Persoalan gangguan jiwa di Bali tak bisa dianggap sepele.
Menurut data riset, ada setidaknya 9.000 orang yang mengidap gangguan jiwa pada tahun 2015 dan 350 orang di antaranya dipasung. Pemerintah Provinsi Bali diharapkan serius dalam menangani persoalan ini.
Perlu adanya penanganan terpadu. Sebab masalah gangguan jiwa bukan hanya tanggung jawab lembaga swadaya masyarakat (LSM) maupun Rumah Sakit Jiwa (RSJ) namun juga pemangku kebijakan lainnya.
Luh Ketut Suryani, psikiater kondang Bali mengatakan, keluarga memasung orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) biasanya karena menganggap penyakit jiwa sebagai kutukan yang tak bisa sembuh. Juga karena alasan warisan. ODGJ yang memiliki materi dibiarkan menjadi sakit agar warisannya bisa diambil. Ada juga yang bertujuan untuk meminta bantuan dari pendonor atau pemerintah.
Orang dengan gangguan jiwa yang memiliki materi dibiarkan menjadi sakit agar warisannya bisa diambil.
LK Suryani sejak tahun 1988 memiliki perhatian besar terhadap ODGJ di Bali. Bersama Suryani Institute for Mental Health yang didirikannya, ratusan ODGJ yang dipasung berhasil dikeluarkan dari pasungan dan dirawat hingga sembuh.
Di sisi lain, penanganan ODGJ selama ini dinilai belum maksimal. Para penderita gangguan jiwa yang biasa yang dirujuk dan dirawat di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) justru kambuh ketika dibawa pulang. Penyebabnya antara lain karena putus obat dan kurangnya pengetahuan keluarga maupun sistem kesehatan yang kurang memadai.
Perawatan intensif di rumah (home care) dipandang sebagai solusi.
I Gusti Rai Putra Wiguna, psikater RSUD Wangaya Denpasar menceritakan pengalamannya menangani pasien gangguan jiwa jiwa dalam program perawatan di rumah yang berjalan sejak Januari 2016 lalu. Pasien yang ditanganinya biasanya sudah kronis dan dipasung karena oleh keluarga karena dianggap membahayakan.
Menurutnya, untuk menangani ODGJ yang di dalamnya penderita skizofrenia itu sangat unik. Jika kita menunggu dan menangani di poliklinik kita hanya dapatkan sebagian kecil penderita untuk mendapatkan terapi. Kadangkala ada yang datang hanya keluarganya saja, karena pasien tak mau datang atau kondisinya kronis.
“Ini dilema bagi kami. Jika tidak diberikan obat maka pasien putus obat, tapi kalau diberikan kami salah juga karena tak mengetahui pasti kondisi pasien,” ujarnya.
Ia menambahkan, ada juga masalah di sistem kesehatan. Pasien gangguan jiwa seperti skizofrenia stabil menjadi wewenang PPK I atau Puskesmas. Padahal pengetahuan penanganan pasien skizofrenia masih minim, selain ketersediaan obat yang belum optimal.
Perlu dicatat bahwa ODGJ butuh penanganan jangka panjang. Biasanya ketika minum obat secara teratur dianggap telah sembuh dan akhirnya putus obat lalu dibawa ke RSJ. Sepulang dari RSJ puskesmas dan RSUD tidak tahu-menahu dan akhirnya putus obat dan kumat lagi, begitu seterusnya..
Itu bukan solusi yang baik.
Perawatan intensif di rumah memiliki keunggulan tersendiri dibandingkan merawat-inapkan pasien di rumah sakit.
Maka itu, RSUD Wangaya Denpasar mengajukan sistem yang lebih baik yakni homecare. Perawatan intensif di rumah memiliki keunggulan tersendiri dibandingkan merawat-inapkan pasien di rumah sakit. Sebab keluarga bisa melihat dan merasakan sendiri perbaikannya. Ikut berlatih cara menangani pasien di rumah dan belajar mengenali gejala-gejala awal akan kumat.
Program homecare ini merupakan kerja sama antara RSUD Wangaya, Dinas Kesehatan Kota Denpasar, dan Puskesmas seluruh Kota Denpasar. Ditangani oleh dokter spesialis kedokteran jiwa, perawat CMHN (Community Health Mental Nursing) dan dokter puskesmas secara berkelanjutan.
“Obat menggunakan mekanisme Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sehingga dapat berkelanjutan,” jelasnya. [b]