Halaman rumah I Kadek Budra (56), warga Banjar Bilukpoh Kangin, Kelurahan Tegalcangkring, Kecamatan Mendoyo, Jembrana nampak sudah mulai ditata. Selain menata lahan untuk lokasi merajan, ia juga mulai membuat sumur bor. Rumahnya adalah salah satu lokasi korban banjir bandang akibat meluapnya Sungai Bilukpoh, Kecamatan Mendoyo, Kabupaten Jembrana, Bali pada 16 Oktober 2022 lalu. Rumahnya hanya terletak beberapa meter dari bibir sungai tersebut.
Di bagian dinding rumahnya masih terlihat bekas tinggi genangan air atas peristiwa kelam itu. Beberapa bagian rumahnya, seperti pilar, beberapa pintu dan jendela, sudah diganti dengan yang baru.
Kadek Budra yang berprofesi sebagai tukang bangunan ini merupakan salah satu warga yang memberanikan diri untuk tinggal kembali di rumah lamanya usai diterjang banjir bandang pada Oktober 2022 lalu. Beberapa warga lain yang jadi korban banjir memilih tinggal di tempat kerabat bahkan ada yang mengontrak rumah di tempat lain.
“Sebulan setelah banjir bandang itu saya sudah tinggal ke sini. Saya perlahan tata dan bersihkan,” ucap pria paruh baya ini.
Dia melanjutkan, sejak akhir tahun lalu ia sedikit demi sedikit menata halaman rumahnya. Sebab, pasca banjir bandang terjadi, rumahnya dipenuhi kayu-kayu besar. Bahkan, dalam rumahnya juga banyak terdapat lumpur dan satu bangunan rumah sebelah utara dapur juga hilang atau rusak parah. Tumpukan kayu dan lumpur perlahan ia bersihkan bersama istrinya.
Bantuan dana stimulan senilai Rp50 juta dari Pemprov Bali digunakan untuk memperbaiki rumah secara bertahap. Misalnya untuk menata bagian merajan, hingga mengganti pintu serta kusen jendela rumahnya.
“Saya pelan-pelan. Dapat uang hasil kerja saya perbaiki beberapa bagian rumah seperti tiang di depan rumah saya ini patah dulu diterjang banjir,” ucapnya sembari menunjuk ke arah halamannya.
Namun begitu, kata dia, rasa waswas atau khawatir selalu muncul di benak dia dan istrinya ketika melihat awan tebal di arah utara. Karena pada saat banjir bandang terjadi, awan gelap tebal terjadi di utara selama beberapa jam. Sehingga, ketika terjadi awan tebal di utara pada sore hari, ia langsung mengungsikan diri ke rumah mertuanya di wilayah Desa Penyaringan.
“Kalau siang masih bisa kita lihat. Kalau sudah sore sampai malam saya memilih untuk mengungsi ke rumah mertua. Kebetulan dekat juga di Penyaringan,” tuturnya.
Dia mewakili seluruh korban banjir sebelumnya berharap peristiwa itu tidak terjadi lagi. Dia juga berharap Jembatan Bilukpoh baru yang direncanakan dibangun lebih tinggi pada 2024 mendatang bakal diwujudkan. Tinggi jembatan baru disebutkan dua meter lebih tinggi dari jembatan yang sudah ada.
“Semoga saja jembatan baru jadi dibangun tahun depan. Sehingga kami tidak perlu khawatir lagi jika hujan deras di utara karena kayu bakal lewat tanpa menghambat jembatan,” harapnya.
Sebelumnya, korban banjir bandang merasakan trauma mendalam. Sebagian rumah warga rusak parah, bahkan masih ada yang tertumpuk kayu. Secara umum, bencana alam yang mengepung Kabupaten Jembrana mengakibatkan 3.889 unit rumah warga terdampak. Dari jumlah itu, sedikitnya ada 162 kepala keluarga (KK) saat ini mengungsi. Mereka awalnya mengungsi di posko-posko pengungsian yang disediakan. Namun, saat ini hanya masih tersisa 7 KK yang mengungsi di Posko Pengungsian Balai Tempek Kerta Sari Bilukpoh Kangin.
Seorang warga terdampak, Ida Ayu Wiratmi (64) menuturkan, dirinya bersama keluarga telah melalui tiga kali banjir bandang aliran sungai Bilukpoh. Yakni tahun 1998, 2018, dan terakhir Oktober 2022.
“Saya ingat sekali, banjir pertama yang saya alami saat anak saya berusia 3 tahun. Saat itu tidak separah saat ini. Yang paling parah adalah tahun lalu,” tutur wanita yang rumahnya berada paling timur atau di pinggir Sungai Bilukpoh.
Dia sangat berharap, kali ini adalah banjir bandang yang terakhir kalinya. Semoga tidak ada lagi bencana alam yang menyebabkan warga menjadi susah.
“Kami harap relokasi menjadi solusi. Tapi yang kami pikirkan terhadap relokasi ini adalah biaya upakaranya,” ia bingung.
Senada dengan warga lain, Gusti Biang Raka (60), ia bersama keluarga sudah merasakan tiga kali dampak banjir bandang. Namun, peristiwa yang terjadi pada 17 Oktober 2022 lalu adalah yang terparah. Volume air dan volume material banjir sangat besar. Rumahnya pun rusak parah dan terendam material kayu.
“Yang hanya saya pikirkan adalah rumah. Sekarang saya tak punya rumah, hanya mencoba pinjam ke mereka yang punya tempat lebih,” tutur Biang Raka. Saat itu, ia hanya bisa memanfaatkan gedung pencetakan batako milik warga lain. Gudang pembuatan batako tersebut sudah lama tak berfungsi dan dianggap layak untuk ditempati sementara.
Hutan yang Merana
Banjir bandang yang membuat Raka, Wiratmi, Budra, dan warga lain mengungsi itu sudah hampir satu tahun berlalu. Namun, jejak-jejaknya masih tersisa. Tidak hanya sebagian korban yang masih mengungsi, tetapi juga tentang bagaimana karut marut pengelolaan hutan di kabupaten pemilik hutan terluas di Pulau Bali ini.
Jembrana berasal dari dua kata, yaitu jimbar dan wana. Artinyahutan belantara. Sesuai namanya, kabupaten di ujung barat Bali ini memiliki sepertiga hutan di Bali. Luasan hutan Kabupaten Jembrana 41.351,27 ha atau 7,34 persen dari luas Pulau Bali. Dibandingkan seluruh hutan di Pulau Bali, luas hutan di Jembrana lebih dari 31,61 persen. Luas hutan di kabupaten ini mencapai 41,07 persen dari luas daratan Kabupaten Jembrana dimana lebih dari 80 persen berupa fungsi lindung.
Namun, pada masa transisi Orde Baru menuju Era Reformasi, banyak warga justru merambah hutan lindung karena terdesak kebutuhan ekonomi. Alhasil, sebagian hutan di daerah berjuluk gumi makepung ini beralih fungsi. Dari paru-paru dunia menjadi ladang atau kebun dengan tanaman yang kurang mampu menyerap air, seperti pisang dan kakao.
Pada akhir 2018 dan 16 Oktober 2022 lalu, dampak perambahan hutan sepuluh tahun terakhir akhirnya dirasakan masyarakat, terutama di hilir atau penyanding daerah aliran sungai (DAS) Bilukpoh. Banjir bandang menerjang lahan pertanian dan pemukiman warga Desa Penyaringan dan Kelurahan Tegalcangkring, Kecamatan Mendoyo. Mereka yang notabene bukan penggarap lahan hutan menjadi korban. Puluhan rumah dan warga terdampak bencana alam tersebut. Bahkan belasan rumah warga tak bisa ditempati karena hancur sehingga tak layak ditempati lagi.
Menurut data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jembrana, pada Oktober 2022 lalu, banjir bandang di DAS Bilukpoh, penghubung Desa Penyaringan dengan Kelurahan Tegalcangkring, Kecamatan Mendoyo mengakibatkan ratusan kepala keluarga (KK) terdampak.
Di Banjar Anyar Kelod, Desa Penyaringan tercatat 179 jiwa/59 KK yang terdampak banjir bandang. Kemudian di Lingkungan Bilukpoh Kangin, Kelurahan Tegalcangkring tercatat 231 jiwa/72 KK yang terdampak. Dari jumlah warga terdampak, sedikitnya 32 rumah masuk dalam kategori rusak parah dan berada di zona rawan mengalami bencana serupa lagi.
Jumlah Peristiwa Bencana 2022
Pemerintah Provinsi Bali dan daerah akhirnya sepakat membantu warga terdampak dengan relokasi lahan agar mereka tidak disapu banjir bandang lagi. Meskipun begitu, jauhnya lokasi dan kurangnya dukungan akses membuat 32 KK (6 KK warga Anyar Kelod dan 26 KK warga Bilukpoh Kangin) yang diusulkan mendapat relokasi akhirnya menolak. Mereka merasa tidak diperhatikan karena pemerintah hanya menyediakan lahan, tetapi tidak mempertimbangkan aspek lain, seperti akses, jarak dan penghidupan warga terdampak.
Akhirnya, jalan terakhir yang diterima warga hanya berupa bantuan dana stimulan. Nilainya sekitar Rp 25-50 juta sesuai kategori kerusakan rumah. Khusus mereka yang rumahnya hancur dan tak bisa ditempati lagi menerima Rp50 juta. Warga terdampak banjir, dari kategori berat hingga kategori ringan, mendapat bantuan dana biaya pembersihan Rp1 juta. Total jumlah penerimanya 172 KK di seluruh wilayah. Bantuan tersebut khusus kepada mereka yang rumahnya tergenang air dan lumpur.
Potensi Bencana
Banjir bandang pada Oktober 2022 termasuk salah satu bencana alam terbesar di Jembrana. BPBD Jembrana mengklasifikasikan semua desa/kelurahan di Jembrana berdasarkan potensi kerawanan bencana alam. Sedikitnya ada sembilan jenis bencana yang berpotensi terjadi di Jembrana. Bencana tersebut berupa gempa bumi, banjir, tanah longsor, angin topan atau puting beliung, kekeringan, abrasi, kebakaran hutan atau lahan, kebakaran gedung dan pemukiman, hingga pohon tumbang.
Secara umum sebanyak 51 desa/kelurahan di Jembrana berpotensi mengalami bencana dengan kerawanan berbeda. Rinciannya, di Kecamatan Melaya, dari 10 desa/kelurahan, sedikitnya ada 49 potensi kerawanan bencana alam yang didominasi gempa bumi. Di Kecamatan Negara, dari 12 desa/kelurahan, sedikitnya ada 60 potensi kerawanan bencana alam yang didominasi gempa bumi serta kebakaran gedung dan pemukiman.
Di Kecamatan Jembrana, dari 10 desa/kelurahan, sedikitnya ada 45 potensi kerawanan bencana alam yang didominasi oleh gempa bumi dan banjir. Di Kecamatan Mendoyo, dari 11 desa/kelurahan, sedikitnya ada 57 potensi kerawanan bencana alam yang didominasi oleh gempa bumi, banjir dan pohon tumbang. Di Kecamatan Pekutatan, dari 8 desa sedikitnya ada 47 potensi kerawanan bencana alam yang didominasi gempa bumi, tanah longsor dan pohon tumbang.
Kepala Pelaksana BPBD Jembrana, I Putu Agus Artana Putra mengakui, pihaknya bersama jajaran melakukan pemetaan wilayah rawan bencana sesuai potensi wilayah. Secara umum, bagian utara wilayah Jembrana lebih dominan mengalami peristiwa bencana tanah longsor. Kemudian pada bagian tengah rentan mengalami kekeringan, gempa bumi, kebakaran, tanah longsor hingga banjir. Sementara itu, bagian wilayah selatan berpotensi mengalami bencana seperti abrasi, gelombang tinggi, hingga tsunami.
“Semua wilayah Jembrana berpotensi mengalami bencana alam sesuai kondisi wilayahnya,” kata Agus.
Sementara itu, data bencana tahun 2022 tercatat sebanyak 170 titik peristiwa bencana alam. Dari jumlah tersebut, bencana banjir terutama di pemukiman warga. Salah satu bencana besar adalah banjir bandang pada 16 Oktober 2022 lalu. Kerugian akibat banjir di puluhan titik bencana itu mencapai puluhan miliar.
Rinciannya, pada Januari tercatat 13 titik peristiwa di antaranya pohon tumbang, bangunan roboh, banjir hingga kebakaran. Februari tercatat ada 8 titik bencana alam, seperti pohon tumbang dan tanah longsor. Maret tercatat ada 12 titik kejadian bencana, seperti pohon tumbang, banjir, tanah longsor hingga kebakaran. April tercatat ada 9 titik mulai kebakaran, yaitu pohon tumbang hingga kecelakaan laut. Mei tercatat ada 4 titik bencana, seperti bangunan roboh, pohon tumbang dan seorang warga jatuh ke sumur. Juni ada 5 titik kejadian seperti pohon tumbang, gelombang tinggi serta abrasi hingga longsor.
Kemudian pada Juli ada 5 titik peristiwa mulai dari kebakaran, atap bangunan roboh hingga abrasi. Agustus ada 11 titik kejadian seperti tanah longsor, pohon tumbang hingga kebakaran. September tercatat ada 6 titik kejadian seperti kebakaran dan pohon tumbang.
Pada Oktober meningkat drastis karena cuaca ekstrem melanda semua wilayah. Pada bulan tersebut, tercatat ada 81 titik kejadian didominasi banjir. Peristiwa banjir hampir merata di beberapa wilayah. Bencana pada bulan tersebut bahkan mengakibatkan seorang siswi SMAN 2 Mendoyo terseret air bah dan ditemukan meninggal dunia di pantai DAS Bilukpoh.
Pada November tercatat ada 11 titik kejadian, seperti pohon tumbang, kebakaran hingga atap bangunan roboh. Dan, pada akhir tahun atau Desember, tercatat 10 titik kejadian seperti tanah longsor dan pohon tumbang.
Kemudian di tahun 2023 sejak Januari-Juli tercatat ada 82 titik peristiwa bencana alam. Rinciannya, pada Januari 14 titik peristiwa seperti banjir, pohon tumbang, tanah longsor dan bangunan roboh. Februari ada 25 titik peristiwa mulai dari banjir, kebakaran pasar, pohon tumbang dan lainnya. Maret ada 11 titik peristiwa seperti pohon tumbang, tanah longsor.
Pada April ada 3 peristiwa seperti dahan pohon patah dan kebakaran. Mei tercatat ada 7 titik peristiwa seperti pohon tumbang dan kebakaran. Juni ada 5 titik peristiwa seperti pohon tumbang dan kebakaran. Hingga 7 Juli 2023, jumlah peristiwa meningkat menjadi 17 titik seperti pohon tumbang, tanah longsor dan didominasi banjir. “Selama dua tahun ini, intensitas bencana alam memang cukup tinggi, terutama pada Oktober 2022 lalu,” ungkap Agus.
Saling Duga Penyebab Bencana
Tidak mudah menemukan jawaban apa penyebab meningkatnya jumlah bencana pada Oktober 2022 dibanding sebelas bulan lainnya. Tingginya curah hujan pada bulan tersebut menjadi dugaan. Namun, dugaan lain adalah perubahan kondisi hutan di hulu. Alasannya, saat banjir 2018 dan 2022 lalu ditemukan banyak batangan pohon kayu besar yang terbawa arus air bah. Kayu-kayu itu menumpuk di Jembatan Bilukpoh.
Kondisi hutan Jembrana saat ini memang berbeda dibandingkan puluhan tahun lalu. Sangat memprihatinkan. Sejumlah area ditanami tanaman ladang daripada pohon hutan.
Kerusakan hutan Jembrana ini berawal dari perambahan hutan bahkan penebangan hutan serta penyuntikan pohon terjadi pada masa transisi era Orde Baru menuju Orde Reformasi pada 1998 silam. Saat itu, yang melakukan perambahan tidak hanya warga penyanding, melainkan orang lain dari luar wilayah. Mereka membabat hutan untuk kepentingan tertentu. Warga yang bertani di hutan, istilahnya warga penyanding hutan, sudah merambah sejak lebih dari 20 tahun lalu.
Salah satu praktik yang sering dilakukan adalah dengan menyuntik pohon. Pelaku menyasar pohon besar yang dianggap menghalangi sinar matahari di kebunnya. Praktik ini dilakukan untuk mengelabui proses penebangan liar, karena jika ketahuan bakal dijerat hukuman, termasuk pidana.
Pohon dibor di bagian batang lalu dimasukkan cairan herbisida dimethylacetamide (DMA). DMAc atau DMA adalah senyawa organik cairan tidak berwarna, larut dalam air, dan sangat mendidih. Cairan ini biasanya digunakan sebagai pelarut polar dalam sintesis organik. DMA larut dengan sebagian besar pelarut lain, meskipun kurang larut dalam hidrokarbon alifatik. Setelah itu hanya tinggal menunggu waktu dalam beberapa bulan.
Pelan-pelan, pohon berusia puluhan atau bahkan ratusan tahun itu pun mati lalu tumbang. Matinya pohon mengakibatkan kurangnya resapan air.
“Memang benar terjadi (perambahan). Saat itu saya sudah jadi kelian banjar. Ketika itu pohon kayu yang bermanfaat dibawa, sedangkan yang tidak dibuang begitu saja,” tutur Ketua Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Penyaringan Gede Sugiana.
Menurut pengakuan Sugiana praktik penyuntikan pohon menggunakan DMA sudah lama dilakukan oleh warga yang bertani di hutan. Alasannya, tanaman kebun mendapat cahaya cukup untuk tumbuh.
Namun Sugiana mengingatkan, selain karena perambahan, penyebab banjir bandang adalah karena banyaknya longsor pada titik kawasan hutan blok inti. Kemudian, resapan air yang dulunya sangat maksimal kian berkurang. Bahkan tanah hutan semakin kering karena komoditas tanaman berumur pendek yang sedikit menyimpan air seperti vanili, kakao, dan pisang.
Wayan Kastawa, salah satu warga di Desa Yehembang Kauh menuturkan, perambahan hutan untuk mendukung kondisi ekonomi masyarakat penyanding hutan di desanya mulai dari tahun 2007 silam. Sejak saat itu, masyarakat masuk dan mengelola hutan secara ilegal. Perambahan hutan dikoordinir beberapa orang secara spontan. Tujuannya hanya mengelola lahan untuk ditanami komoditas yang bermanfaat secara ekonomis sehingga mampu menopang ekonomi keluarga secara umum.
Saat itu, anggota kelompok yang terdata sebanyak 125 orang dari berbagai wilayah, bukan hanya dari Desa Yehembang Kauh. Ada beberapa warga dari desa sebelah seperti Yehembang dan lainnya. Prosesnya adalah membersihkan areal hutan yang lebat secara bergotong royong kemudian dikapling sedemikian rupa. Akibatnya, luasan saat itu tidak diketahui, bergantung pada kesepakatan. Selanjutnya, mereka bercocok tanam dengan komoditas pisang. Sebab, pisang merupakan komoditas yang paling cepat menghasilkan dengan perawatan tergolong mudah.
Semua luas lahan itu terutama yang kosong itu ditanami pisang. Itu dilakukan semua kelompok. Setelah pisang ada beberapa warga yang menanam kakao hingga kemudian di tahun 2015 lalu baru mulai menanam kopi.
Setelah menyadari dampaknya, kesadaran warga mulai tumbuh. Ada anjuran tanam sistem tanam tuwuh, menanam kayu keras seperti durian, manggis, hingga pohon pala atau jebug arum.
“Tanaman ini sangat berfungsi untuk hutan karena usianya sangat panjang dan bisa menjadi resapan yang lebih maksimal,” tuturnya.
Disinggung mengenai pendapatan dari hasil kebun garapan lahan milik negara, Wayan Kastawa tak memberikan keterangan secara rinci. Ia hanya menyebutkan bahwa saat itu hasil dari penjualan hasil kebun, terutama pisang, mencukupi. Artinya, hasil kebun bisa menunjang perekonomian keluarga di luar kebutuhan pokok. Kemudian saat beralih ke komoditas kopi, hasil penjualan justru meningkat. Sebab, pemeliharaan dan hama lebih sedikit.
“Karena sebagian besar warga di sini memiliki tanah hak milik atau kebun pribadi juga,” katanya.
Merespon salah satu penyebab banjir bandang Oktober 2022 lalu disebabkan oleh penyelewengan hutan pemanfaatan, Wayan Kastawa tidak berani berkomentar lebih jauh. Namun, ia mengakui apapun yang sudah dilakukan dirinya dan warga lain sebagai penyanding hutan, mereka akan tetap dituduh sebagai penyebab bencana alam saat itu. Bahkan, kerap kali ketika ia bertandang ke daerah hulu, masyarakat sekitar justru mengucilkannya karena tetap dinilai salah.
Maraknya penyuntikan pohon di hutan yang diduga menjadi penyebab terjadinya banjir bandang melahirkan pertanyaan: bagaimana sebenarnya pengawasan terhadap pengelolaan hutan di Jembrana?
Agus Artana enggan berkomentar lebih jauh. Menurutnya, kewenangan pengelolaan hutan di Jembrana ada di Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Bali Barat. Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Jembrana, Dewa Gede Ary Candra Wisnawa pun menyatakan hal yang sama. Menurut Ary, masalah deforestasi merupakan tanggung jawab KPH Bali Barat. DLH hanya melaksanakan penghijauan untuk mendukung tutupan lahan tetap terjaga.
“Setiap tahun, kami rutin melaksanakan penghijauan, bukan hanya di hutan, tapi juga di kawasan mangrove,” jelasnya.
Mitigasi Bencana
Belajar dari bencana banjir bandang pada Oktober 2022, BPBD Jembrana pun merancang pembentukan Desa Tangguh Bencana (Destana) di seluruh desa di Kabupaten Jembrana. Tujuannya untuk meminimalisir korban jiwa dan memudahkan penanganan bencana alam. Destana akan berperan melakukan penanganan awal pada sebuah kejadian bencana alam. Selain personel, Destana juga diharapkan memiliki alat penanganan sesuai potensi atau ancaman bencana di wilayah masing-masing.
“Selama ini kita sudah lakukan sosialisasi mitigasi bencana terhadap masyarakat terkait ancaman bencana alam apa saja di wilayahnya masing-masing,” ucap Agus Artana.
Sebagai langkah awal, enam desa kawasan pesisir akan diutamakan membentuk Destana. Sebelumnya enam desa ini juga mendapat perhatian lebih karena menjadi kawasan yang paling berpotensi akan gempa bumi dan tsunami.
“Selain di desa, kita juga rancang Kecamatan Tangguh Bencana. Tujuannya untuk memudahkan koordinasi atau komunikasi ketika terjadi suatu bencana di wilayah kita,” ujarnya.
Ketika Destana ini terbentuk, diharapkan tiap desa memiliki alat penanggulangan bencana sesuai potensi masing-masing. Misalnya di wilayah Kecamatan Negara, yang notabene lebih banyak terjadi banjir, bisa menyiapkan mesin penyedot air. Kemudian di Kecamatan Melaya ancamannya pohon tumbang, desa menyiapkan mesin pemotong pohon.
“Tapi semua wilayah akan tetap kita back up. Tidak mungkin kita serahkan begitu saja,” tegasnya.
Selain mitigasi dalam bentuk kesiapan menghadapi bencana, penting pula untuk mencegah agar bencana alam seperti banjir bandang tersebut tidak berulang. Salah satunya dengan memperbaiki sistem pengelolaan hutan, termasuk melibatkan warga penyanding hutan dalam pengelolaan. Sejak 2019, warga penyanding hutan sudah mengusulkan izin Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD).
Sesuai data KPH Bali Barat kawasan hutan di Bali memiliki luas 132.690,69 ha. Luas itu terdiri dari hutan lindung (HL) seluas 97.407,95 ha, hutan produksi tetap (HP) seluas 1.872,80 ha, hutan produksi terbatas (HPT) seluas 7.204.09 ha, hutan produksi yang bisa dikonversi seluas 186,78 Ha, taman hutan raya (Tahura) seluas 1.129,19 ha, Cagar Alam (CA) seluas 1.773,80 ha, Taman Wisata Alam (TWA) seluas 4.113,19 dan Taman Nasional Bali Barat seluas 19.002,89 ha.
Kabupaten Jembrana mewilayahi hutan lteruas 84.180 ha termasuk 37.182,13 ha di luar hutan lindung. KPH Bali Barat memiliki strategi dan nama tersendiri untuk membagi hutan di wilayah Jembrana Bali dalam tiga kelompok. Pertama, maha wana yaitu blok inti. Kedua, tapa wana yaitu blok khusus. Ketiga, sri wana yaitu blok pemanfaatan.
Di beberapa kawasan hutan, ada zona swakelola yang sebelumnya merupakan hutan lindung dan beralih fungsi menjadi hutan produksi. Untuk menyiasati perambahan hutan kembali, saat ini kementerian membuat sistem perhutanan sosial .
Strategi lain dengan membuat hutan kelola yang disahkan melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) No. 9 Tahun 2021 tentang Perhutanan Sosial. Perhutanan Sosial adalah sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam Kawasan Hutan Negara atau Hutan Hak/Hutan Adat oleh masyarakat setempat atau masyarakat hukum adat. Putusan ini menjadi dasar KPH Bali Barat untuk mengawasi dan pembinaan ke masyarakat yang mengelola hutan.
Menurut Kepala Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) Bali Barat Agus Sugiyanto sebelum ada perhutanan sosial banyak terjadi penyimpangan di beberapa kawasan seperti pembabatan hutan. Pada saat itu petugas lebih mudah memidanakan. Tujuannya semata-mata memberikan efek jera kepada masyarakat yang merambah hutan. Namun, ternyata cara itu bukan solusi yang membuat efek jera. Mereka malah dendam sehingga setelah masa hukuman selesai mereka melakukan hal sama bahkan lebih fatal dari sebelumnya.
Maka, KPH Bali Barat pun memilih untuk membina guna memberikan ruang dan tanggung jawab pada masyarakat untuk mengelola hutan. Jika ada penyimpangan di daerah zona kelola, pihak KPH lebih memilih memberikan edukasi dan nasihat kepada masyarakat pengelola hutan ketimbang sanksi.
Seiring berjalannya waktu dan desakan masyarakat, terbentuklah Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) dan Kelompok Tani Hutan (KTH). Lembaga ini untuk memberikan ruang bagi masyarakat untuk ikut mengelola hutan. Pemetaan pun menjadi lebih teratur. Pengawasan-pengawasan tidak lagi dianggap mengancam keberlangsungan mereka yang bertani di hutan.
Ketika belum memiliki izin, pihak desa hanya mengimbau kepada kelompok yang mengelola hutan pemanfaatan. Di sisi lain, para penggarap lahan tidak terlalu peduli pada imbauan. Pihak desa pun seolah tak berdaya. Hanya KPH Bali Barat yang bisa menerapkan aturan dan sanksi hukum terhadap mereka yang melakukan deforestasi.
Ketua LPHD Penyaringan, Gede Sugiana menuturkan, dari 13 banjar dinas di Desa Penyaringan, pemanfaatan hutan di wilayah utara desa hanya dikelola kelompok dari dua banjar dinas, yaitu Banjar Tibu Beleng Kaler dan Banjar Tibu Tanggang. Izin swakelola yang sudah mendapatkan SK saat ini seluas kurang lebih 76 hektare.
Menurutnya, jika tidak ada lembaga atau kelompok yang mengawasi kegiatan masyarakat yang bertani di hutan, lambat laun kawasan hutan di Desa Penyaringan akan berubah menjadi ladang. Kayu-kayu besar akan semakin banyak yang mati akibat dari mereka yang melakukan penjarangan pohon untuk bertani.
“Akhirnya, pada tahun 2019 kita usulkan membentuk LPHD agar hutan tersebut dikelola lembaga dan terdata dengan baik. Selain itu sanksi-sanksi yang diberikan kepada anggota kelompok nantinya sesuai dasar hukum yang tertera,” Sugiana menjelaskan.
Ketika ada oknum anggota kelompok yang hendak main-main bakal langsung ditindak tegas. Terlebih lagi ketika diketahui lahan milik seorang anggota kelompok dijualbelikan kemudian terjadi pelanggaran, maka nama anggota yang tercantum di daftar kelompok menjadi penanggung jawab.
Dia melanjutkan, setelah izin pengelolaan terbit dari KemenLHK, segala bentuk pengelolaan, aturan, hingga sanksi sudah diatur secara jelas. Sejak saat itu, pengelola langsung melakukan langkah menyelesaikan administrasi seperti pendataan anggota kelompok, luas kawasan dan peta lokasi hutan pemanfaatan, hingga meminta surat pernyataan anggota kelompok lengkap dengan materai.
Terlebih lagi, semua kawasan tersebut sudah terdata melalui peta satelit. Luasan tersebut didata oleh 299 orang warga penyanding hutan. Sekarang sudah ada petanya. Sanksinya pun jelas. Siapa yang berulah bisa berujung pencabutan hak pengelolaan jika pelanggarannya fatal. “Mereka yang terdaftar di kelompok bertanggung jawab menjaga, memelihara, jenis tanamannya dan lainnya. Sehingga mereka tidak mungkin berani sekarang,” tegas Sugiana.
Namun begitu, di luar kawasan tersebut masih ada kelompok lain yang melakukan pengelolaan. Mereka hanya dirangkul oleh LPHD agar mengikuti segala jenis aturan yang berlaku. Sesuai data, para kelompok memiliki luasan berbeda, mulai dari belasan are hingga maksimal hampir 4 ha. Sebab, luasan tersebut sudah dikelola anggota kelompok sejak lama.
Selain menjaga hutan, anggota kelompok juga wajib membayar pendapatan negara bukan pajak (PNBP) setiap tahun. Pada tahun 2022 lalu, LPHD Penyaringan sudah menyetorkan uang sekitar Rp2 juta ke negara setiap tahun pada bulan Oktober.
“Pendapatan ini juga bergantung pada kondisi cuaca. Jika hasilnya bagus, semakin banyak yang bisa disumbangkan ke negara. Namun, jika kondisinya buruk, juga berpengaruh,” tandasnya.
Pembentukan LPHD ini dirasa sangat perlu untuk pengawasan jangka panjang dengan segala aturannya. Diharapkan dengan terbentuknya LPHD maupun KTH ini, hutan kawasan utara Jembrana semakin membaik ke depannya. Karena bicara masalah hutan tidak bisa dengan waktu satu dua tahun, perlu belasan hingga puluhan bahkan ratusan tahun.
“Coba dari dulu ada kebijakan LPHD, mungkin hutan kita bisa diselamatkan lebih awal. Mungkin sebelumnya pihak terkait mencari formula yang paling pas untuk menjaga hutan. Dan ditemukanlah model LPHD atau KTH ini,” sebutnya.
Lebih Aman
Wayan Kastawa merupakan salah satu dari ribuan anggota kelompok penggarap lahan hutan kawasan blok pemanfaatan di bagian hutan Jembrana. Ia salah satu anggota KTH Giri Amerta, Desa Yehembang Kauh, Kecamatan Mendoyo. KTH di Banjar Yeh Buah desa setempat ini telah legal atau memiliki izin pengelolaan hutan sejak tahun 2019. Dengan izin tersebut, para kelompok mengaku lebih aman untuk bekerja karena tidak harus was-was ketika ada sidak dari pihak terkait yakni polisi hutan KPH Bali Barat.
Di lokasi ini, terdapat 304 hektare menjadi kawasan pemanfaatan. Luasan tersebut dikelola oleh 225 orang. Jumlah tersebut sesuai data dalam SK yang tertuang. Luasan per orang menggarap lahan kurang 1 hektare dan maksimal 2 hektare. Karena sesuai aturan kementerian, per orang maksimal menggarap lahan dengan luasan 2 hektare.
“Pengusulan pembentukan KTH Giri Amerta bermula dari adanya program pemerintah untuk kawasan perhutanan sosial. Kita inginnya agar legal, sehingga bekerja tidak was-was lagi,” ungkap Bendahara KTH Giri Amerta ini.
Kastawa mengaku menyadari dulunya memang kami merambah hutan untuk dialihfungsikan menjadi komoditas pisang. Namun, lanjutnya, sejak beberapa tahun lalu mereka sudah berupaya untuk mengembalikan fungsi hutan dengan dukungan Yayasan IDEP. “Bahkan di lahan ini juga sudah dibentuk Hutan Belajar untuk memberikan edukasi kepada masyarakat tentang hutan dan bagaimana cara menjaganya,” tegasnya.
Menurut Kastawa, ia percaya bahwa dalam beberapa tahun ke depan masyarakat yang ingin mengelola kawasan blok pemanfaatan hutan ini semakin berkurang. Hal ini seiring dengan peningkatan status ekonomi masyarakat. Jika dulunya orang tuanya berprofesi murni sebagai petani, kini keturunannya sudah mulai bekerja di luar bidang pertanian, misalnya menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri.
“Kemungkinan dalam sepuluh tahun ke depan sudah tidak ada lagi yang ke alas (hutan). Itu karena status ekonomi sebagian anggota kelompok sudah mulai bergeser, bukan ke pertanian lagi. Anak muda sekarang lebih banyak yang bekerja di luar wilayah bahkan sampai ke luar negeri juga,” sebutnya.
“Kami harap, momentum tersebut nantinya bisa membuat hutan bisa kembali ke seperti semula. Pohon pohon keras tumbuh subur dan resapan air kembali maksimal. Artinya tanah tidak kering seperti saat ini dan tutupan lahan menjadi maksimal,” harapnya.
Kritikan Pedas
Aktivis lingkungan asal Jembrana, I Made Agus Wesnawa memberikan kritikan pedas terhadap kondisi alam di Bali khususnya Jembrana saat ini. Menurut Wesnawa, kondisi alam yang “dirusak” manusia menjadi pemicu terjadinya beberapa bencana alam yang sampai mengakibatkan korban jiwa dan kerugian hingga ratusan miliar. Kondisi ini diperparah dengan kepedulian lingkungan yang hanya menjadi narasi populis.
Wesnawa atau yang akrab dipanggil dengan Gus West bersama rekannya dalam wadah Bisnis Alternatif Sosial Ekologi (BASE) Bali dan warga sekitar Yehembang Kauh sudah mencoba solusi penyadaran ini dengan konsep hutan belajar.
Hutan belajar ini dimulai dengan keresahan warga atas berbagai masalah di hutan. Sejak 2004, warga merancang upaya pemulihan hutan salah satunya mengajukan blok khusus seluas 4 hektare untuk lokasi konservasi, pendidikan, dan lainnya seperti laboratorium hidup.
Dampak hutan belajar sejauh ini adalah mencegah penambahan tanaman ladang dan meningkatkan kerapatan pohon dengan penanaman tanaman umur panjang. “Paling penting tidak ada penebangan pohon lagi,” tambah Putu Bawa, pegiat BASE Bali lain.
Kemudian, bisa juga dengan melakukan domain public terhadap hutan. Hutan belajar beberapa kali mengajak warga menelusuri hutan (trekking) dengan melempar benih atau seeds bombing ke kawasan lereng hutan yang sulit dijangkau. Misalnya saat BASE Bali membuat Festival Wariga, memodifikasi ritual penghormatan tanaman di Bali dengan kegiatan edukasi lain melibatkan siswa sekolah. Pengunjung bisa mengamati pohon endemik seperti Kwanitan yang makin menghilang sambil melihat kebun pisang di tengah hutan.
“Pandemi COVID-19 itu sudah memberikan kita pembelajaran sangat berarti. Kita dituntut bisa survive dengan kondisi saat itu. Untuk menjaga ekologi kita juga harus melakukan seperti itu. Kita harus mencari cara mencari model apa yang cocok agar lingkungan kita terjaga, aman dan kembali seperti dahulu,” tandasnya.
Penulis: I Made Prasetia Aryawan (Tribun Bali), Putu Parta Adiguna, dan Kadek Estu Jendi Phallopy
Liputan ini adalah kolaborasi antara wartawan media di Bali dengan pewarta warga di Jembrana, didukung Kurawal Foundation.