Teks Astarini Ditha, Foto Anton Muhajir
“Mimpi adalah kunci untuk kita menaklukan dunia…”
Bait lagu itu tepat menggambarkan Wayan Mertayani, gadis desa asal Kecamatan Abang, Karangasem yang bisa melali hingga negeri Belanda meski terlilit kemiskinan. Dia bahkan tak pernah bermimpi. Dia tak bakal menduga dirinya akan menginjakkan kaki di Belanda. Semua berkat selembar foto seekor ayam pengina putih, Wayan kejatuhan berkah.
Wayan menceritakan pengalamannya tersebut Minggu kemarin di Kelas Menulis Jurnalisme Warga yang diadakan Sloka Institute. Dia berbagi bersama para peserta didampingi adiknya, Nengah Jati, dan ibunya, Ni Nengah Kirem.
Mei 2010 lalu, Wayan baru saja bertandang ke negeri kincir angin. Wayan beserta Nengah adiknya dan Merry salah seorang kenalannya menjelajah ke beberapa tempat menarik di sana selama sepuluh hari. Keberangkatan Wayan ke Belanda merupakan hadiah dari keberhasilannya memenangkan Lomba Foto yang diselenggarakan Anne Frank House, sebuah museum di Belanda.
“Wah, rasanya senang sekali. Pokoknya senang saja, susah jelasinnya,” ujar gadis berkulit gelap ini tersipu ketika ditanya seperti apa rasanya bisa berjalan-jalan ke Belanda.
Merry, seorang wanita asal Papua yang memiliki vila di daerah Amed, mengenalkan Wayan pada Dolly saudara Merry yang bermukim di Belanda. Dolly, yang ketika itu sedang berlibur di Amed, mengenalkannya sosok Anne Frank pada Wayan.
“Bu Dolly yang kasih pinjam buku diarinya Anne Frank,” papar Wayan yang memiliki kegemaran membaca buku.
Usai membaca buku itu, Wayan terus mendapat dorongan dari Dolly untuk menulis cerita hidupnya beserta foto. Alhasil dengan kamera pinjaman dari Dolly, Wayan mengumpulkan 15 foto. Kelimabelas foto berobjek ayam pengina putih peliharaannya beserta karangan yang menceritakan hidupnya yang miskin dia kirim untuk ikut kompetisi foto internasional tersebut.
Tiga bulan setelah mengirim foto itu, pada bulan Desember, Merry memberi kabar kemenangan. Wayan, juga para kerabat dan tetangga, awalnya tidak percaya. Hingga ia pun berangkat dan kembali dari Belanda. Keberhasilan gadis kelahiran 1995 ini akhirnya tersiar di beberapa media nasional.
“Iya, waktu itu sempat diwawancara SCTV, TPI dan TV One,” kenang Wayan yang diiyakan ibunya.
Kekaguman pada Anne Frank
Wayan amat mengidolakan sosok Anne Frank. Gadis Yahudi yang lahir di Frankfurt – Jerman ini pindah ke Belanda dan terpaksa hijrah ke Amsterdam ketika Adolf Hitler berhasil mengusai wilayah itu. Nazi yang anti Yahudi mulai memburu orang-orang Yahudi dan tak segan menerapkan kekerasan, menjadi teror bagi keluarga Frank.
Selama bersembunyi di Amsterdam inilah, Anne Frank rajin menulis diari. Kisah hidup Anne Frank yang terekam dalam catatan hariannya baik harapan, mimpi, rasa frustasinya dan lainnya menginspirasi Wayan tentang banyak hal, terlebih soal kebebasan.
Wayan yang bercita-cita ingin jadi jurnalis dengan fasih menuturkan tiap detil kisah hidup Anne Frank. “Dia menuliskan semuanya di diarinya. Tapi umur 14 tahun dia tertangkap oleh pasukan Nazi, dan mati keracunan,” ujarnya.
Lanjutnya lagi, setelah kejadian itu Otto ayah Anne Frank mengumpulkan catatan diari putrinya yang bereceran dan berinisiatif untuk menerbitkannya.
“Saya kagum pada kepribadiannya Anne Frank yang tegar, tidak menyerah dan tidak mengecilkan dirinya sendiri,” ujarnya.
Tentang Masa Depan
Wayan yang kini tercatat sebagai siswi kelas 1 SMA Swastiastu Kebon, Abang tinggal bersama seorang ibu dan adiknya Nengah di Bias Lantang. Usia tiga tahun ia sudah ditinggalkan ayahnya. Lantaran masalah internal keluarga, Wayan, ibu dan adiknya memutuskan kembali ke rumah orang tua ibunya di Desa Culik tanpa membawa peninggalan ayahnya.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka membuka warung kecil di dekat bale banjar. Meski dengan latar belakang ekonomi yang marjinal, Wayan tak lantas harus melipat mimpinya. Ia tetap ingin jadi jurnalis dan menekuni fotografi. Hidupnya yang susah tak sering membuatnya mengeluh. “Saya ingin jadi jurnalis, senangnya banyak. Bisa kenal banyak orang, tahu informasi dari dunia. Tetapi susahnya juga ada, misalnya proses liputannya,” katanya.
Melalui fotonya yang sederhana ia membagi cerita tentang hidupnya dan masa depan yang ingin diraihnya. Dari kelima belas foto yang ia kirimkan, semuanya fokus pada si ayam pengina putih dengan latar yang berbeda-beda. Satu foto yang memenangkan perlombaan itu, ia analogikan seperti hidupnya. “Ini kok kayak hidup aku ya,” ujarnya dengan mimik wajah gembira.
Tuturnya lagi, ayam pengina putih yang berumah di dahan pohon Santan dan Karet yang berjalinan dan bercabang, persis seperti hidupnya yang berliku-liku, susah; yang bila hujan rumah bocor, bila panas kepanasan. Sedang, hamparan langit senja yang berwarna merah Wayan ibaratkan sebagai masa depannya yang cerah.
Wayan, berbekal oleh-oleh sebuah kamera dan DVD Anne Frank dari Belanda kelak semoga menjadi perempuan yang hebat dan menginspirasi banyak orang dengan semangat dan perjuangannya. Selalu ada jalan, seperti meminjam sebuah judul karangan, Dari Ave Maria Ke Jalan Lain Ke Roma! [b]