Kilas Balik 20 Tahun HIV/AIDS di Bali.
Nyaris semua Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) di Indonesia overload. Penghuninya, tahanan dan narapidana harus berbagi tempat yang sempit untuk melanjutkan hidup. Gerak langkah yang sangat terbatas makin sempit karena harus berdesak-desakkan di satu sel berteralis. Inilah tantangan yang berat bagi orang dengan HIV/AIDS (Odha) di Lapas.
Tak hanya berat bagi Odha yang tengah berjuang melawan HIV dalam tubuhnya di Lapas, tapi juga berat bagi petugas kesehatannya. Dokter dan relawan penanggulangan HIV di Lapas Kerobokan, misalnya, dipaksa bekerja keras mencegah penularan HIV dalam Lapas yang makin sesak itu. Dokter Anak Agung Hartawan, dokter Asih Primatanti, paramedis dan relawan LSM kini berkejaran dengan waktu untuk mencegah penularan HIV di Lapas Klas IIA Denpasar.
Bagi Komang Arsa, bukan nama sebenarnya, sangat sulit melaksanakan terapi pengobatan melawan HIV dalam tubuhnya di Lapas. Narapidana yang terhukum akibat penyalahgunaan narkoba ini sulit tidur nyenyak karena selnya sesak dan gejala penyakit juga cepat menginfeksinya.
“Kondisinya tidak mendukung untuk bisa hidup sehat, apalagi dengan HIV di tubuh,” kata Komang sedih. Hal ini diakui oleh Dokter Asih Primatanti, petugas di klinik Lapas. “Penularan penyakit seperti TBC sangat mudah, apalagi Lapas makin melebihi daya tampungnya,” kata dokter perempuan ini.
Lapas terbesar di Bali ini idealnya menampung 320 warga binaan pemasyarakatan (WBP). Kini, isinya hampir tiga kali lipat, sekitar 830 orang. Bayangkan betapa terbatasnya gerak warga binaan disana mengisi kesehariannya.
Beban lainnya yaitu, Lapas menampung tak hanya narapidana tapi juga tahanan, yang jumlahnya makin banyak. Selain itu warga binaan Lapas terdiri dari berbagai latar belakang, seperti kejahatan pembunuhan, narkotika, dan warga binaan wanita.
Karena itulah tantangan penanggulangan HIV di Lapas sangat memeras otak. Pertama soal risiko penularan HIV, kedua soal pelaksanaan terapi pengobatan dan perawatan orang dengan HIV/AIDS (Odha) di Lapas.
Dokter Asih mengatakan penanggulangan HIV dan AIDS di Lapas sungguh kompleks. Di antaranya adalah sulitnya mengawasi perilaku-perilaku beresiko dalam penularan HIV. Misalnya pembuatan tato atau tindik tubuh dengan jarum yang tidak steril. Darah adalah media penularan HIV yang cepat. Apalagi menggunakan jarum atau benda tajam yang telah terinfeksi HIV kemudian masuk ke jaringan darah.
“Warga binaan juga banyak yang keluar masuk. Setelah bebas, lalu masuk lagi. Ini membutuhkan penyuluhan yang kontinyu serta petugas yang cukup,” tambah Asih yang cukup lama berkutat di Lapas dalam pemberian pendidikan dan pelayanan kesehatan bagi penghuni Lapas yang berlokasi di Kerobokan ini.
Karena itu Pokja Lapas yang membuat berbagai program penanggulangan HIV, berlomba dengan kemungkinan resiko penularan HIV yang cepat di Lapas. Masih segar dalam ingatan ketika pada tahun 2000, pejabat Lembaga Pemasyarakatan dan sejumlah warga binaan terhenyak dengan hasil sero survey (survei acak tanpa nama) untuk mengetahui risiko penularan HIV di Lapas.
Ketika itu, dari hasil tes darah yang diambil acak, sekitar 35 warga binaan Lapas Klas IIA Denpasar ini dinyatakan positif HIV. Inilah puncak dari kekhawatiran sejumlah LSM dan pemerhati AIDS di Bali waktu itu yang memperkirakan tingginya risiko penularan HIV di Lapas atau Rutan.
Karena survei acak, kemungkinan besar yang terinfeksi HIV lebih tinggi. Sebagian bahkan dimungkinkan telah masuk gejala AIDS, suatu kondisi ketika gejala penyakit menyerang dan kondisi tubuh makin turun. Odha yang masuk fase AIDS ini harus mendapat pengobatan intensif.
Inilah awal dari pelaksanaan program pengurangan dampak buruk akibat narkoba (harm reduction) di Lapas yang akrab disebut Lapas Kerobokan ini. Program ini menyasar pecandu dan penyalahguna narkoba di sana yang adalah separuh penghuni Lapas.
Salah satu kegiatan harm reduction adalah penyediaan substitusi heroin yakni methadone di Lapas untuk terapi ketergantungan heroin. Selain itu penyediaan disinfektan atau cairan alkohol untuk sterilisasi alat suntik atau benda tajam yang beresiko menularkan HIV. Masih banyak kegiatan pelayanan kesehatan lainnya untuk mencegah penularan HIV.
Dokter Asih mengatakan jumlah Odha yang ada di Lapas saat ini 23 orang (berdasarkan data VCT atau yang sukarela melakukan tes darah). “Perkiraan Odha di Lapas lebih banyak, sekitar 50 orang,” ujarnya. Inilah yang membuat Pokja Lapas mengintensifkan pendidikan dan pelayanan kesehatan bagi warga binaan di Lapas Kerobokan.
Dari jumlah tersebut kini baru 6 orang yang menjalani terapi antiretroviral (ARV) untuk menghambat pertumbuhan HIV dalam tubuh. Sejak penyediaan terapi ARV pertama kali di Lapas baru 12 orang yang ikut. “Teman-teman yang belum mendapatkan terapi biasanya memang belum indikasi harus menggunakan ARV, beberapa dalam persiapan dan ada yang belum siap mendapatkan terapi,” papar dokter muda ini.
Bayangkan betapa sibuknya petugas kesehatan di Lapas jika memang benar perkiraan 50 warga binaan yang terinfeksi HIV. Kondisi sanitasi dan over kapasitas Lapas Kerobokan tentu makin mempercepat Odha mendapatkan gejala penyakit. Selain itu, risiko penularan juga makin tinggi jika pemerintah dan pejabat lembaga pemasyarakatan tidak bergerak cepat.
Risiko tidak hanya bagi warga binaan tapi juga pasangan dan anak-anak mereka di luar Lapas yang tidak mengetahui suami atau istrinya telah terinfeksi HIV. “Kami berharap jajaran pemasyarakatan memperluas program harm reduction di Lapas dan Rutan seluruh Bali. Kita harus bertindak cepat sebelum terlambat,” pinta Dokter Asih. [b]