Kapan terakhir kali menikmati dongeng?
Dongeng begitu identik dengan anak-anak. Tapi, sesungguhnya banyak makna kehidupan terkandung pada setiap kisah. Orang dewasa terkadang mulai lupa menikmati cerita-cerita, seperti dongeng, legenda, cerita rakyat, fabel dan lain sebagainya.
Cerita merupakan sebuah media lintas generasi untuk menyampaikan pesan moral. Sebuah media bagi orang tua untuk mendidik anaknya. Untuk itu, cerita menjadi lebih hidup dan berkembang jika ia terus berada di dalam kehidupan masyarakat.
Salah satu sumber cerita itu berasal dari Panca Tantra, bagian dari sastra India yang menggunakan hewan sebagai karakter dalam cerita. Menurut Ambar Andayani, dalam makalah Transformasi Teks Dari Pancatantra India Ke Tantri Kamandaka Jawa Kuno: Telaah Sastra Bandingan, Panca Tantra menyebar di seluruh India dalam bahasa Sansekerta pada 200 SM. Kisah Panca Tantra berisi tuntunan perilaku bijaksana dalam hidup atau ajaran tentang ketatanegaraan.
Panca Tantra masuk ke Indonesia melalui penyebaran agama Hindu. Ajaran tersebut akhirnya digubah ke dalam bentuk cerita bernama Tantri. Cerita Tantri sangat populer di Jawa dan Bali sebagai cerita dengan karakter binatang atau fabel. Lebih lanjut dalam tulisan Astarini Ditha, TANTRI, Kekuatan Sebuah Dongeng, cerita Tantri di Bali juga diterjemahkan ke dalam seni pertunjukan, seperti drama tari Gambuh dan wayang kulit Tantri.
Kali ini, sebuah drama tari modern mengambil salah satu kisah Tantri bertajuk The Heron and The Fish atau dalam Bahasa Indonesia, Bangau, Ikan dan Kepiting dipertunjukan di Bali. Pertunjukan ini hadir di dua waktu dan tempat yang berbeda. Sabtu, 17 Juni di Teater Beji Bali Purnati Center for the Arts (Batuan) dan Minggu, 18 Juni di Wantilan Water Garden ARMA Resort (Ubud).
Drama tari ini merupakan adaptasi dari cerita rakyat dari Jawa Tengah. Di Bali, kisah ini serupa dengan cerita Pedanda Baka. Kisah Pedanda Baka bercerita tentang seekor burung bangau yang berpura-pura menjadi seorang pendeta agar ikan-ikan bersedia menghampirinya. Seekor kepiting berusaha mengingatkan ikan-ikan itu bahwa itu adalah tipu muslihat si bangau.
Namun pada pertunjukan ini tidak menampilkan tokoh pendeta, hanya ada tiga karakter yaitu Bangau, Ikan dan Kepiting. Drama tari ini disutradarai oleh Evan Silver asal Chicago, Amerika Serikat. Evan adalah seniman teater yang berhasil meraih beasiswa Henry Luce untuk melakukan residensi seni di Bali selama 10 bulan. Selama residensi, Evan membaca cerita-cerita rakyat nusantara, termasuk kisah Tantri.
Evan memilih cerita Bangau, Ikan dan Kepiting bukan tanpa sebab. Menurutnya, cerita ini sangat tepat menggambarkan situasi Indonesia, bahkan dunia. Kehidupan manusia yang carut-marut akibat informasi palsu yang mudah tersebar dan tampak benar. Hal ini dapat terlihat dari bagaimana karakter Bangau yang ingin memakan Ikan dengan tipu muslihatnya.
“Lewat pertunjukan ini, saya ingin menghidupkan kembali cerita itu di tengah-tengah kita dalam bentuk yang berbeda, gabungan drama dan tari,” ungkap Evan.
Beberapa penonton turut merespon judul versi Bahasa Inggris dan Indonesia pada drama tari ini. Judul The Heron and The Fish memang sangat menonjol dalam publikasi acara. Padahal, terjemahan judul dalam Bahasa Indonesia menjadi Bangau, Ikan dan Kepiting. Lalu, mengapa Kepiting tak muncul dalam judul versi Bahasa Inggris?
Evan beralasan ingin menonjolkan dua tokoh utama dalam cerita ini, yaitu Bangau yang menipu Ikan. Sementara, Kepiting berada di antara dua tokoh utama tersebut.
Kolaborasi Seniman Indonesia
Kolaborasi dalam drama tari ini sangat unik karena melibatkan seniman dari berbagai wilayah di Indonesia. Para aktor di antaranya, Anwari (Madura) sebagai Kepiting, Willy Heramus (Kalimantan) sebagai Bangau dan anak-anak Desa Batuan (Bali) sebagai ikan-ikan.
Meskipun tampil di wilayah pariwisata, drama tari ini dipentaskan dalam Bahasa Indonesia. Namun, para Warga Negara Asing (WNA) tetap dapat mengikuti jalan cerita berkat penyanyi asal Filipina, Sandrayati Fay yang bertugas sebagai penyanyi latar dan narator. Selain Sandrayati Fay, Budali juga turut mengisi musik latar dari gendang khas Madura.
Ahli ogoh-ogoh ramah lingkungan dari Bali, Marmar Herayukti juga terlibat dalam pembuatan wayang Ikan. Sementara itu, kostum Bangau dirancang oleh Evan Silver dan dikerjakan bersama ahli topeng Bali, Ida Bagus Alit. Alur pertunjukan tak akan sempurna tanpa Nuy Darmadjaja asal Jakarta yang bertindak sebagai manajer panggung.
Willy Heramus, si Bangau, adalah seorang penari Dayak lulusan jurusan tari di ISI Yogyakarta. Penari asal Pontianak, Kalimantan Barat ini tampil dalam pertunjukan reguler di Bali Nusa Dua Theatre. Sepanjang pengalamannya sebagai penari, Willy mengaku baru pertama kali menggunakan topeng. Oleh sebab itu, penampilannya sebagai Bangau menjadi tantangan tersendiri baginya.
Anwari, si Kepiting, adalah seorang aktor teater tubuh sekaligus pendiri Padepokan Seni Madura Center for the Arts. Ia adalah salah satu dari 16 aktor asal Indonesia yang diundang untuk mengikuti pelatihan Suzuki Method of Actor Training di Jepang, tahun lalu. Dalam garapan ini, Anwari merasakan hal yang lucu ketika berperan sebagai Kepiting.
“Proses ini begitu menyenangkan, sekaligus lucu. Biasanya saya menangkap dan memakan kepiting. Tapi, sekarang malah harus jadi kepiting itu,” ujar Anwari.
Lebih lanjut, Evan menjelaskan pertunjukan ini adalah pengalaman pertamanya menyutradarai sebuah garapan dalam Bahasa Indonesia. Evan sendiri belum genap setahun berada di Indonesia, namun dirinya tampak cukup fasih berbahasa Indonesia. Evan berupaya memahami Bahasa Indonesia untuk memudahkannya menjadi pengarah pertunjukan, termasuk mengarahkan anak-anak yang berperan sebagai Ikan.
“Salah satu hal yang cukup sulit mengarahkan anak-anak untuk berekspresi sesuai naskah. Mereka banyak tersenyum, padahal seharusnya ketakutan oleh si Bangau. Tapi itulah serunya,” tutur Evan.
Para seniman berlatih bersama selama dua minggu di Yayasan Bali Purnati, Desa Batuan, Sukawati. Nuy, sebagai manajer panggung mempersiapkan segala hal yang diperlukan untuk pertunjukan ini. Ia mengaku sangat bangga dapat bekerja dengan para seniman berbakat.
“Ini semua berkat para seniman yang benar-benar passionate di bidangnya. Bahkan, sebelum saya minta berkoordinasi satu sama lain, mereka sudah menemukan chemistry-nya,” kata Nuy.
Pada bagian akhir drama tari ini, anak-anak yang tadinya berperan sebagai ikan menghampiri Sandra sembari menanyakan mengapa ceritanya begitu sedih. Sandra pun menjelaskan pesan moral di dalam cerita tersebut.
“Jangan mudah percaya pada siapapun, percaya pada kata hati sendiri,” jelas Sandra saat menutup drama tari The Heron and The Fish. [b]