Saatnya warga memantau negara dalam penanganan COVID-19.
Sejumlah lembaga dan komunitas meluncurkan kolaborasi pemantauan Jaring Pengaman Sosial (JPS) atau bansos dan pengadaan barang dan jasa kesehatan di Bali. Pemerintah berjanji akan transparan dan memastikan peruntukannya.
Peluncuran pelaporan ini ditandai dengan diskusi publik online yang akan dihelat pada Selasa, 16 Juni nanti, mengundang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid19 di Bali, sosiolog, pemerhati hukum, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Bali, dan komunitas warga terdampak.
Realokasi anggaran untuk penanganan Corona Virus Desease 2019 (COVID-19) di antaranya difokuskan untuk belanja sektor kesehatan dan pemberian Jaring Pengaman Sosial (JPS) kepada warga yang rentan terkena resiko sosial dan dampak Covid-19. Pada 31 Maret 2020, Presiden Jokowi mengumumkan dari Rp 405,1 triliun APBN, sebanyak Rp 75 triliun (18,5 persen) disebut untuk belanja alat kesehatan dan Rp 110 triliun (27 persen) untuk JPS. Anggaran ini belum termasuk realokasi anggaran daerah, dana desa yang berasal dari APBN, dan anggaran tiap kementerian/lembaga yang juga memberikan JPS kepada warga.
Bali termasuk salah satu wilayah pemantauan itu di mana ICW bekerja sama dengan BaleBengong, alumni Sekolah Anti Korupsi (SAKTI) Bali, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Denpasar, dan LBH Bali. Pemilihan daerah-daerah ini didasarkan pada pertimbangan penyebaran COVID-19, kerentanan penyaluran JPS, dan ketersediaan mitra ICW di daerah, mengingat penerimaan pengaduan memerlukan pengelolaan dan tindak lanjut yang jelas.
Siaran pers Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Bali menyebut dana yang dialokasikan Pemprov Bali adalah dari refokusing APBD untuk membiayai upaya penanganan COVID-19. Dari hasil refokusing, Pemprov Bali mengalokasikan anggaran sebesar Rp 756,69 miliar. Secara lebih rinci, dana dialokasikan untuk tiga bidang yaitu kesehatan sebesar Rp 274 miliar lebih, penanganan dampak Rp 220 miliar lebih dan Rp 261 miliar untuk JPS.
Dalam jumpa pers daring, Jumat, 12 Juni 2020 kemarin, warga diajak berpartisipasi mengawasi penyaluran bansos dan pengadaan barang/jasa kesehatan karena dua hal tersebut paling besar kuota realokasinya. Diharapkan diperuntukkan untuk yang berhak seperti korban PHK, warga miskin, dan ibu hamil, subsidi pendidikan, dan lainnya.
LBH Bali membuka posko pengaduan ketenagakerjaan dan pelaporan bansos COVID-19 di Bali. Direktur LBH Bali Ni Kadek Vany Primaliraning mengatakan sebagai daerah pariwisata, PHK massal tak terhindarkan. Para pekerja saat mereka melakukan tanda tangan PHK dalam kondisi terdesak karena mereka merasa tidak bisa melakukan apa-apa.
“Ini menjadi pukulan bagi pekerja, karena bisa saja terjadi PHK tanpa pesangon. Kondisi pandemi seperti sekarang ini benar-benar mengkerdilkan hak dari para pekerja,” ujarnya.
Sementara Ody Putra dari alumni Sekolah Antikorupsi (Sakti) Bali yang ikut memantau menyebut transparansi sangat diperlukan dalam kondisi pandemi ini karena semua orang terdampak. Salah satunya mahasiswa, ia menyontohkan aksi-aksi dan hearing yang diminta mahasiswa Universitas Udayana saat ini untuk minta data penerima bantuan SPP karena tak semua mendapatkan.
Akuntabilitas dan Transparansi
Belanja alat kesehatan dan JPS pada dasarnya mendesak dibutuhkan, mengingat fasilitas kesehatan tak sepenuhnya siap menangani pasien COVID-19 dan dampak wabah juga secara cepat memukul sisi sosial ekonomi warga. Sejumlah sektor ekonomi lumpuh, terjadi pemutusan hubungan kerja, dan tak sedikit masyarakat yang berkurang atau bahkan kehilangan sumber penghasilan.
Meski mendesak dibutuhkan dan dilakukan di tengah keadaan darurat, distribusi JPS dan belanja alat kesehatan semestinya tak mengabaikan prinsip transparansi dan akuntabilitas serta memerlukan pengawasan. Hal itu disebabkan rentannya anggaran disalahgunakan atau bahkan dikorupsi. Terlebih lagi di kondisi darurat, pengadaan terkait Covid-19 dilakukan lebih “fleksibel” sebagaimana diatur dalam Peraturan LKPP No. 13 tahun 2018 dan Instruksi Presiden No. 4 tahun 2020.
Kerentanan korupsi JPS dan belanja alat kesehatan juga merujuk pada data korupsi berkaitan dua sektor tersebut selama ini. Sepanjang 2010-2019, terdapat sedikitnya 281 kasus korupsi di sektor kesehatan dan 44 persen di antaranya terkait pengadaan alat kesehatan (ICW, 2020). Hasil kajian KPK mengenai bantuan sosial pada 2011 dan hasil pemeriksaan BPK selama ini, terakhir penyaluran bantuan sosial 2018 hingga semester III 2019, menunjukkan rentannya bantuan sosial disalurkan tidak tepat sasaran hingga memboroskan keuangan negara (BPK, 2020).
Melihat tingginya potensi penyalahgunaan belanja alat kesehatan dan distribusi JPS, ICW bersama jaringan antikorupsi di 13 daerah akan membuka posko pengaduan warga. Langkah ini juga dimaksudkan untuk menghimpun dan mengidentifikasi lebih dalam mengenai implementasi kebijakan pemerintah untuk menangani Covid-19 dan mendorong transparansi serta akuntabilitasnya.
Tiga belas daerah yang dimaksud yaitu Aceh, Medan, Palembang, DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Semarang, Tangerang Selatan, Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang, Bali, Makassar, Manado, dan Kendari. Pemilihan daerah-daerah ini didasarkan pada pertimbangan penyebaran Covid-19, kerentanan penyaluran JPS, dan ketersediaan mitra ICW di daerah, mengingat penerimaan pengaduan memerlukan pengelolaan dan tindak lanjut yang jelas.
Topik Aduan
Almas Sjafrina dari ICW mengatakan aduan yang diterima meliputi tiga hal. Pertama, dugaan korupsi dan monopoli pengadaan alat uji, AMK, dan obat. Kedua, informasi mengenai alat uji, AMK, dan obat dari pemerintah yang berkualitas buruk.
Ketiga, penyalahgunaan bansos seperti politisasi dan tidak tepat sasaran (khususnya mengenai exclusion error, di mana terdapat warga yang dinilai tidak layak menerima JPS atau tidak rentan terkena risiko sosial namun menerima JPS).
Contoh lain penyalahgunaan bansos ini di sejumlah daerah adalah pemotongan dan pungli, pemberian fiktif, dan pemberian double (satu penerima manfaat menerima lebih dari 1 jenis JPS dalam periode waktu yang sama). Mobilisasi dan pemberian tidak sesuai ketentuan, misal seharusnya berbentuk uang, tetapi diberikan dalam bentuk sembako merupakan contoh lain dari poin ketiga ini.
Pengaduan dari warga akan dianalisis untuk kemudian diteruskan kepada instansi terkait, seperti pemerintah daerah, Dinas Sosial, Ombudsman, Kementerian Sosial, aparat penegak hukum, dan lainnya sesuai dengan kewenangan masing-masing. Sedangkan update dan rekapitulasi laporan akan dipublikasikan secara periodik melalui www.antikorupsi.org.
Secara nasional, aduan diterima melalui email pantaucovid19@antikorupsi.org. Untuk di Bali, laporan bisa dilakukan melalui media sosial @BaleBengong (Twitter & Instagram), WhatsApp (+6281935183697), mengisi form berikut s.id/covidbali atau dengan mendatangi Kantor LBH Bali pada Senin-Rabu pukul 10.00 – 15.00 WITA.
“BaleBengong memberi ruang bagi warga sejak awal pandemi, warga minta informasi, mengadu, dan diskusi kebijakan penanggulangan Covid-19 di medsos @BaleBengong,” tambah Luh De Suriyani, salah satu pengelola Balebengong.id, portal jurnalisme warga di Bali sejak 2007 ini. [b]