Dialog di ruang publik lewat seni jalanan via Bali Yang Binal tahun ini akan mendiskusikan Normal is Boring. Pernyataan apakah yang akan hadir di tembok-tembok bangunan di Pulau Nusa Penida dari goresan para seniman ini?
“Sebenarnya perlakuan publik itu yang membuat sekat di antara seni rupa jalanan,” begitu pernyataan WD (Wild Drawing) ketika ngobrol bareng setelah pemutaran film “Sofles-Limitless” acara Bali Yang Binal #9 di Warung Kopi Djoglo, 4 Mei 2021.
Dialog dan film pendek ini bagian dari acara penggalian dana bertajuk Sawer Night. Dimoderatori Rani Okta, menuju Bali Yang Binal 2021, perhelatan ke-9 dari perayaan kreativitas Komunitas Pojok, kolektif seniman street-art di Bali.
Film yang berdurasi 5 menit itu memperlihatkan dinding tinggi nan luas, lalu berdiri seseorang yang siap dengan senjatanya, cat semprot. Video full time-lapse itu menunjukkan bagaimana proses melukis cat tembok dengan menyemprot catnya ke dinding.
Saat catnya habis, ia lemas dan tersungkur ke tanah. Seakan tidak ada lagi tenaga untuk menyelesaikan coretannya di dinding yang tinggi itu. Ketika, kaleng cat menyentuh jarinya, ia bangkit seakan cat itu memberikan energi untuknya. Lalu ia menyelesaikan coretannya hingga tembok penuh warna dan gambar.
Tiap dinding digarap seniman berbeda, sehingga menunjukkan kombinasi karya beragam gaya. Musik pendukung menambah gairah video pendek ini.
Apa yang bisa dibayangkan dari lukisan-lukisan di dinding atau gedung jalanan yang menjulang? Bagaimana pengerjaannya? Apa yang para pelukis ini dapatkan dari karya-karyanya yang terpanjang di pinggiran jalan? Apa bedanya jika lukisan jalanan ini masuk galeri?
Di balik karya-karya seni rupa jalanan yang terlihat bebas, ada kesan berbeda yang menjadi tanda masing-masing aliran seni. Perbedaan kesan ini menimbulkan sekat-sekat antar seniman. Kondisi ini terjadi bertahun-tahun lalu. Dibawa hingga masa sekarang. Ada perlakuan yang berbeda antara seniman mural dengan grafiti artis. Inilah yang diceritakan dua seniman beda genre, WD dan Dnztwo.
Dua seniman jalanan ini merasakan jelas perbedaan yang menandai aliran karya mereka. Ada banyak ragam aliran dalam seni rupa jalanan. Grafiti dan mural diakui sebagai dua seni rupa jalanan yang sering mendapat stigma.
Padahal lewat seni jalanan, WD bisa berbagi karyanya ke orang lain tanpa harus datang ke galeri. Menurutnya, melukis di jalanan lebih dari nilai seni. Ada semangat dan pesan yang ditorehkan dalam seni itu.
Hal ini tak sengaja ia sadari ketika melukis di Athena, Yunani. Ketika masa referendum di Yunani. WD membuat gambar tuna wisma yg tertidur di sebuah gedung. “Hari terakhir saya menyelesaikan karya itu, ada tuna wisma yang mendatangi saya dan berterimakasih sudah melukis lukisan tuna wisma,” kenangnya.
Tuna Wisma itu bercerita tentang kondisinya, tak ada yang peduli dengannya. Ia berterima kasih karena menurutnya, mural itu adalah bentuk kepedulian dan menganggap tuna wisma ada di kota itu. Respon tuna wisma ini menjadi pengalaman WD yang sangat berkesan. Sehingga, ia selalu membawa semangat di setiap karya muralnya, bahwa seni rupa jalanan bukan sekadar corat coret belaka.
Tapi, antara seni rupa jalanan tak jarang terjadi pergesekan. Sering kali seni grafiti seakan menjadi anak tiri dalam seni rupa jalanan. “Ada perbedaan perlakuan publik saat melihat dua seni ini. Grafiti dianggap gerakan vandalisme dan ilegal,” sesalnya.
Sebagai seniman mural, WD salut dengan seniman grafiti. Meski sama-sama seni jalanan, seniman grafiti memiliki semangat perlawanan. Grafiti menjadi respon atas situasi atau permasalahan, misalnya. Karakteristik seni grafiti adalah menggunakan teks atau simbol yang khas, dan hanya kelompok pembuatnya yang paham.
Dnztwo adalah seniman jalanan yang memulai karyanya melalui seni grafiti. Ia turut bercerita tentang grafiti. Seniman ini juga ingin menyebarluaskan karya melalui tempat publik. Misalnya melukis di sepanjang jendela kereta api hingga jendela kereta tertutup lukisan.
“Kenapa kereta api? Karena kareta api keliling kota, jadi, pesan yang kita tulis di jendela kereta api bisa disebarluaskan keliling kota,” kata Dnztwo ketika sesi diskusi Bali Yang Binal #9.
Seni grafiti itu juga bisa jadi gerakan revolusi. Biasanya seniman Grafiti menyebarkan tagging dimana-mana agar kelompoknya dikenal. Masing-masing kelompok punya ciri khas penanda.
Karakter teks atau simbol ini yang tidak banyak publik paham, sehingga muncul pandangan yang membuat sekat antar seni rupa jalanan. Imbasnya, hubungan antar seniman jadi meruncing.
Sebagai seni rupa jalanan, WD sudah menorehkan kuas catnya ke mancanegara, dan menorehkan karya di jalanan itu penuh resiko. “Saya sadar melukis di jalan dan siap dengan resiko umur karya yang tidak akan bertahan beberapa jam,” ungkap WD.
Berkarya di jalanan terasa lebih dekat. Selain, penikmat karya bisa dengan bebas menikmati karya karena berada di alam. Karakteristik karya WD adalah menyatu dan menyesuaikan dengan ruang dan konteks yang berkembang di lokasi tempat ia melukis. Hal inilah yang membuat ia selalu merasa dekat dengan alam, ruangnya berkarya.
Seni mural lebih bisa diadopsi dan diterima. Mural secara kasat mata lebih mudah dipahami karena hasilnya gambar yang indah. Makanya tak jarang saat ini ada mural masuk galeri. Menurutnya, jika seni rupa jalanan ini masuk galeri akan terasa berbeda. Seakan kehilangan energi dan semangat.
Seni rupa jalanan itu ibarat bunga yang tumbuh liar. Ketika bunga itu masuk ke dalam ruangan, bunga itu dipilih lalu dijinakkan. “Begitu juga dengan seni jalanan, akan kehilangan semangatnya ketika masuk ruangan,” tandasnya.
Saat ini, seni rupa jalanan ini semakin memiliki ruang dengan perkembangan media sosial. Ketika karya sudah selesai, tinggal didokumentasikan lalu disebarkan melalui online. “Makanya ketika karya selesai, langsung difoto, upload media sosial, menurut saya itu sudah aman,” kata Dnztwo.
Dengan berkarya di jalan, selain menjadi karya yang inklusif, WD juga merasa dekat dengan media lukisnya. Melalui seni jalanan, kita bisa memiliki ruang publik untuk berkreativitas dan berekspresi. Sehingga ruang itu menjadi milik publik.
Donasi karya seniman lain
Selama Sawer Night, ada puluhan karya seniman yang turut mendonasikan karyanya dengan pameran bersama dan dijual. Seniman lintas medium ini di antaranya Npaaw, Kuncir, Triniy, Slinat, Quint, Media Legal, Tison, WD, Arde Wiyasa, Badsodakilleracid, Lezart, dan lainnya.
Pada hari terakhir, 9 Mei, dilelang juga sejumlah karya seperti gerabah Serayu Pot yang dilukis WD, Slinat, dan Trinity. Dua gitar, lukisan Npaaw, jaket lukisan, dan lainnya. Suasana lelang karya yang dipandu Termana dan Ika ini berlangsung meriah karena cukup banyak penawar.
Bali Yang Binal merupakan acara dua tahunan yang sudah digelar oleh Komunitas Pojok. Berawal di medio 2005 ketika Bali Biennalle digelar. Bali Yang Binal merupakan sebuah respon terhadap pelaksanaan Bali Biennalle yang saat itu dirasa sarat nepotisme.
Seiring waktu, media berkarya yang digunakan pun mengalami perubahan. Dari pameran-pameran konvensional di awal-awal berdirinya hingga kini mengambil mural sebagai media yang dianggap Komunitas Pojok efektif dan mampu mengembalikan seni pada penikmatnya yang utama yaitu masyarakat atau publik.
Bali Yang Binal mengutamakan pembiayaan secara swadaya dan dukungan jaringan pertemanan. Masalah klasik pendanaan hampir selalu muncul di setiap gelaran, namun hal itu tidak menyurutkan keinginan anggotanya untuk terus berproses dan berpetualang di wilayah kesenian Bali.
Setiap kali diadakan, Bali Yang Binal selalu mengusung tema yang berbeda, menyesuaikan dengan kondisi riil yang terjadi. Tema yang diusung Bali Yang Binal #9 adalah “Normal is Boring”. Tema ini diangkat untuk merespon ketidak-siapan manusia menghadapi pandemi yang menghantam dunia secara tiba-tiba. “Sebelum pandemi hampir semua orang ingin menjadi berbeda dengan caranya masing-masing, tidak ada yang ingin sama atau disamakan dengan orang lain. Namun ketika pandemi menghantam, semua orang berjuang dengan caranya untuk kembali menjadi normal,” ujar Dewa Ketha.
Dalam konteks ini kenormalan dilihat sebagai kondisi di mana nilai-nilai yang ada dalam masyarakat diamini dan dilaksanakan secara kolektif. Sebaliknya yang tidak normal adalah yang tidak mengikuti nilai-nilai tersebut.
Pemakaian masker misalnya, sebelum pandemi yang diamini sebagai kenormalan adalah hidup tanpa masker. Maka pada saat pandemi ini yang diamini sebagai kenormalan adalah hidup dengan masker. Sebagai nilai baru, kondisi ini tentu menghadirkan polemik. Ada kelompok yang berjuang kembali ke pola lama, ada pula yang berjuang untuk berada dan menjalani pola baru.
Dalam hal ini menjadi kontekstual terlihat tidak normal, karena tidak mengikuti pola lama namun juga tidak mengamini pola baru. Dewa Ketha menyebutkan dalam konteks pemakaian masker menjadi kontekstual adalah menggunakan masker pada saat yang tepat, dan tidak menggunakannya juga pada saat yang tepat.
Kebenaran, menurutnya hanyalah sebuah interpretasi pada suatu kondisi tertentu, sehingga nilai-nilai kenormalan berbeda dalam tiap kondisi. Bisa jadi, normal dalam suatu kondisi tidak normal dalam kondisi lainnya. Tidak ada yang berhak menjadi hakimnya, karena hal seperti itu tidak mudah diputuskan benar dan salahnya.
Di tengah kondisi pandemi ini, membuat festival yang sudah berumur lumayan panjang tentu menjadi tantangan tersendiri. Dewa menyebut berupaya membuat kegiatan yang seminimal mungkin agar tidak membuat kerumunan. Konsep Art Camp ini akan dipusatkan di Banjar Sampalan, Desa Batununggul, Nusa Penida.
Para seniman partisipan dibatasi, tidak seperti gelaran Bali Yang Binal sebelumnya. Para seniman partisipan akan tinggal di dalam tenda-tenda yang telah dipersiapkan panita, tinggal di alam terbuka, untuk selanjutnya mengerjakan mural-mural yang tersebar di beberapa titik spot setiap harinya.
Untuk media tembok yang akan dimural berjarak antar 1 spot mural ke spot lainnya. Komunitas Pojok saat ini beranggotakan WD, Slinat, Trinity, Mr X dan War. Adapan partisipan selain dari anggota Komunitas Pojok yang diundang ke acara ini adalah MSCT, Mutaseight, PWRK, Tison, Medialegal, Zent Prozent, Midaskid, dan Kuncir SV.
Selain proses mengambar, akan ada kegiatan-kegiatan lain seperti diskusi, workshop, dan lapakan dari komunitas yang berjejaring dengan Komunitas Pojok. Segala kebutuhan selama acara semaksimal mungkin melibatkan peran serta warga lokal seperti keperluan transportasi dan konsumsi selama kegiatan.