Teks Dikirim Komunitas Sahaja, Foto Internet
Suasana musim gugur Kota Leipzig, Jerman, menjelang jatuhnya Tembok Berlin di tahun 1989, akan hadir di Bali.
Gambaran itu akan hadir melalui novel terkini Martin Jankowski yang akan diluncurkan pada 10 Desember 2010 mendatang. Lewat acara diskusi yang mengambil tajuk serupa dengan judul karyanya, ‘Rabet, Runtuhnya Jerman Timur’, Martin yang juga penyair kelahiran Greifswald, kawasan Laut Baltik, Eropa, ini akan tampil memperbincangkan perkembangan kesusastraan Jerman dan Indonesia sekaligus peran sastra dalam pendidikan masyarakat.
Diskusi akan digelar di Fakultas Sastra Universitas Udayana, Bali, dimulai pukul 08.30 WITA. Tak hanya itu, penulis yang sebelumnya telah menerbitkan antologi puisi “Detik-Detik Indonesia” yang sebagian besar memotret kehidupan kultur serta sosial negeri Indonesia dan juga Pulau Bali ini, akan mendiskusikan kaitan antara sastra dan sejarah sebuah bangsa sekaligus refleksinya terhadap kekinian di Bentara Budaya Bali pada acara Sandyakala Sastra seri ke 6, pukul 18.00 WITA, masih pada hari yang sama.
Novel ini berkisah tentang detik-detik menjelang peristiwa runtuhnya Tembok Berlin, sebagai penanda jatuhnya Negara Jerman Timur yang berhaluan ideologi sosialis. Lewat bukunya ini, Martin Jankowski, yang juga terlibat dalam peristiwa demonstasi besar-besaran menentang otokrasi Pemerintah Jerman Timur ini, tidak semata menuturkan kisah-kisah pergulatan politik yang dialami penulisnya, namun juga berupaya menghadirkan kenyataan sejarah secara lebih manusiawi dalam bahasa estetika sastrawi nan puitik.
Pembantu Dekan III Fakultas Sastra Universitas Udayana, Drs. I Wayan Sama, M.Hum mengatakan diskusi terkait novel karya Martin Jankowski beserta refleksinya terhadap sejarah serta kultur kesusastraan salah satu bangsa Eropa ini dapat menjadi materi pembelajaran yang penting. Tidak hanya bagi peserta didik di Fakultas Sastra tapi juga generasi muda Bali secara keseluruhan.
“Saya kira, diskusi-diskusi seperti ini tidak semata memperkenalkan khazanah kebudayaan luar Nusantara, namun sekaligus juga dapat menjadi sebentuk studi perbandingan yang strategis demi perkembangan kehidupan sastra di Bali, dan juga Indonesia,” ujar Sama.
Senada dengan Wayan Sama, Koordinator Acara di Bali, Ni Ketut Sudiani, juga menyampaikan bahwa diskusi sastra seperti ini hendaknya dilakukan secara berkelanjutan, dengan menghadirkan penulis-penulis mumpuni dan mengangkat tema-tema lebih beragam, yang pelaksanaannya didukung dari berbagai pihak. “Program Dialog dan Peluncuran Buku ini sendiri telah digelar di berbagai kota di Indonesia, seperti Banda Aceh, Bandung, Jakarta, Surabaya dan Papua,” ujar Ni Ketut Sudiani.
Dia menambahkan bahwa kegiatan di Bali ini terselenggara berkat kerjasama antara Komunitas Sahaja, Fakultas Sastra Universitas Udayana serta Bentara Budaya Bali, sebuah ruang publik kebudayaan bagian dari Keluarga Besar Kompas-Gramedia.
Di samping dikenal sebagai penulis dan penyair, yang semasa tahun 1980-an peredaran karya-karyanya dilarang oleh Stasi (Polisi Rahasia Jerman Timur) Martin Jankowski adalah juga penulis lirik lagu untuk gerakan bawah tanah kaum opisisi Leipzig. Setelah runtuhnya kuasa pemerintah dan jatuhnya Tembok Berlin, Martin mulai aktif kembali menerbitkan tulisan-tulisannya, baik berupa esai, cerpen, novel dan karya-karya non fiksi.
Diskusi sastra mendatang ini tidak hanya diperkaya oleh kehadiran penulisnya untuk berbagi pengalaman kreatif, namun juga dimaknai oleh pementasan apresiasi sastra dari penyair dan penggiat sastra di Bali. “Bolehlah dikata, dialog ini bukan hanya dapat dipandang sebagai sebuah refleksi terhadap sastra Jerman maupun Indonesia, melainkan juga upaya untuk menghargai sejarah masa lampau serta memaknai kekinian dan masa depan kita,” ujar Wayan Sama. [b]
Foto diambil dari sini.