rumah. Satu lagi kumpulan puisi yang terbit tahun 2010 adalah Komedi Birokrat karya DG Kumarsana, pendatang baru sastra Bali modern yang menulis sastra dalam bahasa Indonesia. Antologi ini terdiri dari 45 sajak dengan tema beragam sehingga jauh dari monoton.
Berlanjutnya penerbitan buku sastra Bali modern dan dukungan sisipan Bali Orti dalam mempublikasikan karya sastra Bali modern merupakan fakta yang bisa dijadikan untuk meyakinkan kita bahwa sastra Bali modern masih mempunyai masa depan.
Walaupun tidak sepopuler sastra Indonesia atau sastra Bali klasik, sastra Bali modern terus berdenyut memperkenalkan dirinya kepada masyarakat Bali modern. Masa depan itu akan lebih cerah dan kokoh seandainya karya-karya sastra Bali modern, mau diperkenalkan secara lebih intensif di sekolah-sekolah, khususnya oleh para guru bahasa dan sastra Bali. Jika pembaca makin luas, pengarang pun akan lebih semangat berkarya. [b]
Tulisan diambil dari blog Dasar Bali.
Saya tidak terbiasa berkomunikasi dalam bahasa Bali, ini seringkali menyusahkan dalam menginterpretasikan sastra Bali.
saya juga memiliki referensi web yang membahas
tentang pendidikan dan pembukuan forum perpustakaan