Teks I Made Utama Jaya, Foto Anton Muhajir
Sepuluh tahun lalu, anak-anak belari tak kenal lelah di lapangan pinggiran kota.
Kota yang masih dipenuhi sesak pepohonan. Hijau. Belum tergerus isu global warming. Bahkan, mungkin pada saat itu global warming belum didefinisikan. Tawa bahagia seakan menjadi bagian dari kota yang masih “perawan”. Belum tersentuh.
Tawa bahagia itu seketika hilang. Bumi seribu pura tak lagi “perawan”. Tanah lapang pinggiran tempat dahulu anak-anak bermain telah disulap menjadi mall besar nan megah. Sawah tempat petani menyambung hidup menjadi jalan raya. Kawasan hijau tak lagi hijau. Penyerobotan tak lagi dipermasalahkan, asalkan ada timbal baliknya. Hal itu seakan menumpulkan taji krama Bali.
Bali kini
Kawasan hijau sudah tergerus. Wacana tentang penyelamatannya hanyalah sebatas angin lalu. Hal itu tak dapat lagi disangkal lagi, baik oleh Pemerintah Daerah (Pemda) maupun pihak terkait. Kawasan yang sepantasannya menjadi ruang hijau, kini sudah diselipi beberapa bangunan. Pohon yang dulu menjadi tempat berteduh diubah menjadi emperan toko. Tanah lapang yang dahulu digunakan sebagai arena bermain kini ditumbuhi bangunan besar nan kokoh. Hal itu sudah tak dapat dielakkan lagi.
Yang dikambinghitamkan bisa ditebak. Waktu. Apabila ada praktisi lingkungan yang mencemooh, jawaban yang keluar tidak lain tidak bukan, modernisasi. “Waktu yang berkehendak dan memutuskan”, “kita tidak bisa melawan waktu”. Begitu katanya. Seakan kerusakan alam Bali memang sudah dicanangkan oleh sang waktu.
Seiring perkembangan masa, waktu sering kali disalahkan. Padahal, waktu hanyalah suatu patokan. Pedoman. Tidak lebih. Hanya saja manusia mencari-cari alat untuk dipersalahkan. Hal itu untuk membenarkan tindakan mereka yang tidak terpuji.
Salah satu bukti yang menyangkut waktu adalah bencana alam. Sepuluh tahun silam, banjir hampir tak pernah mengunjungi Bali, seberapa pun derasnya air langit jatuh. Tanah longsor pun tak terdengar batang hidungnya. Itu secara tidak langsung memberikan suatu penilain terhadap lingkungan Bali pada saat itu. Tentu saja di sini merupakan penilaian yang positif.
Berbeda dengan Bali dewasa ini. Bila kita membuka lembaran surat kabar, headlinenya memberitakan tentang korban tewas akibat tanah longsor. Lanjut ke halaman kedua, hujan deras menyebabkan sungai meluap. Di bawahnya, banjir melumpuhkan aktivitas warga. Ke halaman ketiga, ruang hijau kota beralih “fungsi”.
Atau yang lebih parah, di halaman keempat tentang penggerusan daratan Bali. Hal itu seakan menjadi bukti dangkalnya pemikiran orang Bali terhadap lingkungan. Sungguh suatu ironi. Di tengah wacana dunia untuk menghentikan laju pemanasan global, Bali justru bergerak mundur dari posisi awalnya.
Peran Krama Bali
Dalam ajaran agama Hindu dikenal Tri Hita Karana. Ajaran yang mengajarkan umat manusia untuk memiliki hubungan yang harmonis terhadap semua hal yang ada di dunia ini. Termasuk juga di dalamnya harmonis dengan lingkungan sekitar atau alam yang dikenal dengan nama palemahan.
Sebenarnya, masyarakat Hindu dulu menjunjung tinggi ajaran ini. Maka dari itu, alam Bali dulu hampir tak terjamah modernisasi, padahal Bali merupakan destinasi wisata. Perubahan sikap manusia Bali baru terlihat beberapa tahun belakangan. Mungkin hal itu karena penurunan toleransi terhadap lingkungan sekitar.
Untuk membenahinya, peran seluruh warga Bali sangatlah dibutuhkan. Seperti wacana Gede Prama, ciptakan Bali Shanti. Mungkin untuk permulaan, janganlah kita saling menyalahkan. Marilah ciptakan kondisi Bali yang kondusif. Perbedaan pendapat memang tidak salah, namun ada baiknya kita bicarakan baik-baik. Jangan asal main keluar diskusi. Kalau terus begitu, warga Bali juga yang repot. Di sini diperlukan suatu pemahaman, bukan hanya pemahaman akademis, namun juga pemahaman sosial dan budaya.
Menata ulang tata ruang Bali yang sudah “amburadul” memanglah bukan perkara gampang. Namun bukannya tidak mungkin. Peran serta para tetua yang tahu betul ajaran agama sangat dibutuhkan. Karena kita hidup tidaklah sendiri. Alam itu pun memiliki rasa. Jadi kita tidak boleh sembarangan memutuskan. Terlebih di Bali kepercayaan kosmik sangat diyakini. Itu menjadi PR bagi para pemimpin Bali di masa depan.
Warga kota juga berhak untuk menikmati tata ruang kota. Tentu saja. Karena untuk merekalah tata kota itu ada. Bukannya untuk kepentingan beberapa pihak. Oleh karena itu, diperlukan kesadaran para oknum terkait untuk mengadakan diskusi terbuka. Di sana masyarakat luas yang peduli boleh ikut andil. Terlebih mempunyai usulan yang membangun. Sebenarnya masalah pemimpin di Bali adalah kurang mendengar aspirasi rakyatnya. Apabila sudah terbuka, kedua belah pihak pun saling mengerti. Tak kan ada lagi demo-demo yang hanya akan menimbulkan kemacetan lalu lintas.
Tata kota Bali
Merembet ke masa sekarang, tata kota Bali layaknya benang kusut. Lihat saja kawasan Renon, Denpasar. Sepantasnya menjadi ruang terbuka hijau, eh, malah banyak bangunan berdiri nan kokoh. Tak habis pikir. Karena itulah peran serta kesadaran orang Bali itu sendiri yang sangat penting. Bukannya wacana pemerintah yang hanya bualan semata.
Sebagai manusia yang hidup di Bali, sudah semestinya kita menjaga Bali. Meskipin tanpa adanya wacana pemerintah. Kita seharusnya sadar, siapa yang akan menikmati Bali itu? Tidak lain tidak bukan adalah kita sendiiri. Manusia Bali. Orang yang hidup di Bali.
Tata ruang memang sudah tak terkontrol. Tapi diri kita sebagai manusia-manusia Bali masih mempunyai akal pikiran untuk membenahinya. Meskipun sulit, kita harus berusaha menjadikan Bali kembali ke masa jayanya. Dimana tak pernah ada banjir, tanah longsor, maupun penggerusan daratan. Agar kita kembali melihat senyum anak-anak yang bermain riang di sudut kota. Berlari-larian. Senyum yang akan selalu senantiasa menghiasi hari-hari mereka. Bukanya itu yang kita inginkan? Para pemimpin masa depan yang cakap. [b]
Artikel ini merupakan karya terbaik I dalam Lomba Esai Peduli Tata Kota kategori pelajar.
Baliku kapan kembali?