Politik elektoral merupakan fondasi dari sistem demokrasi Indonesia, dengan pemilihan presiden dan legislatif yang diselenggarakan setiap lima tahun sekali. Namun, di balik lapisan kemajuan demokrasi terdapat tantangan yang mengakar, termasuk korupsi, jaringan patronase, dan manipulasi proses pemilu.
Alan Ware memberikan kerangka kerja untuk memahami bagaimana pemimpin yang sedang berkuasa dapat menumbangkan proses demokrasi untuk mempertahankan kekuasaan. Kudeta elektoral terjadi ketika para elit yang berkuasa memanipulasi mekanisme pemilu, seperti intimidasi pemilih, kecurangan, atau diskriminasi, untuk mendapatkan kemenangan dengan cara yang tidak sah. Tidak seperti kudeta tradisional, yang melibatkan intervensi militer secara terbuka, kudeta pemilu beroperasi dalam batas-batas proses pemilu, sehingga tampak punya basis legitimasi.
Salah satu aspek kunci dari teori kudeta pemilu adalah penekanannya pada peran petahana dalam mengatur manipulasi pemilu. Tidak seperti aktor eksternal dalam kudeta tradisional, seperti jenderal militer atau faksi oposisi, para pemimpin petahana menggunakan kontrol mereka atas sumber daya negara, institusi, dan aparat keamanan untuk mengorkestrasi permainan pemilu demi kepentingan mereka. ketidakadilan kekuasaan ini memungkinkan para petahana untuk mengeksploitasi lembaga-lembaga demokrasi yang ada untuk tujuan-tujuan yang tidak demokratis, dan dengan demikian merusak fondasi demokrasi.
kudeta elektoral sering terjadi dalam konteks di mana lembaga-lembaga demokrasi lemah, tidak netral, atau rentan terhadap manipulasi. Dalam lingkungan seperti itu, para petahana mengeksploitasi celah kelembagaan, mekanisme penegakan hukum yang lemah, dan tidak adanya checks and balances yang kuat untuk mengkonsolidasikan cengkeraman mereka pada kekuasaan. Fenomena ini menunjukkan hubungan yang kompleks antara struktur demokrasi formal dan dinamika kekuasaan informal dalam proses pemilu.
Teori kudeta pemilu juga menyoroti sifat manipulasi pemilu yang memiliki banyak sisi, yang tidak hanya mencakup kecurangan di kotak suara, tetapi juga mencakup berbagai taktik yang bertujuan untuk mendistorsi hasil pemilu. Taktik-taktik ini dapat mencakup intimidasi pemilih melalui kekerasan atau paksaan, manipulasi daftar pemilih, kriminalisasi terhadap media oposisi dan masyarakat sipil, dan penggunaan sumber daya negara untuk tujuan partisan. Dengan menggunakan taktik-taktik ini secara strategis, para petahana dapat menciptakan atmosfer ketakutan, ketidakpastian, dan sikap apatis yang merusak integritas proses pemilu dan mengurangi kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga demokrasi.
Selain itu, kudeta elektoral sering kali melibatkan kerja sama antara petahana, lembaga negara, dan kelompok kepentingan yang kuat, seperti elit bisnis atau faksi militer, yang mendapatkan keuntungan dari kelanjutan status quo. Kerja sama ini memperkuat struktur kekuasaan yang ada dan melanggengkan siklus otoritarianisme, korupsi, dan impunitas di dalam lembaga politik. Akibatnya, kudeta elektoral tidak hanya merusak prinsip-prinsip demokrasi, tetapi juga memperburuk kesenjangan sosial, polarisasi politik, dan disfungsi kelembagaan.
Di Indonesia, contoh-contoh kudeta pemilu dapat diamati melalui berbagai cara, mulai dari pembelian suara dan intimidasi hingga manipulasi lembaga-lembaga pemilu. Salah satu contoh penting adalah pemilihan presiden 2024, yang memajukan pasangan yang dibekingi presiden petahana, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming, memenangi kontestasi dengan banyak dugaan kecurangan terstruktur.
Sepanjang kampanye, tuduhan malpraktik pemilu dan penindasan pemilih merajalela, dengan para pendukung oposisi menuduh pemerintah memainkan sumber daya negara demi kepentingan petahana. Selain itu, laporan-laporan kecurangan, seperti ketidaksesuaian dalam pendaftaran pemilih dan manipulasi kotak suara, terjadi di mana-mana. Situasi ini menimbulkan kekhawatiran tentang integritas proses pemilu, dan menurunkan tingkat kepercayaan demokrasi di masyarakat.
Sementara itu, peran politik uang tidak dapat diremehkan dalam pemilu di Indonesia, di mana para kandidat seringkali menggunakan pengeluaran yang besar dan jaringan patronase untuk mengamankan kemenangan. Praktik ini tidak hanya merusak prinsip-prinsip demokrasi, tetapi juga melanggengkan siklus korupsi dan impunitas di dalam lembaga politik.
Dalam konteks Indonesia, politik uang muncul dalam berbagai bentuk, mulai dari pembelian suara secara terang-terangan hingga bentuk-bentuk yang lebih halus seperti pemberian bantuan sosial dari pemerintah dengan embel-embel. Salah satu praktik yang paling umum adalah pembagian uang tunai, hadiah, atau insentif lain kepada pemilih sebagai imbalan atas dukungan mereka. Kandidat dan partai politik juga dapat menawarkan pekerjaan, bantuan, atau akses ke sumber daya sebagai imbalan atas kesetiaan politik, yang secara efektif membeli suara dan merusak prinsip pemilu yang bebas dan adil.
Dengan berfokus pada interseksi antara institusi formal dan dinamika kekuasaan informal, kudeta elektoral menyoroti interaksi yang kompleks antara demokrasi dan otoritarianisme dalam konteks pemilu. Selain itu, juga menyoroti taktik yang digunakan oleh petahana untuk menumbangkan norma-norma demokrasi.
Sebagai kesimpulan, konsep kudeta elektoral memberikan kerangka kerja yang berharga untuk menganalisis dinamika politik Indonesia. Meskipun Indonesia telah membuat langkah signifikan menuju demokratisasi sejak jatuhnya rezim Suharto, masih banyak tantangan yang harus dihadapi untuk memastikan pemilu yang bebas, adil, dan transparan. Fenomena kudeta elektoral memberikan ilmu yang berharga bagi para pembuat kebijakan, aktor masyarakat sipil, dan pengamat internasional yang berusaha menjaga demokrasi dan mempromosikan integritas pemilu di Indonesia.
Ke depannya, mengatasi masalah-masalah seperti korupsi, intimidasi pemilih, dan manipulasi lembaga-lembaga pemilu akan menjadi sangat penting dalam memperkuat lembaga-lembaga demokrasi Indonesia dan mendorong proses politik yang lebih inklusif. Dengan tetap waspada terhadap hantu kudeta elektoral, Indonesia dapat melanjutkan perjalanannya menjadi negara demokrasi yang dinamis dan tangguh.
Abror Torik Tanjilla, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia