Dalam film The People vs Agent Orange, saya nyaris mengumpat ketika film sampai pada scene di mana generasi penerus dari korban langsung Agent Orange mengalami cacat lahir atau birth defects.
Ini pertama kalinya saya mengunjungi Mash Denpasar, sebuah rumah menonton film yang terletak di jantung Kota Denpasar. Sebagaimana rumah pada umumnya, garasi untuk satu kendaraan diubah menjadi tempat parkir untuk kendaraan roda dua saja jika ingin berkunjung ke sini. Disarankan untuk menggunakan ojek online atau setidaknya bawa motor saja, karena sama sekali tidak ada ruang untuk parkir mobil. Ruangnya yang cukup kecil memungkinkan kita untuk berinteraksi dengan siapapun yang ada di dalamnya. Otomatis, mendapatkan jejaring baru menjadi hal yang tidak terelakkan.
Festival Film Kemanusiaan, sebuah acara rancangan Kino Media Foundation, bekerja sama dengan Movies that Matter untuk memutar beberapa film pilihan dari Film Activist Menu 2022. Acara yang juga didukung oleh Mash Denpasar sebagai ini menampilkan 3 film bertema serupa, 17-18 Desember 2022.
The People vs Agent Orange menjadi menu pertama yang ditayangkan dalam event ini. Film ini bercerita tentang penggunaan zat berbahaya untuk membersihkan tanaman liar bernama 2,4,5,T dan 2,4,D atau Agent Orange yang ternyata juga berdampak sangat buruk pada kesehatan manusia. Selain itu film ini juga menceritakan bagaimana usaha Tran To Nga dari Vietnam dan Carol van Strum dari Oregon, AS, untuk bertarung melawan industri chemical dan pemerintah yang terus menggunakan zat ini. Zat ini dulu digunakan tentara AS saat perang Vietnam untuk mencegah tentara Viet Kong bersembunyi di kawasan hutan.
Sesi selanjutnya adalah diskusi bersama Suriadi Darmoko dari 350 Indonesia, dimoderatori oleh Ozi, salah satu anggota Mash Denpasar. Senada dengan apa yang baru saja ditayangkan, Ozi membuka obrolan mengenai kerjasama korporat dan pemerintah untuk membentuk suatu disinformasi di masyarakat, yang kemudian diamini oleh Suriadi Darmoko, sambil menceritakan pengalamannya menghadapi hal serupa. “Ketika pemerintah dan korporat bersatu, mereka tidak hanya merekrut akademisi dan memberikan pendanaan yang besar, tapi mereka juga bisa memproduksi aturan. Semua akan menjadi lebih berat ketika aturan yang diproduksi, digunakan untuk melayani kepentingan itu.”
Fly So Far bercerita tentang perempuan asal El Salvador bernama Teodora Vasquez yang keguguran saat melahirkan bayinya. Kemudian oleh pengadilan setempat ia didakwa melakukan pembunuhan berat dan divonis 30 tahun penjara. Berada di dalam penjara, ternyata ia menemukan banyak perempuan yang senasib dengannya. Bersama 16 tahanan perempuan lain, ia berjuang untuk menemukan keadilan.
Film ini diakhiri dengan diskusi bersama Ayik dan Adelia dari Kita Sayang Remaja (Kisara). Komunitas yang berfokus pada kesehatan reproduksi dan layanan tumbuh kembang remaja, dan dimoderatori oleh Fira.
Seyran Ates: Sex, Revolution, and Islam mengisahkan Seyran Ates, perempuan yang memperjuangkan modernisasi Islam. Sesi dilanjutkan dengan diskusi jarak jauh bersama Seyran Ates dan sang sutradara, Nefise Ozkal Lorentzen.
Bicara tentang kemanusiaan dan isu lain yang beririsan dengannya, ternyata membutuhkan mental yang kuat. Terlebih jika disajikan dalam bentuk audiovisual.
Dengan rupa-rupa yang tidak bisa saya deskripsikan, saya jadi sadar bahwa Agent Orange tidak hanya memberi dampak buruk pada yang bersentuhan langsung, namun juga akan diturunkan sampai ke 3 sampai 4 keturunan selanjutnya. Pantas jika orang-orang di akar rumput melawannya.
Harus diakui bahwa isu kemanusiaan, lingkungan, dan sekitarnya adalah isu yang berat, tidak akan bisa selesai dibahas dalam diskusi semalaman. Perlu banyak waktu dan kesiapan untuk mencerna segalanya. Namun, event yang pertama kali diadakan di Denpasar ini mendapat sambutan yang cukup baik dari peminat film dan mahasiswa yang menaruh minat pada isu-isu terkait. Harapan saya, semoga kita bisa menyaksikan filmnya bersama di ruang-ruang yang lebih luas.