
Pembangunan Bali dalam dua dekade terakhir berdiri di atas satu asumsi yang jarang dipertanyakan, yaitu bahwa seluruh wilayah di pulau ini harus diarahkan menjadi destinasi wisata. Ketika Bali Selatan, terutama Badung dan Gianyar, mulai menunjukkan kelelahan ekologis, perhatian kemudian bergeser ke kabupaten lain tanpa kajian matang mengenai kemampuan alam dan struktur sosialnya. Padahal, data dan berbagai studi justru menunjukkan bahwa wilayah pinggiran Bali memiliki kekuatan yang berbeda dan sering kali lebih relevan untuk dikembangkan melalui ekonomi hijau dan biru daripada memaksakan replikasi pariwisata massal yang selama ini menimbulkan banyak tekanan.
Selama bertahun-tahun struktur ekonomi Bali berjalan pincang. Sebelum pandemi COVID-19, lebih dari setengah PDRB Bali bergantung pada pariwisata dan sektor turunannya. Ketika pandemi melanda, fondasi rapuh ini runtuh. Ekonomi Bali terkontraksi hingga minus 9,31 persen, penurunan terdalam di Indonesia pada saat itu. Angka tersebut tidak sekadar statistik, tetapi bukti nyata bahwa ketergantungan berlebihan pada satu sektor membuat pulau ini sangat rentan terhadap guncangan global. Dan meskipun beberapa indikator menunjukkan pemulihan, akar persoalannya tetap sama. Diversifikasi ekonomi tidak pernah dilakukan secara sungguh-sungguh.
Dalam situasi itu, muncul dorongan untuk mengalihkan tekanan pembangunan ke daerah utara dan timur Bali. Kabupaten seperti Buleleng, Jembrana, Bangli, dan Karangasem mulai diarahkan mengikuti pola pembangunan Badung dan Gianyar, meskipun kondisi ekologinya sangat berbeda. Pendekatan seperti ini bertentangan dengan prinsip dasar dalam perencanaan ekonomi wilayah yang menekankan pentingnya keunggulan komparatif. Setiap daerah semestinya dikembangkan berdasarkan karakteristik dan kekuatan alamnya. Memaksakan semua kabupaten menjadi destinasi wisata tidak hanya salah secara teori, tetapi juga berpotensi menimbulkan kerusakan yang sama seperti yang kini dialami Bali Selatan.
Jika dilihat lebih dekat, keunggulan komparatif tiap kabupaten justru mengarah pada pengembangan ekonomi hijau dan biru yang lebih berkelanjutan. Desa-desa pesisir di Buleleng dan Jembrana memiliki potensi besar dalam marikultur, perikanan berkelanjutan, serta ekonomi laut berbasis pemulihan ekosistem. Kawasan hutan dan agroforestri Bangli hingga Kintamani adalah benteng air bagi seluruh Bali, sebuah fungsi yang tidak dapat digantikan oleh sektor ekonomi apa pun. Sementara Karangasem dengan karakter lahan kering vulkaniknya menyimpan peluang besar dalam pertanian adaptif, palawija, dan garam tradisional. Bila potensi-potensi ini dikelola dengan prinsip ekonomi sirkular, Bali akan memiliki jaringan nilai yang jauh lebih kuat, stabil, dan rendah risiko.
Para ahli tata ruang telah lama mengingatkan bahwa Bali Selatan telah melampaui daya dukung ekologinya. Krisis air tanah, kemacetan kronis, abrasi pesisir, dan persoalan sampah adalah gejala runtuhnya sistem. Mengalihkan tekanan pembangunan secara tergesa-gesa ke wilayah lain tanpa mempertimbangkan daya dukung alam hanya akan memperluas kerusakan. Bali membutuhkan arah pembangunan baru, bukan sekadar menciptakan Canggu – Canggu baru di tempat lain.
Ekonomi regeneratif yang menggabungkan prinsip-prinsip ekonomi hijau dan biru menawarkan arah yang lebih tahan krisis dan lebih selaras dengan alam. Contoh keberhasilan pendekatan ini dapat ditemukan di negara-negara lain yang memiliki karakter geografis serupa. Islandia mengembangkan industri kelautan bernilai tambah tinggi melalui riset dan inovasi. Jepang melalui Okinawa membangun model agro-maritim yang memperkuat ketahanan pangan sekaligus menjaga kelestarian ekosistem. Pengalaman tersebut menunjukkan bahwa wilayah kecil pun dapat menciptakan ekonomi yang tangguh tanpa merusak lingkungan.
Jika Bali mengadopsi pendekatan serupa, struktur ekonominya akan menjadi lebih seimbang. Buleleng dapat tumbuh sebagai pusat ekonomi biru. Jembrana dapat menjadi lumbung pangan berbasis pertanian regeneratif. Bangli dapat tetap menjadi benteng agroforestri dan sumber air bersih. Karangasem dapat mengembangkan potensi agro-mineral dan pesisir adaptif. Integrasi logistik, teknologi, dan kebijakan antar kabupaten akan membentuk ekosistem ekonomi yang saling menopang dan memberi manfaat lebih merata bagi seluruh wilayah Bali.
Pendekatan ini juga sejalan dengan nilai-nilai lokal yang telah diwariskan turun-temurun. Desa adat selama berabad-abad memiliki aturan pemanfaatan ruang dan sumber daya alam yang menekankan keseimbangan dan harmoni, serta bukti bahwa masyarakat Bali memiliki tradisi keberlanjutan yang kuat. Integrasi antara inovasi modern dan tata nilai tradisional ini dapat menjadikan Bali sebagai salah satu region regeneratif paling maju di Asia Tenggara.
Melampaui pariwisata tidak berarti menolak keberadaannya. Pariwisata tetap menjadi bagian penting identitas Bali. Namun menjadikannya satu-satunya tumpuan adalah risiko besar yang tidak lagi masuk akal. Masa depan Bali ada pada keberanian meninjau kembali paradigma pembangunan, menggali potensi laut, hutan, dan lahan produktif yang selama ini terpinggirkan, serta membangun struktur ekonomi yang kokoh dan merata di seluruh kabupaten.
Jika Bali berani memilih jalan regeneratif ini, pulau ini bukan hanya akan pulih dari tekanan masa lalu, tetapi juga tumbuh menjadi wilayah yang lebih adil, lebih tangguh, dan lebih selaras dengan alamnya sendiri.










